Jika menyimak kesaksian Sithu Maung, fenomena itu bisa dipahami. “Orang-orang mulai menyebarkan informasi palsu,” kisahnya mengenang proses nominasi di NLD. “Mereka menyebut saya teroris dan ingin memaksakan bahasa Arab agar diajarkan di sekolah.”
“Bahkan sebagian muslim mengkritik saya, menuduh saya tidak cukup beribadah dan menjadi atheis atau kafir.”
Hasutan serupa dikabarkan membanjiri Facebook, terutama jelang Pemilu. Sithu mengaku butuh waktu bertahun-tahun mempertebal rasa malu demi menyiapkan diri bekerja sebagai anggota legislatif Myanmar dengan statusnya sebagai warga muslim.
Meski demikian, Sithu tidak akan menjadi satu-satunya anggota legislatif muslim di negeri Buddha tersebut. Caleg dari NLD lain, Win Mya Mya, yang berusia 71 tahun juga memenangkan mandat di dapilnya di Mandalay.
Analis politik di Yangon, David Mathieson, mengatakan kemenangan kedua caleg muslim menyiratkan harapan, meski NLD masih harus menanggulangi “diskriminasi terhadap muslim dan minoritas lain yang mengakar dalam” di tubuh masyarakat dan pemerintah.
Namun dia ragu lantaran kekhawatiran petinggi partai, kebijakan tersebut akan mengasingkan mayoritas pemilih.
Sithu Maung sendiri menolak memosisikan diri dalam konflik yang rumit tersebut. Dia berjanji tidak hanya akan melayani warga muslim belaka.
“Jika salah seorang konstituen saya merasa dirugikan atau mengalami ketidakadilan, saya akan bela mereka.”