DEN HAAG — Dalam perkembangan signifikan yang menegaskan status geopolitik di kawasan Timur Tengah, Mahkamah Pidana Internasional (ICC) secara tegas telah memberikan arahan bagi seluruh organisasi non-pemerintah (LSM) dan lembaga lainnya, untuk menggunakan terminologi “Negara Palestina” ketika menyampaikan pengajuan tertulis kepada pengadilan. Instruksi ini menggantikan penggunaan istilah sebelumnya, “Palestina”, dan ditujukan kepada semua entitas termasuk yang didukung oleh Jerman dan Israel.
Pengaruh dari keputusan ini berdampak langsung terhadap LSM internasional yang terlibat dalam pengadilan yang berkaitan dengan masalah Palestina. Arahan ini tidak hanya melibatkan aspek linguistik tetapi juga memiliki konsekuensi hukum yang dapat menyentuh pada kebijakan keadilan internasional serta pembelaan hukum Palestina.
Menurut informasi yang diterima, sejumlah organisasi berpengaruh telah mematuhi permintaan ICC dan melakukan pembaharuan terminologi dalam dokumen mereka. Diantaranya adalah European Centre for Law and Justice (ECLJ), UK Lawyers for Israel (UKLFI), ALMA Association for the Advancement of International Humanitarian Law, Israel Law Center, hingga Jerusalem Institute of Justice.
Senator Partai Republik AS, Lindsey Graham, begitu juga Prof. Dr. David Chilstein dan pengacara Yael Vias Gvirsman, yang mewakili kepentingan warga Israel, telah mengikuti arahan ICC dengan mengadaptasi istilah “Negara Palestina” dalam pengajuan mereka, sebagaimana disebutkan dalam instruksi pengadilan. “Sebelumnya menggunakan ‘Palestina’ dalam pengajuan mereka, kini mereka menyebut ‘Negara Palestina’ sesuai dengan instruksi pengadilan.”
Pengakuan terhadap Negara Palestina oleh ICC sejalan dengan keputusan Majelis Negara-negara Pihak pada tahun 2015 yang secara resmi mengakui Palestina sebagai negara anggota, sebuah langkah yang dilakukan setelah Palestina menyetujui dan menjadi bagian dari Statuta Roma – perjanjian yang membentuk pengadilan ini. Keputusan ini mendukung posisi Palestina di panggung internasional dan memberikan landasan yang kokoh pada status diplomatiknya.
Sementara itu, dinamika di lapangan tetap tegang dengan Israel yang dilaporkan terus melakukan serangan di Jalur Gaza pasca serangan dari kelompok Hamas tahun lalu, meskipun seruan dari Resolusi Dewan Keamanan PBB untuk gencatan senjata segera. Serangan tersebut telah menimbulkan korbannya, “Lebih dari 42.000 orang telah tewas, sebagian besar adalah perempuan dan anak-anak, serta lebih dari 97.300 orang lainnya terluka,” menurut data dari otoritas kesehatan lokal.
Insiden lain yang menambah ketegangan di kawasan adalah serangan terhadap dua prajurit TNI UNIFIL oleh tentara Israel di Lebanon Selatan, serta insiden lain yang melibatkan penggunaan kekuatan oleh Israel. Hal ini menggarisbawahi situasi yang mudah terprovokasi dan rawan konflik yang berlarut.
Dengan keputusan dari ICC ini, ada harapan bahwa kejelasan dalam terminologi dan pengakuan terhadap status Palestina dapat berkontribusi pada langkah-langkah penyelidikan kejahatan kemanusiaan yang lebih efektif dan akuntabel, mendukung LSM pro-Palestina dalam upaya mereka, serta memberikan dimensi baru dalam negosiasi damai dan penyelesaian konflik di Timur Tengah.
Keputusan ICC ini juga menandakan pergeseran penting yang mungkin mengarah pada pemahaman yang lebih luas tentang kompleksitas konflik Israel-Palestina dan memicu diskusi lebih lanjut tentang solusi jangka panjang yang adil dan berkelanjutan, yang menghormati hak-hak rakyat Palestina dan upaya perdamaian yang berlangsung di kawasan tersebut.