Sekretaris Jenderal Serikat Advokat Muslim Indonesia (SAMI) Juju Purwantoro mengatakan, lima kriteria penceramah radikal yang dirilis Badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT) berpotensi membuat gaduh.
Alih-alih mencerahkan publik, Juju melihat hal itu malah bisa menimbulkan ketidakpastian hukum di masyarakat.
Dia lantas menyoroti aturan pertama yang menyebut penceramah radikal karena anti-Pancasila dan beridelogi khilafah.
“Padahal, apa yang disampaikan ulama tidak jadi masalah sepanjang sesuai nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa dan makna ajaran Islam berdasar Al-Qur’an dan Hadis Rasul,” kata Juju pada Rabu (9 Maret 2022).
Juju blak-blakan menyebut hal itu sebagai kontroversi.
Pasalnya, yang seharusnya dilarang ialah ideologi komunisme.
Menurutnya, adanya ijtimak ulama (2021) dan fatwa MUI telah jelas menerangkan persoalan khilafah.
“Ini penting agar masyarakat dapat memahami makna khilafah supaya tidak dipandang negatif. Ajaran Islam tujuannya untuk kedamaian,” katanya.
Juju juga menyorotu poin kedua kriteria penceramah radikal yang mengajarkan paham takfiri atau mengkafirkan.
Juju beralasan, ajaran Islam memaknai takfiri adalah yang beragama non-Islam dan itu tidak digunakan untuk mengolok-olok.
Pengacara ini mengatakan, jangan sampai keluarnya kriteria penceramah radikal ini membuat Indonesia terjebak pada label dan stigma.
“Sebaiknya BNPT lebih fokus pada fungsi dan tugasnya untuk mengantisipasi dan menangani tindak kejahatan terorisme yang sebenarnya sesuai UU 5 tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme,” katanya.