Menurut laporan hingga tahun 2007 kemampuan personil Polri masih berada pada tingkat dasar terutama bidang cyber crime. Masih diperlukan berbagai program berupa pelatihan guna peningkatan kapasitas personil Polri. Lebih jauh lagi tantangan sehubungan dengan penerapan teknologi utamanya siber dan kejahatan siber Indonesia. Indonesia memerlukan minimal tujuh ribu polisi cyber serta pakar siber untuk melakukan monitor dan pengontrolan serangan-serangan siber, kata Wahyudi Djafar, dari ELSAM yang menganggap kapasitas polisi masih jauh dai yang diharapkan dalam perkara penyelidikan kejahatan siber.
Jakarta, 17 Maret 2021. Berinternet secara aman dan tidak merugikan pihak lain sudah tidak dapat lagi diandalkan keamanannya. Ini karena makin tingginya laku kriminalitas yang merambah masuk ke ranah siber dengan berbagai kompleksitas elemen tantangan-tantangan dan kerugian yang diakibatkannya. Kerugian itu dapat berupa material, waktu, nilai jasa, harga diri, kerahasiaan dan masih banyak lagi. Itulah alasan paling dasar mengapa lajunya tingkat kriminalitas di dunia maya menjadi prioritas utama untuk ditangani lebih secara serius oleh para aparat penegak hukum.
Aparat penegak hukumnya di seluruh dunia telah lama menyadari perlunya mengantisipasi persoalan kejahatan siber dalam konteks karakteristik kejahatan khas yang khas dan berbeda dengan ruang konvensional. Di luar negeri, polisi-polisi siber sudah lama hadir melayani masyarakat. Mereka dikenal dengan label-label penamaan yang berbeda-beda, misalnya polisi digital atau polisi internet atau polisi siber. Kehadiran polisi siber di Indonesia mendapatkan justifikasinya karena banyaknya pengguna komputer telah, berpotensi atau akan menjadi korban, bahkan menjadi pelaku kejahatan siber itu sendiri, dengan sasaran domestik maupun internasional.
Polisi siber di Indonesia penting menyadari bahwa di negara-negara maju sekalipun, di mana mereka sudah lama beroperasi, masih banyak masalah-masalah dan kendala yang dihadapi personelnya yang sering belum ditemukan solusi-solusinya. Karenanya, mereka masih senantiasa melakukan pelatihan, pendidikan dan lain-lain secara kontinyu dengan pendanaan yang tidak sedikit. Dan yang tak kalah penting adalah menentukan prioritas-prioritas kerja agar kinerjanya dapat efektif, efisien dan memenuhi tuntutan publik.
Di antara tantangan terbesar yang dihadapi tak lain adalah bagaimana menciptakan polisi siber yang dapat selalu berada lebih jauh depan dibanding pelaku kejahatan siber itu sendiri, yakni keahlian dan kemampuan teknologi yang mumpuni demi tugas penegakan hukum. Yang mereka hadapi adalah penjahat-penjahat berpendidikan dan pandai. Ironisnya justru yang masih sering terjadi di lapangan adalah sebaliknya. Banyak kasus-kasus kejahatan siber tidak dapat teratasi. Mengantisipasi kejahatan model baru siber cukup menantang dan mahal serta perlu komitmen dari semua pihak.
Pro-Kontra polisi Siber
Di Indonesia, menariknya, polisi siber ternyata tidak saja dihadirkan untuk menangani persoalan kejahatan-kejahatan jenis baru siber seperti kebanyakan negara lain, namun juga mencampuri bentuk ‘kejahatan lama’ yang kini bersliweran beroperasi di ranah internet, dan utamanya mengenai konten ilegal dan sosial media. Pemasangan rambu-rambu etika dalam berinternet agar penggunanya tidak anti sosial, melakukan pencemaran nama baik atau membuat ujaran kebencian kini tidak lagi hanya sebagai delik aduan tapi sudah dianggap bentuk kejahatan. Karenanya ini langsung menuai protes dari masyarakat termasuk dari para pemerhati siber lokal maupun internasional. Mengingat ruang maya atau cyberspace yang khas, dipertanyakan bagaimana bisa polisi siber menentukan dengan pasti yurisdiksi hukum karena sifatnya yang transnasional di mana pembentukan hukum-hukum baru masih harus diciptakan dan menyangkut masyarakat internasional.
Kelompok yang pro model polisi siber di Indonesia percaya bahwa kehadiran mereka dalam ranah siber diperlukan dan sudah lama dinanti-nanti. Pengamat media sosial, Enda Nasution menilai bahwa negara perlu hadir di ruang-ruang digital termasuk di media sosial. Menurutnya, ruang digital juga merupakan ruang publik yang membawa dampak signifikan pada beberapa aspek sehingga sudah sewajarnya pemerintah dalam rangka menjaga dan melindungi hak warga negara yang lain juga hadir di situ.
“Tapi pemerintah juga harus dalam koridor hukum dan semangatnya melindungi kebebasan serta kenyamanan berekspresi, bukan melakukan represi,” ujarnya. “Keberadaan polisi siber positif untuk menyehatkan ruang digital. Tetapi kerja mereka harus ditopang dengan aturan hukum yang lebih demokratis berupa perubahan.” Kata anggota Komisi III DPR Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa Heru Widodo. PPP kurang setuju dan lebih menyarankan pemerintah memperkuat Direktorat Tindak Pidana Siber (Dittipifsiber) Bareskrim Polri daripada gembar-gembor soal wacana polisi siber.
“Sebenarnya yang disebut polisi siber itu cukup Dittipidsiber Polri yang diperkuat saja, dibantu oleh badan lain, BSSN dan Kominfo. Jadi bukan dalam arti polisi khusus dengan kesatuan sendiri seperti Densus 88 atau Brimob itu,” kata Sekjen PPP demisioner Arsul Sani (29/12/2020). Mereka yang tidak setuju dengan kiprah polisi siber mengkhawatirkan kehadiran mereka justru akan merugikan kebebasan berpendapat masyarakat. Dan upaya memasifkan polisi siber membuat makin tidak bebas mengkritik pemerintah karena rawan dilaporkan ke polisi. Yang lain menganggap ini adalah kesengajaan pemerintah untuk memancing isu yang berkembang di masyarakat dan upaya menangkap pihak-pihak tertentu dengan dalih ketertiban.
Tugas ketertiban dan penciptaan kontra narasi ini banyak yang menilai bukan masalah siber yang sesungguhnya. Ini merupakan pendekatan keamanan dan terorisme padahal pelaku kejahatan siber seringkali motifnya murni hanya mencari keuntungan finansial, tidak politis dan tidak merupakan musuh negara. Mengurusi berita-berita yang dianggap tidak benar dan meluruskannya merupakan upaya yang akan menyita terlalu banyak energi polisi siber yang fungsinya diperlukan di bidang lain. Banyak pengamat di luar negeri yang melihat fungsi siber Indonesia berbeda dengan negara-negara lain dan mencurigai bahwa pembentukan polisi siber ini bernuansa politis dan alat keberpihakan polisi pada penguasa yang sedang memerintah sehingga berpotensi merepresi rakyat.
Menurut mereka, selain kebebasan berpendapat yang sudah diatur Undang-Undang itu, kejahatan siber yang sesungguhnya di Indonesia ada banyak dan sudah meresahkan masyarakat. Pengajar Universitas Binus Vidya Prahassacitta menganggap bahwa sesungguhnya Indonesia tidak memiliki definisi hukum untuk kejahatan Siber. UU ITE yang ada, membagi kejahatan menjadi dua yaitu yang menargetkan internet, komputer dan teknologi terkait dan konten ilegal menggunakan internet, komputer dan teknologi terkait. Yang terakhir adalah untuk melakukan kejahatan dalam publikasi dan distribusi konten ilegal terkait. Pemerintah ingin mengatur fungsi media baru seperti media sosial yang berkaitan dengan hak asasi seseorang berekspresi.
Tindakan kriminal menurutnya sebenarnya sudah ada Undang-Undangnya. UU ITE cuma undang-undang administratif. Ia menilai bahwa mempermasalahkan konten ilegal tidak dapat diklasifikasikan sebagai kejahatan siber, karena tidak sesuai dengan konvensi internasional kejahatan siber The Budapest Convention on Cybercrime 2001. Pemberlakuan UU ITE selama ini telah membuat polisi siber masih terlalu fokus pada penanganan ujaran kebencian dan konten tipuan daripada merespon aktivitas kejahatan komputer yang menyangkut hal-hal seperti retas-meretas, kebocoran data, pencurian data pribadi dan seterusnya.
Namun pembelaan polisi dinyatakan oleh anggota Kompolnas Poengky Indarti. “Sudah ada aturan-aturan hukumnya, kapan seseorang dianggap melanggar hukum dan kapan polisi bisa bertindak. Jadi tidak sewenang-wenang. Ada juga pra peradilan yang dapat menguji jika diduga penyidik melakukan salah tangkap atau salah tahan. Ada juga pengawas internal dan eksternal yang mengawasi Polri,” katanya.
Kejahatan siber prioritas di Indonesia
Dalam kenyataaanya angka cyber crime di Indonesia sudah cukup gawat. Ini dapat dilihat dari laporan State of The Internet tahun 2013 yang menyebutkan Indonesia negara dengan urutan kedua terbesar dalam kasus cyber crime di dunia. Angkanya mencapai 36,6 juta serangan. Sejak 2012 sampai dengan April 2015, sub unit cyber crime Kepolisian Indonesia telah menangkap 497 orang tersangka kasus kejahatan dunia maya. Dari jumlah tersebut, sebanyak 389 orang di antaranya merupakan warga negara asing dan 108 orang warga negara Indonesia. Dengan peningkatan yang cukup signifikan itu,Indonesia negara dengan situasi gawat cyber crime sehingga pihak Polri harus melihat segi keseriusan menanganinya.
“Terkait dengan atrol polisi siber, tugas utama lain yang seharusnya ditingkatkan ialah penanganan kasus penipuan online. Jumlah laporan penipuan online lebih banyak daripada laporan penyebaran konten provokatif. Pemerintah belum serius menindaklanjuti laporan penipuan online. Ujar Ketua DPP PKS Sukamta (29/12/2020).
Sudah siapka polisi Siber di Indonesia?
Pertama-tama kita harus melihat jumlah personel Polri secara umum. Data kepolisian tahun 2017 menunjukkan bahwa dengan jumlah personel Polri sebanyak 462.000, berarti rasio nasional 1:700 atau 1:800 atau 1:750, padahal idealnya 1:300 atau 1:400, atau sekitar 1:350,” kata kriminolog dan pemerhati keamanan siber Maman Suherman. Menurut laporan, hingga 2007 kemampuan personil Polri masih berada pada tingkat dasar terutama bidang cyber crime. Masih diperlukan berbagai program berupa pelatihan guna peningkatan kapasitas personil Polri (inet.detik.com, 11 Juni 2007).
Lebih jauh lagi, tantangan sehubungan dengan jumlah personel. Indonesia memerlukan minimal tujuh ribu polisi cyber serta pakar siber untuk melakukan monitor dan pengontrolan serangan-serangan siber, kata Wahyudi Djafar, dari ELSAM yang menganggap kapasitas polisi masih jauh dai yang diharapkan dalam perkara penyelidikan kejahatan siber. Supriyadi Widodo Eddyono dari Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) juga menganggap bahwa polisi masih hanya menindaklanjuti kasus-kasus yang mudah mendapatkan buktinya dan dikumpulkan dalam waktu pendek.
Ahli Digital Forensik Muhammad Nur Al-azhar menyatakan bahwa ahli digital forensic di Indonesia bisa dikatakan masih kurang, karena [orang-orangnya) itu-itu saja. Polisi ‘core bisnisnya’ bukan di TI meski memiliki sistem elektronik, Padahal dituntut menjadi ahli forensik digital untuk tugas-tugas penyelidikannya.
Sekarang ini yang ada diperkirakan baru 15 orang polisi siber dan hanya sekitar seribu pakar. Kata Direktur Penelitian Cyber Security Center ITB Yusep Rosmansyah. Komputer related crime merupakan kejahatan yang umum, tapi ada bukti digital di dalamnya. Namun menurutnya kejahatan siber kini menyangkut kejahatan teknologi tinggi (hi-tech crime), peretas (hacker), dan modus operandi yang lebih kompleks. Kini semua jenis kejahatan memerlukan tenaga forensik digital sebagai alat melakukan penyelidikan dan penemuan bukti yang berkaitan dengan perangkat teknologi.
Tenaga di bidang keamanan siber di Indonesia juga masih sangat kurang. Sudah saatnya jumlah tenaga di bidang ini harus ditingkatkan agar serangan kejahatan siber terhadap lembaga-lembaga keuangan termasuk bank-bank papan atas dapat terbantu. Demikian sikap keprihatian dari Program Manager InfraDigital Foundation (IDF), I Gede Pandu Wirawan 10/10/2020. Belum lama ini Presiden Jokowi menyatakan bahwa tantangan kepolisian selalu meningkat seiring dengan penerapan teknologi cyber dan adanya cyber crime di Indonesia.
“Kita tidak lagi berpikir dengan cara biasa-biasa saja, tidak bisa lagi menggunakan cara bekerja yang monoton, tidak bisa lagi dengan kemampuan yang standar-standar saja,” lanjut Jokowi. Pihak Mabes Polri tampak sudah langsung mengantisipasi harapan-harapan mengenai tuntuntan teknologi. Baru-baru ini Polri sudah mulai memanfaatkan layanan kecerdasan buatan (AI) dan Internet of Things (IoT) untuk keamanan siber mereka. “Ini merupakan bagian dari langkah pengembangan TI kepolisian di 32 divisi TK Mabes Polri. Pemanfaatan kecerdasan buatan mampu meningkatkan pelayanan polisi terhadap masyarakat. Visi ke depannya polisi adalah mengubah pemolisian dengan digital,” jelas Brigjen Pol Yehu Wangsa Jaya, pengembang teknologi informasi (TI) Kepolisian Tingkat 2 Divisi Teknologi Informasi dan Komunikasi (Div TIK) Mabes Polri.
Jelaslah bahwa Pihak Polri juga harus menyadari akan kekurangan-kekurangannya yang dihadapi oleh polisi siber saat ini. Berdasarkan standar internasional banyak prasyarat yang diperlukan agar dapat berkinerja dengan baik. Negara maju sekalipun, yang sudah menginvestasikan banyak anggaran itu masih suka kewalahan dalam menghadapi kejahatan yang memang berhubungan dengan perkembangan teknologi baru. (Isk – dari berbagai sumber)