Dalam suatu peristiwa bersejarah yang melahirkan kelompok pembangkang dan radikal dalam Islam, ada satu petikan menarik yang dikatakan oleh Khalifah Ali bin Abi Thalib. Kalimatun Haqqun Yuriidu bihaa al-Baathil dalam arti yang sederhana kalimat kebenaran yang digunakan untuk keburukan. Pernyataan ini dikeluarkan untuk mendeskripsikan kelompok yang kemudian dikenal dengan sebutan khawarij yang menggunakan dalil agama untuk kepentingan politiknya.
Penegasan ini sejatinya tepat untuk menggambarkan cara berpikir dan perilaku sebagian kecil umat Islam yang kerap menggunakan dalil agama yang benar untuk kepentingan hal yang buruk bahkan kekerasan. Bagaimana tidak, ayat Tuhan ditunggangi dengan tafsir kepentingan yang melahirkan perbuatan setan. Perbuatan yang selalu menghalalkan darah yang seiman dan perbuatan yang selalu mengkafirkan-kafirkan yang berbeda pandangan.
Apakah kelompok ini tidak beragama? Mereka mengaku dirinya sebagai umat beragama yang taat. Bahkan dalam sejarah, pembunuh Ali bin Abi Thalib adalah seorang pemuda yang dikenal shaleh, ahli ibadah dan hafal al-Quran. Kenapa anak muda yang shaleh ini bisa melakukan tindakan pembunuhan? Tidak lain karena pemahaman yang membenarkan bahwa tindakan itu sebagai bagian dari kewajiban dalam beragama. Pemikiran yang telah menafsirkan bahkan memenggal ajaran agama untuk kepentingan politik.
Kelompok yang gemar menjustifikasi kekerasan dengan dalil agama dan merasa paling benar sendiri adalah warisan ideologis dari Khawarij. Secara kasat mata kelompok ini memang tidak besar. Namun, virus khawarij yang dicirikan dengan memanipulasi agama untuk kepentingan kekerasan kerap muncul dalam sejarah. Bahkan akan banyak muncul pemuda yang mengalami kegelisahan keagamaan yang mudah terjerat dalam cengkeraman virus khawarij ini.
Gerakan kelompok radikal terorisme yang kerap menghujamkan kalimat kebenaran dalam bentuk tindakan kekerasan adalah reinkarnasi dari gerakan khawarij. Mereka tidak segan melabeli kekerasan yang mereka pertontonkan sebagai bentuk jihad. Jihad dalam pandangan mereka sudah dikotori dalam bentuk makna dan praktek. Sesungguhnya para perusak agama yang sejati adalah kelompok yang selalu mengatasnamakan agama tetapi untuk kepentingan yang bertentangan dengan tujuan agama.
Keberadaan kelompok ini teramat mengkhawatirkan karena mereka akan mudah mendoktrin umat khususnya anak muda yang tengah mencari identitas dan pendalaman agama. Doktrin heroisme yang mereka tanamkan compatible dengan semangat anak muda yang ingin dilihat sebagai pejuang dan pahlawan. Membela kebenaran menjadi satu impian meskipun nyawa tergadaikan. Baginya mati mulia adalah kebanggaan.
Meluncurlah doktrin keagamaan yang dimanipulasi untuk kepentingan kekerasan. Agama yang sejatinya adalah hikmah penuh kebenaran digunakan untuk perbuatan yang membinasakan. Anak-anak muda adalah korban dari doktrin ini. Sebagaimana dalam sejarah anak muda shaleh yang termakan hasutan untuk membunuh sang khalifah. Jika khalifah seperti Ali bin Abi Thalib yang notabene saudara Nabi dan menantu Nabi bisa mereka halalkan darahnya, apalagi generasi saat ini?
Sungguh kekuatan sihir kelompok yang memanipulasi agama teramat kuat. Kondisi ini harus menjadi perhatian kalangan agamawan untuk membentengi generasi muda umat ini agar tidak mudah terjerat dalam rayuan kelompok yang kerap memanipulasi agama untuk kepentingan kekerasan.
Kampanye islam rahmatan lil alamin dan moderasi beragama adalah bagian penting untuk membentengi generasi muslim saat ini. Teramat sia-sia darah mereka harus dikorbankan untuk kepentingan kekerasan demi kepentingan kelompok tertentu yang kerap mengatasnamakan agama.