Jakarta – Indonesia, sebagai negara dengan keragaman agama dan kepercayaan yang luar biasa, menghadapi tantangan yang kompleks dalam menjaga harmoni di tengah perbedaan. Dari Sabang sampai Merauke, bangsa ini dihuni oleh masyarakat yang memeluk berbagai keyakinan, dari Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, hingga Konghucu. Namun, meskipun beragam, Indonesia tetap satu dengan semboyan “Bhinneka Tunggal Ika,” yang artinya “Berbeda-beda tetapi tetap satu.” Kesatuan ini didasarkan pada nilai-nilai Pancasila yang menjadi perekat utama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam konteks ini, moderasi beragama menjadi konsep yang sangat relevan, tidak hanya sebagai strategi untuk menghindari ekstremisme, tetapi juga untuk memperkuat komitmen kebangsaan dalam bingkai Pancasila.
Salah satu tokoh yang terus memperjuangkan moderasi beragama di Indonesia adalah Dr. Ali Mochtar Ngabalin. Pengukuhan beliau sebagai Guru Besar pada tahun 2024 di Busan University of Foreign Studies, Korea Selatan, menandai momen penting dalam perjalanan beliau sebagai seorang pemimpin yang konsisten mempromosikan nilai-nilai moderasi beragama. Melalui pengukuhan ini, Dr. Ngabalin menegaskan pentingnya moderasi beragama sebagai cara untuk menjaga kesatuan bangsa, dengan Pancasila sebagai landasan yang kokoh.
Pancasila sebagai Fondasi Moderasi Beragama
Pancasila, sebagai dasar negara Indonesia, memiliki peran penting dalam menjaga kerukunan antarumat beragama. Sila pertama, “Ketuhanan Yang Maha Esa,” dengan jelas mengakui keberadaan Tuhan yang menjadi sumber segala kebenaran dan keadilan. Namun, yang menjadikan Pancasila istimewa adalah inklusivitasnya. Pancasila tidak hanya mengakui satu agama atau keyakinan, tetapi memfasilitasi keberadaan berbagai agama dan kepercayaan yang ada di Indonesia. Nilai-nilai Pancasila ini memberikan landasan yang kuat bagi terciptanya moderasi beragama.
Moderasi beragama di Indonesia bukanlah konsep yang baru. Sejak awal berdirinya negara ini, Pancasila telah menjadi instrumen penting dalam menjaga keseimbangan antara kebebasan beragama dan kesatuan nasional. Sila pertama Pancasila menekankan pentingnya keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, namun tanpa memaksakan satu agama di atas yang lain. Hal ini memberikan ruang bagi umat beragama untuk hidup bersama secara harmonis tanpa harus mengorbankan keyakinan mereka masing-masing. Dengan demikian, moderasi beragama bukan hanya sebuah konsep teologis, tetapi juga sosial, politik, dan budaya.
Dalam pidato pengukuhannya sebagai Guru Besar, Dr. Ali Mochtar Ngabalin menyampaikan bahwa moderasi beragama adalah pendekatan yang menolak segala bentuk ekstremisme. Menurut beliau, moderasi beragama bertujuan untuk menjaga keseimbangan dalam keyakinan beragama dan menghindari pandangan yang absolut. Dalam konteks ini, moderasi beragama tidak hanya berperan dalam mencegah konflik antarumat beragama, tetapi juga dalam memperkuat kesatuan bangsa. Hal ini sejalan dengan semangat Pancasila yang menjunjung tinggi persatuan dan keadilan.
Moderasi Beragama dalam Perpres No 58 Tahun 2023
Di bawah pemerintahan Presiden Joko Widodo, moderasi beragama telah diakui sebagai salah satu kebijakan penting yang harus diperkuat. Peraturan Presiden Nomor 58 Tahun 2023 tentang Penguatan Moderasi Beragama menjadi bukti komitmen pemerintah dalam menjaga kesatuan dan kerukunan antarumat beragama di Indonesia. Perpres ini menegaskan bahwa moderasi beragama adalah cara pandang, sikap, dan praktik beragama yang menekankan pentingnya menjaga keseimbangan dalam beragama. Di dalamnya terdapat empat pilar utama yang menjadi indikator keberhasilan moderasi beragama, yaitu komitmen kebangsaan, toleransi, anti-kekerasan, dan penerimaan terhadap tradisi【22†source】.
Komitmen kebangsaan yang dimaksud dalam Perpres ini adalah penerimaan penuh terhadap nilai-nilai Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika. Nilai-nilai ini menjadi panduan utama bagi seluruh umat beragama di Indonesia dalam menjalankan kehidupan beragama. Di tengah ancaman ekstremisme dan radikalisme yang terus meningkat, penguatan moderasi beragama sangat penting untuk memastikan bahwa keberagaman agama yang ada di Indonesia tidak menjadi sumber konflik, tetapi justru menjadi kekuatan dalam memperkokoh kesatuan nasional.
Dr. Ali Mochtar Ngabalin, dalam pidato pengukuhannya, menggarisbawahi pentingnya pendidikan sebagai sarana untuk menanamkan nilai-nilai moderasi beragama sejak dini. Menurut beliau, pendidikan adalah kunci untuk menciptakan generasi muda yang memahami pentingnya toleransi dan kerukunan dalam kehidupan beragama. Pendidikan yang berlandaskan pada nilai-nilai Pancasila dapat menjadi alat yang efektif untuk mencegah radikalisasi dan ekstremisme di kalangan anak muda. Beliau juga menekankan peran penting para pemimpin agama dalam mempromosikan dialog dan kerja sama antarumat beragama.
Peran Pemimpin Agama dalam Moderasi Beragama
Moderasi beragama tidak dapat terwujud tanpa adanya dukungan dari para pemimpin agama. Dalam konteks Indonesia, di mana agama memegang peranan penting dalam kehidupan sosial dan politik, peran pemimpin agama sangat krusial. Mereka tidak hanya berfungsi sebagai pemimpin spiritual, tetapi juga sebagai penjaga kerukunan dan stabilitas sosial. Oleh karena itu, pemimpin agama harus menjadi teladan dalam mempromosikan moderasi beragama.
Dr. Ngabalin dalam pidato pengukuhannya menekankan pentingnya dialog antaragama sebagai sarana untuk memperkuat moderasi beragama. Dialog antaragama bukan hanya tentang bertukar pandangan, tetapi juga tentang membangun pemahaman yang lebih dalam mengenai keyakinan masing-masing. Melalui dialog, kesalahpahaman dan stereotip yang sering menjadi sumber konflik dapat diatasi. Dengan demikian, moderasi beragama dapat menjadi landasan untuk menciptakan masyarakat yang lebih inklusif dan toleran.
Selain dialog, Dr. Ngabalin juga mengajak para pemimpin agama untuk terlibat aktif dalam pendidikan moderasi beragama. Mereka harus memainkan peran kunci dalam menyebarkan nilai-nilai moderasi kepada umat mereka. Dalam konteks ini, moderasi beragama harus menjadi bagian dari ajaran agama yang diajarkan di tempat-tempat ibadah dan lembaga pendidikan agama. Para pemimpin agama harus menekankan pentingnya hidup berdampingan secara damai dan menghormati perbedaan keyakinan.
Tantangan dalam Penguatan Moderasi Beragama
Meskipun moderasi beragama telah menjadi kebijakan nasional, penerapannya di lapangan masih menghadapi banyak tantangan. Salah satu tantangan utama adalah meningkatnya radikalisme dan ekstremisme di kalangan masyarakat. Radikalisme sering kali muncul akibat kurangnya pemahaman mengenai ajaran agama dan ketiadaan ruang dialog yang terbuka. Dalam situasi seperti ini, moderasi beragama dapat terancam oleh pandangan-pandangan yang ekstrem dan intoleran.
Selain itu, globalisasi dan perkembangan teknologi informasi juga membawa tantangan baru dalam penguatan moderasi beragama. Media sosial, misalnya, sering kali digunakan untuk menyebarkan narasi-narasi kebencian yang bertentangan dengan nilai-nilai moderasi. Radikalisasi di dunia maya menjadi ancaman serius bagi kerukunan antarumat beragama, karena dapat menyebarkan ide-ide ekstrem dengan cepat dan luas. Oleh karena itu, penguatan literasi digital dan pemahaman tentang moderasi beragama harus menjadi prioritas dalam menghadapi tantangan ini.
Dr. Ali Mochtar Ngabalin dalam pidatonya juga menyinggung pentingnya melibatkan semua elemen masyarakat dalam penguatan moderasi beragama. Tidak hanya pemerintah dan pemimpin agama, tetapi juga tokoh masyarakat, akademisi, dan media harus berperan aktif dalam menyebarkan pesan moderasi. Moderasi beragama harus menjadi bagian dari budaya dan cara hidup sehari-hari, bukan hanya sebagai wacana atau kebijakan formal.
Penguatan Komitmen Kebangsaan dalam Moderasi Beragama
Di tengah berbagai tantangan yang dihadapi, penguatan komitmen kebangsaan menjadi semakin penting. Komitmen kebangsaan yang kuat, yang didasarkan pada nilai-nilai Pancasila, dapat menjadi benteng yang kokoh dalam menghadapi ancaman radikalisme dan ekstremisme. Nilai-nilai Pancasila, seperti yang tercermin dalam sila pertama hingga kelima, mengajarkan pentingnya hidup bersama secara damai dan menghormati perbedaan. Pancasila adalah pedoman yang mengarahkan seluruh rakyat Indonesia untuk menjunjung tinggi persatuan dan keadilan.
Penguatan komitmen kebangsaan dalam moderasi beragama berarti mengajak seluruh umat beragama untuk menerima dan menghormati nilai-nilai kebangsaan seperti Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika. Nilai-nilai ini harus menjadi landasan dalam setiap aspek kehidupan beragama, mulai dari cara beribadah hingga cara berinteraksi dengan sesama. Dengan penguatan komitmen kebangsaan yang kuat, moderasi beragama dapat menjadi pilar utama dalam menjaga keutuhan NKRI.
Dalam pidato pengukuhannya, Dr. Ngabalin menyampaikan bahwa moderasi beragama harus selalu berorientasi pada upaya menjaga kesatuan dan persatuan bangsa. Beliau percaya bahwa dengan memperkuat komitmen kebangsaan yang berlandaskan Pancasila, Indonesia dapat menghadapi berbagai tantangan yang ada, termasuk ancaman radikalisme dan intoleransi. Pancasila, menurut beliau, adalah perekat bangsa yang mampu mempersatukan keragaman agama dan keyakinan yang ada di Indonesia.
Penulis: Dian Purwanto