Jakarta: Polisi dinilai tidak bisa menjadikan niat pencetus Pasar Muamalah, Zaim Saidi, sebagai upaya membangkitkan sistem khilafah. Niat tidak bisa jadi barang bukti.
“Mens rea (niat) itu tidak bisa dijadikan sebagai alat bukti. Alat bukti adalah barang atau saksi,” kata anggota DPR dari fraksi PKS Bukhari Yusuf dalam diskusi Chrosscheck by Medcom.id dengan tema “Khilafah Berkedok Pasar Muamalah?”, Minggu, 7 Februari 2021.
Polisi dinilai aneh jika menjadikan niat sebagai alat bukti. Dia meminta polisi tidak memaksakan.https://ce9e6a502b1bee612da537d6c4edcdc7.safeframe.googlesyndication.com/safeframe/1-0-37/html/container.html
“Jadi kalau kemudian alat bukti itu, koin atau padi yang ada di situ (Pasar Muamalah),” ujar Bukhari.
Bukhari menilai kasus transaksi dinar dan dirham di Pasar Muamalah ini tidak perlu masuk ke ranah hukum. Kasus ini, kata Bukhori, lebih layak dijadikan alat diskusi ketimbang kasus hukum.
“Silakan saja dilakukan perdebatan di kampus dengan para ahli, dan sebagainya. Hakimnya di situ, jadi jangan di bawa ke ranah hukum. Sebab kalau ranah hukum, bagaimana hukum akan menghakimi pemikiran seseorang,” tutur Anggota Komisi VIII DPR itu.
Baca: Pasar Muamalah Dipakai untuk Infiltrasi Ideologi di Sektor Finansial
Sebelumnya, polisi menangkap Zaim Saidi pada Selasa, 2 Februari 2021. Dia diduga melanggar aturan terkait mata uang. Zaim mendirikan Pasar Muamalah di Depok sejak 2014. Pasar penyedia sembako, makanan, minuman, dan pakaian itu bertransaksi jual beli bukan dengan rupiah, melainkan dinar dan dirham.
Dia memesan langsung dinar dan dirham itu ke PT Aneka Tambang (Antam) Tbk. Dinar dan dirham dicetak dengan mencantumkan tulisan Kesultanan Bintan Darul Masyur Sultan Haji Husrin Hood, Amir Zaim Saidi Amirat Nusantara, Amir Tikwan Raya Siregar, dengan harga sesuai acuan Antam.
Zaim Saidi terancam pasal berlapis. Pertama, dia dikenakan Pasal 9 Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana dengan ancaman 15 tahun penjara. Dia juga dikenakan Pasal 33 UU Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang dengan ancaman satu tahun penjara dan denda Rp200 juta.