Kepolisian RI seringkali mengalihkan laporan buruh ke wilayah perselisihan hubungan industrial. KSPI sendiri telah menerima informasi bahwa Polri akan segera mengaktifkan desk atau unit khusus pidana perburuhan di Polda Metro Jaya. Sejauh mana efektifitasnya ?
Jakarta – (02/05/2021). Tahukah Anda bahwa UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan mengatur tentang ancaman sanksi pidana bagi pengusaha yang membayar upah di bawah upah minimum? Ancaman sanksinya yaitu penjara antara satu hingga empat tahun dan atau denda berkisar Rp100 juta sampai Rp400 juta. Hal itu tegas disebutkan dalam Pasal 185 UU Ketenagakerjaan. Walau tegas diatur, tapi bisa dihitung berapa banyak pengusaha yang dipidana karena ancaman Pasal 185 UU Ketenagakerjaan itu. Mantan Pengacara publik LBH Jakarta Kiagus Ahmad Bellasati, SH pernah mengatakan bahwa salah satu penyebab minimnya penegakan hukum pidana ketenagakerjaan adalah karena kurang responsifnya polisi dalam menerima laporan dan atau aduan dari buruh.
Unit khusus perburuhan di Polri
Adalah LBH Jakarta, antara lain yang aktif menyuarakan pentingnya pembentukan unit khusus perburuhan di Kepolisian RI. Salah satunya dengan mengadakan Focus Group Discussion (FGD. Narasumber dalam FGD tersebut, diantaranya; Dr. Surastini, S.H., M.H. Dosen Pidana Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan Dr. Andari Yurikosari, S.H., M.H. Dosen Fakultas Hukum Universitas Trisakti. Diskusi yang dipandu oleh Eny Rofiatul Pengacara Publik LBH Jakarta, kemudian dilanjutkan Restaria F. Hutabarat memaparkan tentang urgensi dibentuknya unit khusus perburuhan di Kepolisian RI. Dimana Resta mencontohkan beberapa best practices yang pernah dicapai untuk mendorong Polri membentuk tim khusus/divisi khusus, misalnya unit khusus perempuan dan anak, unit khusus sumber daya alam dan lingkungan, unit khusus cyber crime dan unit khusus lainnya. Unit khusus yang paling cepat di bentuk di Kepolisian menurut Resta yaitu unit khusus cyber crime dimana kurang dari 2 tahun sejak UU ITE dibuat sudah ada unit kusus cyber crime di Kepolisian, dari pengalaman itu LBH Jakarta mendorong adanya unit khusus perburuhan di kepolisian di karenakan dari banyak data penanganan kasus LBH Jakarta dan sangat banyak kasus yang tidak diproses lebih lanjut di Kepolisian ujar resta.
Resta menjelaskan lebih lanjut, karena tidak adanya unit khusus perburuhan di Kepolisian menyebabkan kasus pidana perburuhan terhambat penanganannya di internal Kepolisian yang merugikan para buruh, karena; pihak kepolisian mengalihkan penanganan pidananya ke ranah perdata (PHI). Buruh dipaksa menerima kesepakatan dan pengusaha melaporkan balik buruh kepada kepolisian dengan tuduhan pasal pencemaran nama baik dan perbuatan tidak menyenangkan, akhirnya pengusaha memaksa buruh mencabut laporannya. Pada saat buruh melaporkan dugaan tindak pidana perburuhan kepada Kepolisian RI tidak diterima, karena Kepolisian tidak mengerti hukum pidana perburuhan dan menganggap bahwa bukan kewenangannya tetapi merupakan kewenangan Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Penyidik di Kepolisian kurang memiliki Pengetahuan dan kemampuan dalam membongkar tindak pidana perburuhan akhirnya penyidik tidak mampu untuk menanganinya.
Keengganan Aparat
Keengganan aparat Kepolisian untuk menindak pelaku pidana perburuhan, biasanya dipicu oleh iklim investasi (pemerintah cenderung melindungi investor). Setelah Resta menjelaskan urgensitas dibentuknya unit khusus perburuhan, kemudian Dr. Andari Yurikosari, S.H., M.H. menjelaskan bahwa menurut Penyidik di Kepolisian, buruh bukan bagian yang penting karena mengganggu keamanan negara dan merusak lingkungan, selain itu permasalahannya polisi tidak memahami hukum perburuhan pada umumnya, kasus dilaporkan di Kepolisian seperti anti serikat pekerja/buruh (union busting), upah tdk dibayar dan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Ketika dilaporkan kepada pihak kepolisian, Kepolisian kerapkali menggiring ahli ke arah yang mereka inginkan. Menurut Andari kendala lainnya yang dimiliki oleh Penyidik di kepolisian dalam menyidik tindak pidana perburuhan yaitu menentukan suatu perkara perburuhan apakah masuk ranah pidana atau perdata. Terkadang Penyidik yang menangani kasus perburuhan bukan polisi yang memiliki kompetensi dan pengetahuan dibidang hukum perburuhan sehingga kasus tidak selesai, ditambah Pengawas sebagai PPNS pun fungsinya kurang sekali, terkadang pengawas menjadi ahli juga. “Pengalaman pribadi saya hal seperti itu tidak mendukung penyelesaian, karena sebagian pengawas memiliki kompetensi yang sangat kurang” ujar Andari. Maka Menurut Andari Penting untuk membentuk unit khusus perburuhan di Kepolisian.
Selanjutnya Surastini yang menyampaikan pendapatnya, bahwa sebetulnya ketentuan pidana yang ada di UU Ketenagakerjaan sifatnya hanya memperkuat sanksi lain, UU Ketenagakerjaan merupakan UU administrasi yang bersanksi pidana, berbeda dengan UU Tipikor. “Saya melihat dalam UU yang modelnya seperti ini cukup sulit bagi polisi, karena rumusan tindak pidana tidak jelas, karena tidak merumuskan unsur dengan jelas, kalau menurut saya harusnya pidana ultimum remedium,” ujar Surastini. Di sini Surastini menjelaskan lebih lanjut bahwa hukum perburuhan sangat erat dengan unsur-unsur perjanjian, itu juga yang membuat polisi menjadi kesulitan. Permasalahan lainnya Kepolisian RI tidak memahami hukum perburuhan, dan perburuhan dianggap tidak penting dan diberi ke penyidik yang kurang kompeten. Surastini mempertayakan Kepolisian dan pemerintah melihat seberapa penting masalah perburuhan itu ditambah, “Pola relasinya antara PPNS Disnaker dan Kepolisian belum jelas, apakah PPNS bisa langsung ke jaksa atau tidak,” ujar Surastini.
Atas penjelasan Surastini dan Andari, Ais dari Gerakan bersama buruh BUMN (Geber BUMN) menanggapi bahwa ia sepakat polisi tidak memiliki kemauan dan tidak menguasai hukum perburuhan. Saya melihat PPNS tidak berfungsi dalam kasus perburuhan, sampai sekarang saya masih bingung, padahal putusan MA (PHI) terbukti terjadi pelanggaran hukum ketenagakerjaan, rekomendasi ombudsman sudah keluar, tetapi sampai sekarang belum ada penegakan hukum, disamping itu juga menurut Ais Seringkali kasus perburuhan di Kepolisian berakhir dengan SP3. Sementara itu, Maruli dari Pengacara Publik LBH Jakarta menambahkan bahwa ia melihat hal yang berbeda, bahwa seringkali Penyidik di Kepolisian dalam menyidik tindak pidana perburuhan, Penyidik mencari jalan aman, dalam menentukan suatu perkara perburuhan merupakan tindak pidana dengan bergantung kepada pendapat ahli, sehingga pendapat ahli menjadi legitimasi bagi Penyidik Kepolisian untuk menghentikan penyidikan perkara perburuhan di Kepolisian. “Oleh karena itu Menurut Maruli harus dibentuk unit khusus perburuhan di Kepolisian RI dengan adanya unit khusus tersebut maka Kepolisian akan lebih fokus untuk menyidik tindak pidana perburuhan tutup Maruli.
Kiagus Ahmad Bellasati, SH yang akrab disapa Aben itu menduga lemahnya pengetahuan hukum perburuhan menjadi salah satu faktor yang menyebabkan kurang responsifnya polisi dalam bertindak. Akibatnya, aparat kepolisian sering menganggap laporan buruh tidak masuk ke ranah hukum pidana, melainkan kasus perselisihan perdata antara buruh dan perusahaan. “Dari awal kalau buruh melapor sekarang sudah agak dipersulit di kepolisian karena kalau dulu kita lapor ke bagian SPK (sentra pelayanan kepolisian, red) langsung diterima. Nah kalau sekarang sebelum terima laporan kita, petugas SPK-nya itu membawa kita kepada penyidik untuk konsultasi kira-kira ini kasusnya masuk pidana atau perdata. Jadi mereka suka kabur menerjemahkan,” aku Aben.
Penyebab lainnya, masih menurut Aben, sampai saat ini belum ada bagian khusus di kepolisian yang menangani masalah perburuhan sehingga tidak ada aparat kepolisian yang mendalami pidana perburuhan secara mendalam. Aben juga mensinyalir bahwa Polri belum melihat kasus perburuhan sebagai perkara yang harus ditangani secara khusus dan serius. Sejauh ini, unit yang menerima laporan buruh di Polda Metro Jakarta adalah bagian Renakta (Remaja, anak dan Wanita) dan Sumdaling (Sumber daya manusia dan lingkungan). Pernyataan Aben bukan isapan jempol. Polri tampaknya tidak bisa membedakan mana perkara perselisihan yang bisa diselesaikan lewat jalur penyelesaian hubungan industrial, dan mana yang mesti ditindaklanjuti secara pidana.
Jalur Pengawasan
Selain melalui jalur kepolisian, lanjut Aben, sebenarnya ada cara lain yang bisa ditempuh buruh untuk melaporkan tindak pidana perburuhan. Yaitu melapor ke bagian pengawasan di Sudinakertrans. Menurut Aben, tiap lembaga itu memiliki keunggulan dan kekurangan. Bagian pengawas di Sudinakertrans memiliki perspektif yang jelas tentang perburuhan, begitu pula kaitannya dengan tindak pidana yang termaktub dalam hukum perburuhan. Tapi kekurangannya, lembaga yang berada di bawah payung Kemenakertrans itu tidak memiliki kekuatan memaksa. Aben mengingatkan bahwa tidak semua aparat Sudinakertrans bidang pengawasan menjabat sebagai Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS). Yaitu jabatan yang memiliki kewenangan untuk melakukan pemeriksaan dan penyidikan. Misalkan dari lima aparat pengawasan ada dua sampai tiga orang yang memiliki kompetensi sebagai PPNS. “Misalkan ketika kita lapor kepada pengawasan terus pengusahanya dijadikan tersangka, maka aparat pengawasan itu tidak memiliki kuasa untuk memanggil pengusaha. Berbeda dengan polisi. Kalau kita lapor ke polisi pasti kewenangan polisi lebih besar dibandingkan dengan pengawas,” kata dia.
Sedangkan untuk lembaga kepolisian, wewenang yang dimiliki lebih menggigit ketimbang pengawas Sudinakertrans. Masalahnya, pihak kepolisian tidak memiliki unit khusus yang menangani diskursus perburuhan. Buruh yang melapor harus berusaha keras meyakinkan polisi bahwa apa yang dilaporkan adalah tindak pidana. Walau terkesan penanganannya tidak ditanggapi serius oleh kepolisian, tapi menurut Aben hal ini penting untuk mendorong buruh agar tetap melaporkan tindak pidana perburuhan ke polisi. Baginya langkah ini dapat menutup celah hukum yang ada di peraturan perundangan perburuhan. Ia berkeyakinan bahwa ini adalah salah satu langkah untuk menegakkan hukum perburuhan. “Saya juga mendorong teman-teman buruh, jikalau memang ada pelanggaran-pelanggaran pidana langsung saja dilaporkan ke polisi. Diterima atau tidak itu lain soal, keadaan ini penting untuk diselesaikan secara serius oleh kepolisian dan negara,” seru Aben.
Unit Khusus Perburuhan Polda Metro Jaya
Dalam upaya merespon kebutuhan pelayanan khusus perburuhan. Kepolisian pun merespon aktif. Seperti dikatakan Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal menyatakan, dari hasil pertemuan sejumlah pimpinan organisasi buruh, termasuk dirinya, dengan Presiden Joko Widodo pada beberapa waktu lalu menyepakati sejumlah hal. Salah satunya, kata Iqbal, adalah pembentukan desk atau unit khusus di kepolisian yang menangani pidana perburuhan. Iqbal mengaku menerima informasi bahwa Polri akan mulai mengaktifkan secara resmi unit khusus pidana perburuhan itu pada saat May Day atau Hari Buruh 1 Mei 2019. Pembentukan unit khusus itu, kata Iqbal, rencananya diuji coba di Polda Metro Jaya. Polri sebenarnya sejak lama didesak untuk membentuk unit khusus pidana perburuhan. Hal ini agar kepolisian turut menangani kasus pelanggaran hak-hak buruh yang telah diatur sanksi pidananya di UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Menurut Iqbal, pembentukan desk khusus pidana perburuhan di kepolisian penting karena selama ini banyak kasus pelanggaran hak buruh oleh pengusaha, yang sebenarnya bisa berujung ke pemberian sanksi pidana, tidak tertangani. Misalnya, tidak cairnya upah buruh atau pemutusan hubungan kerja sepihak. Dia mengatakan, biasanya polisi tidak memproses aduan dan melimpahkan kasus pidana perburuhan ke Dinas Tenaga Kerja (Disnaker). Masalahnya, Disnaker juga seringkali tak menyelesaikan aduan buruh atau membawanya ke Pengadilan Hubungan Industrial. “Kalau [pelanggaran hak buruh masuk dalam unsur pidana, Polri bisa ada satu unit khusus. Ini bukan mau nakut-nakutin pidana, tapi ini keadilan,” ujar Iqbal.
UU Ciptaker dan UMSK
Tanggal merah 1 Mei 2021 adalah May Day atau Hari Buruh Sedunia/Internasional. Hari Buruh Internasional 1 Mei adalah hari raya besar kaum buruh dan kelas pekerja progresif yang sadar akan identitas kelas. Pada May Day 2021 ini, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal mengatakan buruh akan fokus dua isu, yaitu terkait dengan Undang-Undang (UU) Cipta Kerja dan Upah Minimum Sektoral Kabupaten/Kota (UMSK). Dalam konferensi pers virtual yang dipantau dari Jakarta yang dikutip Antara, Presiden KSPI Said Iqbal meminta Mahkamah Konstitusi membatalkan UU Cipta Kerja, yang menyangkut klaster ketenagakerjaan karena dianggap merugikan buruh. Said mengatakan elemen buruh akan melakukan aksi pada Hari Buruh (May Day) 2021 yang dilakukan pada akhir pekan kemarin. Aksi secara nasional dilakukan di depan Istana Merdeka dan Mahkamah Konstitusi di Jakarta dengan jumlah buruh yang dapat mengikuti aksi lapangan masih menunggu koordinasi dengan aparat keamanan.
Untuk tingkat daerah akan dilakukan di pabrik dan kantor pimpinan daerah masing-masing. Terkait dengan aksi di lapangan, Said mengatakan bahwa pihaknya juga sudah melakukan koordinasi dengan Satgas COVID-19 untuk memastikan protokol kesehatan dapat dilakukan oleh mereka yang turun ke jalan. Kami meminta hakim Mahkamah Konstitusi mengabulkan uji formil yang dilakukan perwakilan buruh yang menjadi anggota KSPI terhadap UU Cipta Kerja,” katanya. Para buruh juga dalam aksinya mendorong pemerintah untuk memberlakukan UMSK pada 2021, yang menurut mereka berpengaruh terhadap kepastian pendapatan pekerja. “Kalau kita bicara perlindungan buruh, itu berarti perlindungan masyarakat,” kata dia. Dia juga berharap perwakilan pemerintah dapat menemui delegasi buruh yang melakukan aksi.
6.349 Personel TNI-Polri
Guna mengamankan aksi buruh 1 Mei 2021, tim gabungan TNI-Polri mengerahkan sebanyak 6.349 personel untuk mengamankan aksi buruh pada peringatan May Day yang digelar Sabtu 1 Mei 2021. Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Pol Yusri Yunus mengemukakan ribuan personel TNI-Polri itu dikerahkan untuk membubarkan aksi buruh pada peringatan May Day hari ini Sabtu 1 Mei 2021 di wilayah DKI Jakarta. Sehingga, menurut Yusri, penyebaran covid-19 akibat aksi buruh tersebut dapat diminimalisasi. ”Ada 6.349 personel gabungan TNI-Polri yang akan dikerahkan,” tuturnya. Dia menegaskan tidak akan segan menindak para buruh yang berkukuh melakukan aksi peringatan May Day, tanpa memperhatikan protokol kesehatan selama menjalankan aksi. “Sekali lagi saya ingatkan, patuhi prokkes,” tegas Yusri.
Diberitakan sebelumnya, Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) memutuskan tidak menurunkan massa buruh ke jalan secara besar-besaran pada Perayaan Hari Buruh atau May Day 1 Mei 2021 mengingat pandemi Covid-19 belum usai. “Kami memutuskan untuk May Day 2021 tidak menggelar aksi massa besar-besaran seperti tahun-tahun sebelumnya, karena kami tidak ingin menciptakan klaster baru,” kata Presiden KSPSI Andi Gani Nena Wea. Pertama, kata Andi Gani, saat May Day ia akan memimpin langsung delegasi dari KSPSI datang ke Gedung Mahkamah Konstitusi (MK). Kedua, dirinya juga akan memimpin delegasi ke Istana Negara untuk menyerahkan Petisi May Day 2021.
UMP, UMK dan UMR
Masalah perburuhan di Indonesia memang tak akan jauh dari masalah upah yang disebut sebagi UMP, UMK dan UMR. Masalahnya sanagt sensitif karena soal kesejahteraan buruh dan masa depan perusahaan. Apa sih beda UMP, UMK dan UMR itu? Istilah UMR terdapat dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja tahun 1999 tentang Upah Minimum. Pada pasal 1, dijelaskan bahwa UMR terdiri atas dua tingkat, yakni UMR tingkat I yang berlaku dalam tingkat provinsi, atau Upah Minimum Provinsi (UMP) dan UMR tingkat II yang berlaku dalam tingkat kabupaten/kota atau Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK). UMR ditetapkan berdasarkan Kebutuhan Hidup Layak (KHL) yang dipengaruh oleh kebutuhan, indeks harga konsumen (IHK), kemampuan, perkembangan, dan kelangsungan perusahaan, upah umum yang berlaku di daerah tertentu, kondisi pasar kerja, serta tingkat perekonomian dan pendapatan per kapita. Pada peraturan Menteri Ketenagakerjaan terbaru, istilah UMR tidak digunakan. Dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 15 tahun 2018 tentang Upah Minimum, istilah yang digunakan adalah UMP dan UMK untuk menentukan upah pokok bulanan yang berlaku dalam satu provinsi dan kabupaten/kota.
Upah minimum ditetapkan menggunakan formula tertentu yang melibatkan perhitungan inflasi year on year serta Produk Domestik Bruto (PDB) kuartal III dan IV tahun sebelumnya dan kuartal I dan II tahun berjalan. UMP dihitung oleh dewan pengupahan provinsi, yang selanjutnya akan diumumkan dan diputuskan oleh gubernur. Sementara UMK dihitung oleh dewan pengupahan kabupaten/kota yang selanjutnya diberikan pada bupati atau walikota untuk direkomendasikan kepada gubernur provinsi setempat. Baik UMP dan UMK akan diumumkan oleh gubernur setiap tahunnya. Selain itu terdapat pula istilah Upah Minimum Sektoral Provinsi (UMSP) dan Upah Minimum Sektoral Kota (UMSK). UMSP dan UMSK merupakan upah minimum sektoral yang berlaku dalam satu provinsi atau kabupaten/kota. Penetapan nilai UMSP dan UMSK harus lebih besar dibanding UMP dan UMK.
Peran Polisi
Sebagaimana halnya demo atau aksi buruh, di mana pun akan berpotensi timbulnya gangguan kamtibmas. Di sinilah peran polri harus semakin dalam untuk urusan perburuhan ini. Contoh pencegahan kerawanan ini dilakukan dengan baik oleh salah satu polsek di Salatiga. Dalam rangka mewujudkan terciptanya situasi kamtibmas yang aman dan kondusif, meminimalisir potensi kerawanan, Kapolsek Argomulyo Polres Salatiga AKP Mochamad Zazid SH MH bersama Bhabinkamtibmas Noborejo Aiptu Heru Purwanto, melaksanakan patroli sambang kewilayahan sekaligus mensosialisasikan adanya penetapan UMR (Upah Minimum Regional) di Distributor Gudang Kopi Noborejo Argomulyo,
“Melaksanakan patroli sambang kewilayahan untuk memantau situasi kamtibmas dan lebih mendekatkan diri dengan seluruh lapisan masyarakat, sekaligus sosialiasi kepada perusahaan dengan adanya penetapan UMR yang baru, hal ini untuk menghindari adanya gejolak di perusahaan, guna antisipasi kerawanan terkait tuntutan karyawan atas penetapan UMR yang baru, silahkan berkoordinasi dan diinformasikan apabila ada keluhan baik pihak perusahaan maupun karyawan, bisa disampaikan langsung atau melalui Bhabinkamtibmas yang akan senantiasa sambang kewilayahan, agar tercipta kamtibmas yang kondusif,” jelas AKP Mochamad Zazid SH MH. Rudi Kepala Distributor Gudang Kopi, berterimakasih atas kunjungannya sosialisasi penetapan UMR, perusahaan siap dengan penetapan UMR yang baru, untuk karyawan tidak terlalu banyak karena hanya distributor, dan tidak keberatan dengan UMR yang baru.
Kapolres Salatiga AKBP Yimmy Kurniawan S.IK., M.H., M.IK., ditempat terpisah menyampaikan bahwa dengan sinergitas yang sudah baik dengan pihak pengusaha perlu dibina dan dijaga dengan rutin melaksanakan sambang sekaligus memberikan saran himbauan khususnya terkait dengan posialisasi penetapan UMR, sehingga situasi yang aman dan kondusif dapat terjaga serta antisiapasi gejolak perusahaan maupun karyawan. Semakin jelas bagi kita bahwa peran polisi sangat penting dalam mengawal dan melakukan penegakan hukum di bidang tenaga kerja ini. Semua yang terlibat dalam ketenagakerjaan, tidak terkecuali wajib tunduk dan taat terhadap UU yang berlaku. Baik buruh maupun pengusaha, sama wajibnya dalam mendapatkan perlindungan dari aparat penegak hukum khususnya Polri. Hanya Polri yang dapat membantu karyawan dan pengusaha, sehingga Polri harus mampu bertindak adil, responsif kepada semua pihak, karena polisi mempunyai kekuatan memaksa, sehingga dapat menjamin pelaksanaan undang-undang ketenagakerjaan yang berlaku. Dalam konteks ini, maka keberadaan unit khusus perburuhan di tubuh Polri menjadi sangat urgen dan relevan untuk diwujudkan dan dikawal efektivitasnya.(Saf).