Media sosial harus mulai dilihat sebagai upaya agar dapat mendorong masyarakat untuk mengambil tanggung jawab pribadi maupun kolektif dalam pengontrolan kejahatan terutama pada tingkat yang lokal. Lingkungan kepolisian sekarang jelas sudah sangat dipengaruh oleh kedatangan teknologi, namun ternyata penggunaan media sosial oleh polisi belum sepenuhnya memenuhi kemaksudannya. Penggunaan media sosial oleh polisi konon selalu dibayang-bayangi oleh kewaspadaan yang terlalu besar dari organisasi dan profesi. Padahal media sosial telah banyak mengubah konteks pemolisian yang demokratis. Hal ini tampak sekali dari komentar dan penilaian yang mereka buat terutama dalam konten-konten media sosial selama ini, termasuk misalnya konten-konten untuk edukatif yang dinilai dari nilai-nilai dan norma tertentu.
Jakarta 11 Juni 2021. Patroli merupakan suatu kerja polisi yang penting dan berhubungan erat dengan berbagai upaya upaya pencegahan dan penangkalan segala bentuk kejahatan. Kegiatan patroli merupakan wujud tindakan anggota Polri dalam menghilangkan faktor niat dan kesempatan untuk mencegah terjadinya tindak kriminalitas nyata dengan cara mendatangi, menjelajahi, mengamati, mengawasi, memperhatikan situasi, dan atau kondisi yang dapat diperkirakan. Karenanya perlu kejelian untuk dapat mengenai potensi gangguan, ambang gangguan dan gangguan sebenarnya.
Kegiatan patroli juga melibatkan kesadaran warga yang diharapkan dapat mengerti, memahami dan mengantisipasi berbagai faktor yang berhubungan dengan suatu tindak kejahatan. Seiring dengan semakin kompleksnya masyarakat, kejahatan sebagai fenomena sosial historis itu juga perlu selalu diaktualisasikan. Polri di Indonesia diketahui rutin turun di tengah-tengah masyarakat untuk melakukan patroli dialogis dalam upaya menjalin komunikasi yang baik antara polisi dan masyarakat.
Dalam banyak aktivitas patroli dialogis yang dilaporkan dalam media dan sosial media, selalu tampak disertakannya pesan-pesan kamtibmas untuk masyarakat, faktor-faktor yang berhubungan dengan upaya menjaga keamanan dan ketertiban, dorongan kepada masyarakat untuk melakukan aksi melaporkan kejahatan atau tindak pidana dan usaha-usaha yang akan sangat membantu upaya kepolisian menciptakan keadaan yang aman dan terkendali sebagaimana yang diinginkan.
Lebih jauh lagi, tampaknya selalu ada hambatan dan tantangan dalam pelaksanaan tugas patroli. Apalagi dalam masyarakat Indonesia masih ada kebiasaan yang enggan berurusan polisi. Keterlibatan aktif dengan kepolisian seringkali justru dihindari karena pengalaman buruk ketika berhubungan dengan masalah-masalah kejahatan dan institusi kepolisian. Berbagai upaya untuk mencari efektivitas patroli selalu dicari dan makin hari makin menunjukkan perbaikan dan peningkatan. Berbagai cara-cara baru digunakan dan diterapkan termasuk membuat konten-konten media sosial yang kemudian dinilai, dikritik dengan pertanyaan, ‘apakah harus seperti itu?’, apakah ia lebih merupakan pencitraan diri dan pribadi?
Penggunaan Media Sosial Yang Meluas
Keberadaan teknologi informasi semakin lama semakin canggih dan dibutuhkan oleh institusi termasuk penegak hukum seperti halnya kepolisian. Masalah kejahatan dan penegakan hukum makin kompleks, informasi makin banyak, kota makin besar dan berkembang dan klien kepolisian dari kelompok milenial semakin mendominasi generasi yang lebih senior dan harus diakui sebagai segmen sasaran yang harus diperhitungkan. Media sosial sudah menjadi lebih dari sekadar jaringan untuk berbagi informasi. Melalui media sosial kita juga dapat melakukan kampanye yang menyorot tema apa saja dan memindahkan kegiatan yang semula sulit dilakukan.
Sekarang ini, media sosial bisa menjadi alat advokasi yang efektif untuk mempromosikan pesan-pesan edukasi termasuk usaha preventif terhadap tindak kejahatan. Dalam hal inilah kehadiran media sosial bisa menjadi alat yang menjembatani agar situasi kondusif dan kerjasama aktif antara aparat kepolisian dengan masyarakat makin bisa terjalin. Media sosial, di satu sisi mendekatkan namun juga memberikan jarak privacy antara aparat dengan warga dan narasi yang direpresentasikan dalam bentuk konten audio-visual dalam durasi tertentu dan dengan gaya-gaya yang bisa berbeda.
Ada optimisme yang besar bahwa sosial media bisa memfasilitasi partisipasi warga dan mengubah strategi komunikasi dari organisasi publik. Media sosial adalah cara yang mengemukakan keterbukaan, transparansida partisipasi watga yang diperlukan dalam pemolisian publik (masyarakat). Menurut pengamat kepolisian Karen Bullock dalam artikel ‘The Police Use of Social Media: Transformation or Normalisation?’ menyimpulkan bahwa banyak aparat dan staf kepolisian yang masih tidak mengerti bagaimana media sosial bekerja sebagai alat yang seharusnya dapat ddigunakan setinggi-tinggi untuk memfasilitasi tugas mereka di lapangan.
Langkah-langkah kepolisian di tempat lain
Di banyak negara, kekuatan dan keunikan media sosial telah diakui sebagai bermanfaat membantu tugas-tugas kepolisian termasuk penyediaan konten-konten yang bertema patroli dan edukasi. Apalagi upaya untuk mendapatkan respon dan dukungan warga usia muda (milenial) semakin menantang. Hanya dengan kepiawaian mendapatkan perhatian mereka yang akan membuat pesan-pesan edukasi lewat media sosial akan dapat berhasil. Konten-konten yang kemudian memiliki dampak kuat mempengaruhi warga dan mampu menggerakan keterlibatan aktif mereka tetap menjaga sifat dari konten virtual pada media sosial yang aifatnya yang virtual, berisi konten, potensial, dan viral, digemari, populer dan membekas.
Munculnya reaksi dan konten yang menjadi viral adalah indikasi yang akan selalu dimonitor dan di evaluasi. Karenanya, untuk menciptakan konten yang ‘main-main’, mereka tidak main-main, melibatkan saran dan konsultasi dari influencer, apakah dalam platform di Facebook. Twitter, Instagram maupun platform yang begitu populer di dunia saat ini yakni Tiktok. Menurut Sara Knuckey, konsultan media menganggap bahwa bila polisi dapat diterima dan bisa berperan sebagai influencer mengapa tidak. Kita melihat penampilan polisi yang cantik, yang ganteng dan yang human lebih diterima misalnya, karena itu adalah penggambaran yang realistis dan merupakan bagian dari manusia sehari-hari.
Pada akhirnya yang diinginkan adalah bahwa upaya menyiapkan konten itu tidak sia-sia. Penggunaan media sosial tidak lagi menjadi haram apalagi bila pesan untuk edukasi kepada masyarakat sampai lebih cepat dan dapat diterima. Penggunaan media sosial yang efektif memang telah makin diakui oleh banyak institusi, termasuk dalam kepolisian. Di beberapa negara maju seperti di Eropa dan Australia, sosok kepolisian sudah diubah lebih mencair, atau dengan kata lain memberi kesempatan seluas-luasnya penggambaran polisi yang humanis dan dengan model ini mereka dapat memperluas efisiensi pekerjaan mereka, baik yang bersifat preventif, restoratif maupun represif.
Pada survei yang diadakan tahun 2020 kepolisian di banyak negara telah mengakui bahwa pekerjaan mereka terbantu dengan sosial media karena mereka dapat dikontak untuk membantu mereka menyediakan bukti-bukti penyelidikan atas kejahatan-kejahatan tertentu. Dengan penggambaran yang humanis dan sesuai dengan semangat demokratisasi pemolisian, karenanya, konten-konten termasuk materi patroli yang dimunculkan membuat sosok polisi, di luar profesinya, adalah sosok yang tidak lebih istimewa dari pada yang lain.
Survei 2013 yang dilakukan Laure Entis, membuktikan bahwa sebanyak 80% lembaga kepolisian yang memanfaatkan sosial media untuk membantu pekerjaan pemolisian di masyarakat merasa puas dengan bantuan platform sosial media, terutama dalam membantu memecahkan masalah-masalah kejahatan. Lebih jauh lagi, sebanyak 73 persen lembaga-lembaga yang disurvei menyatakan bahwa penggunaan media sosial terbukti berkontribusi menjalin hubungan lebih baik antara polisi dan masyarakat sebelumnya.
Penggunaan media sosial dan polisi di Indonesia
Seperti juga di banyak tempat lain di dunia, polisi di Indonesia juga kerap mengunggah konten di media massa seperti juga anggota masyarakat lain, dengan menampilkan konten yang didasarkan kepada profesi mereka. Penggunaan media sosial begitu disambut gegap gempita dan menjadi sarapan masyarakat Indonesia yang dikenal begitu aktif berhubungan dengan berbagai platform media sosial yang tersedia. Kemudahan menunggah konten menyebabkan konten-konten semacam ini sering muncul meski sporadis, individual, dan tidak terkoordianasi.
Meskipun berbagai Polda atau Polres telah menggunakan media sosial sebagai platform resmi mereka, tidak sedikit juga dilakukan oleh kalangan individual yang mengunggah konten yang mengutamakan upaya mencari popularitas yang menjurus pada pribadi-pribadi. Di sinilah kemudian muncul respon, kecaman dan komentar mengenai konten yang diunduh. Kadangkala ada konten-konten yang tidak dapat langsung diterima karena narasi, cerita, koreografi dan model yang keluar dari paradigma. Misalnya ketika menyikapi kreativitas seseorang atau bahkan personil kepolisian itu sendiri dalam pembuatan konten tertentu.
Beberapa konten yang berhubungan den patroli polisi dikomentari apakah sudah sesuai, apakah menyebabkan pesan-pesannya mengena, sukses dan efektif dan sebagainya. Yang terjadi dalam lingkungan kepolisian di Indonesia merupakan gejala yang terjadi di banyak tempat lain. Cara berkomunikasi polisi sudah waktunya ditransformasi agar dapat memenuhi era baru di mana media sosial memainkan peran yang semakin besar. Media sosial harus mulai dilihat sebagai upaya agar dapat mendorong masyarakat untuk mengambil tanggung jawab pribadi maupun kolektif dalam pengontrolan kejahatan terutama pada tingkat yang lokal.
Lingkungan kepolisian sekarang jelas sudah sangat dipengaruh oleh kedatangan teknologi, namun ternyata penggunaan media sosial oleh polisi belum sepenuhnya memenuhi kemaksudannya. Penggunaan media sosial oleh polisi konon selalu dibayang-bayangi oleh kewaspadaan yang terlalu besar dari organisasi dan profesi. Padahal media sosial telah banyak mengubah konteks pemolisian yang demokratis. Hal ini tampak sekali dari komentar dan penilaian yang mereka buat terutama dalam konten-konten media sosial selama ini, termasuk misalnya konten-konten untuk edukatif yang dinilai dari nilai-nilai dan norma tertentu.
Langkah ke depan
Satu pilihan dalam menyikapi konten-konten media sosial yang digunakan oleh korp kepolisian yang dapat diterapkan adalah dibentuknya suatu aturan atau mekanisme tertentu agar konten bisa berjalan selaras sesuai dengan keinginan korps Polri sebelum menjadi publik, agar kontroversi dan komentar-komentar tidak akan muncul. Artinya, masih diperlukan budaya bagaimana menyikapi penggunaan media sosial yang lebih cocok.
Pilihan lain adalah menempatkannya pada ekstrim lain yakni, membuat terobosan dengan membuka kran kebebasan korps kepolisian, simpatisan polisi atau warga yang bermaksud menciptakan konten-konten pesan yang tidak lagi top down, kaku, formal dan instruktif. Menurut pengamat IT Sri Raharjo, konten media sosial sudah saatnya tidak lagi dilihat dalam perspektif penguasa melihat orang yang dikontrolnya karena ini merupakan paradigma baru dalam hal demokratisasi dan komunikasi antara penguasa dan masyarakat luasnya.
Tentunya hal seperti ini akan selalu menjadi tantangan kepolisian terutama dalam konteks lebih luas bagaimana menyikapi penggunaan teknologi. Pertanyaannya adalah, apakah teknologi komunikasi akan mengubah budaya dan organisasi dan cara pelibatan polisi dan warga seperti maksud utama dari upaya-upaya patroli kepolisian selama ini? (Isk – dari berbagai sumber).