Perlu komitmen antara kepolisian dan mitra pemangku kepentingan lain (sekolah, orang tua dan komunitas publik) untuk membuat terobosan-terobosan atas pendekatan dan program sosialisasi dan edukasi pengurangan kecelakaan lalu lintas di kalangan milenial seperti yang sudah dimulai di banyak negara lain. Setting budaya di Indonesia yang berbeda dengan Barat menyebabkan kajian-kajian ilmiah pencarian solusi dan rekomendasi yang lebih tepat dan mensasar kalangan milenial Indonesia akan menjadi kebutuhan. Sudah saatnya program seperti ‘tertib di jalan adalah refleksi tertib di masyarakat’ diperkenalkan agat berjalan efektif dan berdaya kuat menyokong tugas-tugas Korlantas.
Jakarta, 27 Maret 2021. Kakorlantas Polri Irjen Pol Refdi Andri telah menyatakan bahwa supaya angka kecelakaan lalu lintas dapat menurun, Polri perlu merangkul kalangan milenial. Usaha itu antara lain dilakukan dengan melakukan kampanye yang terstruktur, masif, membumi dan berkelanjutan. Menurut catatan polisi, kecelakaan di kalangan milenial adalah yang paling besar, terutama bila melihat data dari tahun 2014 hingga 2018. Usia mereka adalah antara 16-35 tahun dengan jumlah korban yang tercatat sebanyak 18.000 jiwa. Pemicu kecelakaan di kalangan milenial, menurutnya, adalah penggunaan gadget. “Masalah lalu lintas sebagian besar disebabkan adanya pelanggaran,” ujar Direktur Keamanan dan Keselamatan (Dirkamsel) Korlantas,Brigjen Pol Chryshnanda Dwilaksana. (17/1/2019).
Direktur Lalu Lintas Polda Metro Jaya, Komisaris Besar Yusuf menyatakan bahwa kurangnya kesadaran saat berkendara menjadi faktor tingginya angka kecelakaan di Indonesia. Perilaku kalangan milenial yang melanggar lalu lintas, terutama karena menggunakan gadget sudah serius, tapi tampaknya masih sering dianggap tidak serius oleh masyarakat. Sikap permisif ketika mereka melakukan pelanggaran telah berakibat munculnya sikap masa bodoh dan mengganggu tertib berlalu lintas yang harus dipenuhi. Diperkenalkannya gadget sebenarnya bukan hanya gaya hidup generasi milenial di Indonesia saja, tapi kehidupan mereka yang konstan di balik layar sudah menjadi gejala di seluruh dunia, bahkan juga kelompok-kelompok usia lainnya.
Chryshnanda berpendapat bahwa maraknya penggunaan gadget faktor menyebabkan kalangan milenial tidak fokus saat membawa kendaraan sehingga mengakibatkan kecelakaan. “Kaum millenial paling mendominasi. Ternyata kecanggihan teknologi yang ada di gadget (telepon genggam) juga turut berpengaruh,” jelasnya (19/1/2019). Mereka banyak diketahui berkendara sambil bertelepon. Dilaporkan bahwa pengendara milenial lebih fokus memainkan telepon genggam saat membawa kendaraan dan mengabaikan konsentrasi pada jalan. “Banyak anak muda yang berkendara sambil (menggunakan) telepon dan dengar musik. Bahkan ada pula HP yang sengaja diletakkan di dashbord depan. Tentu ini dapat mengurangi konsentrasi atau fokus saat berkendara,” jelasnya.
Perlu dasar data untuk menyasar milenial
Selama ini sudah pernah diadakan acara-acara kampanye yang ditujukan kepada kelompok milenial. Pada tahun 2019 diadakan Program Milenial Road Safety Festival oleh Korlantas di 34 provinsi se-Indonesia. Tujuannya untuk mewujudkan generasi milenial yang cinta lalu lintas menuju Indonesia gemilang. Kaum milenial diedukasi agar lebih tertib saat berlalu lintas dan pihak kepolisian berkepentingan menyadarkan kelompok ini tentang etika berkendara. Harapan untuk melakukan kampanye di kalangan milenial yang terstruktur, masif, membumi dan berkelanjutan tampaknya tidak hanya bisa sebatas acara seperti festival namun tidak menggunakan asas keberlanjutan.
Selama ini sudah banyak usaha pemberian edukasi lewat penggunaan online, sosial media dan sebagainya, namun tampaknya masih terkesan formal dan kering, terutama bila sasarannya untuk kelompok dimaksud. PT Jasa Raharja Yogyakarta bersama Satlantas Polres Gunungkidul menyelenggarakan sosialisasi Millenial Road Safety yang dikemas lewat webinar dan menyasar pelajar SMK N 1 Wonosari (24/3/2021). Anggota dari Unit Dikyasa Satlantas Polres Gunungkidul Briptu Trias Muttaqina tampak mengimbau para siswa selalu mentaati aturan lalu lintas. Sebab, faktor kecelakaan lalu lintas didominasi pengemudi tidak disipilin, emosional dan mabuk. Tentu saja upaya tersebut sangat penting. Namun bila kita tilik materinya yang amat umum, tampaknya sosialisasi dan edukasi seperti ini masih bisa disempurnakan lagi.
Sudah waktunya sosialisasi untuk kalangan milenial lebih baik diberikan dengan gaya milenial dan mengangkat persoalan-persoalan prioritas yang langsung mempengaruhi kelompok ini, misalnya terhadap etika berkendara motor di kalangan milenial khususnya di Jawa dalam hubungannya dengan akibat fatal yang diakbitkannya. Keterlibatan mereka dalam sponsor-sponsor acara musik selama ini, tampaknya masih sangat umum, terbatas dan membosankan. Menciptakan materi perubahan perilaku terutama di kelompok ini, harus diterjemahkan secara hati-hati, matang dan benar agar hasil capaiannnya dapat sesuai dengan pengurangan angka kecelakaan lalu lintas di Indonesia yang tren nya secara memprihatinkan makin meningkat selama ini.
Membidik kalangan milenial untuk kampanye keselamatan berlalu lintas idenya sudah baik dan tepat. tapi sepertinya masih harus dilakukan dengan pendekatan dan strategi yang inovatif dan penuh terobosan. Pertama, para pengambil keputusan semestinya menggunakan data akurat yang tersedia mengenai situasi kecelakaan lalu lintas di kalangan milenial sehingga prioritas untuk upaya jangka pendek yang dapat langsung terlihat hasilnya dapat diterapkan guna mengurangi jumlah kecelakaan Indonesia. Kedua, bagaimana menerjemahkannya sehingga pesan-pesan dapat meraih gaya hidup dan cara berfikir kelompok ini.
Data Korps Lalu Lintas (Korlantas) Polri tahun 2018 menyebutkan bahwa 56,87% kecelakaan di Indonesia terjadi pada kelompok anak muda usia produktif. Pengguna sepeda motor lah yang mendominasi sebanyak 75 persen dari keseluruhan kecelakaan di Indonesia tersebut. Lebih dari 25 persen dari kecelakaan itu melibatkan pengendara sepeda motor usia di bawah umur. Faktor kecepatan lah yang telah menyumbang sebesar 40 persen faktor utama penyebab terjadinya kecelakaan lalu lintas ini. Jumlah kecelakaan yang tinggi pada pengguna kendaraan sepeda motor ini berkesesuaian dengan persentase booming kendaraan sepeda motor yang rata-rata sebesar 16 persen per tahun di Indonesia. Karenanya, sepanjang jumlah kendaraan ini melesat naik, maka jumlah korban kecelakaan diprediksi akan ikut naik pula.
Brigjen Pol Chryshnanda Dwilaksana mencatat angka 24,43 persen korban kecelakaan meninggal merupakan pelajar/mahasiswa anak “zaman now yang merupakan generasi muda Indonesia untuk masa depan. Mereka adalah bagian dari hampir 30 ribu orang yang terpaksa meninggal dunia akibat kecelakaan lalu lintas. Itu pun hanya berdasarkan yang dilaporkan saja. Artinya, jumlahnya mungkin lebih banyak lagi. Dapat dibayangkan betapa besarnya jumlah generasi muda di Indonesia yang mati sia-sia karena kecelakaan lalu lintas yang sesungguhnya bisa dihindari terjadi.
Menurut akun Subdit Dikmas Korlantas Polri, berdasarkan Data Integrated Road Safety Management (IRSMS), empat Propinsi tertinggi tempat terjadinya kecelakaan di Indonesia antara lain Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat dan Sulawesi Selatan. Data di atas menyimpulkan bahwa programnya memang harus menyasar kalangan milenial. Tapi harus diperhatikan pula bahwa ada kebutuhan untuk menyasar kelompok pre-milenial, mengingat data menunjukkan korban yang bersepeda motor di 4 propinsi yang tertinggi kasusnya juga melibatkan anak-anak di bawah umur. Adalah penting dan mendesak, pertama-taama memperhatikan isu dan konsep tentang keselamatan dan keamanan berkendara dalam budaya Indonesia, terutama aspek permisif atas pelanggaran dan adanya sikap masa bodoh di kalangan masyarakat.
Prof David Reeve, peneliti budaya populer Indonesia, pernah menyatakan keheranannya mengenai adanya sikap di kalangan orang Indonesia yang tidak memandang penting soal konsep keselamatan diri, terutama yang berhubungan dengan kerja dan berkendara. Ia mencatat bahwa banyak orang di Indonesia masih melihat keselamatan diri atau individu adalah kekangan dan bukan kebutuhan dan dianggap suatu perintah dari seorang yang superior. “Rendahnya penggunaan peralatan keselamatan kerja atau berkendara (seperti penggunaan helm atau sabuk pengaman) menurutnya sudah dianggap lumrah di mana-mana. Kini ada kebiasaan baru seperti mengabaikan keselamatan ketika berkendara sambil menggunakan telepon genggam.” Ujarnya.
Dengan kata lain, yang dibutuhkan sekarang adalah melakukan revolusi perubahan prilaku bagi seluruh masyarakatnya sebelum menargetkan pada kalangan milenial juga. Edukasi dan sosialisasi adalah soal mendasar dalam perubahan perilaku dan sebenarnya harus dimulai dari lembaga pendidikan seseorang sejak dini dan lanjutan. Persoalan penggunaan gadget yang menjadi faktor munculnya kecelakaan sesungguhnay bukan dominasi milenial Indonesia, tapi siapa saja, di seluruh dunia dan tidak jarang dilakukan pula oleh kalangan terdidik yang egoistik atau tidak menyadari perilakunya yang telah ikut membahayakan orang di jalan. Mencontoh pengalaman negara-negara luar negeri, budaya berlalulintas, ketaatan pada hukum dan etika penggunaan gadget telah menjadi bagian integral kurikulum pendidikansekolah dasar hingga lanjutan seperti di Australia.
Karenanya, penerapan sanksi dan tilang elektronik di Australia tidak menangkap para pengguna gadget ketika berkendara sebanyak di Indonesia. Besarnya denda termasuk sistem ‘demerit’ yang bisa menyebabkan kehilangan SIM nya, telah menyebabkan kepatuhan yang tinggi di kalangan masyarakat di Australia agar tidak main-main dengan peraturan keselamatan yang diterapkan Pemerintah. Sepertinya pendidikan etika penggunaan gadget di lingkungan pendidikan di Indonesia belum terlalu dikenal walau sebenarnya nilai strategisnya besar dan menguntungkan program-program edukasi yang lebih luas. Infrastruktur intervensi sudah tersedia dan terutama pihak Polri pun sudah menggunakan teknologi informasi lewat kebijakan-kebijakannya. Karenanya, ini dapat menjadi perluasan program di masa-masa yang tidak terlalu lama.
Tampaknya perlu komitmen antara kepolisian dan mitra pemangku kepentingan yang lain (misalnya sekolah, orang tua atau komunitas publik) untuk membuat terobosan-terobosan atas pendekatan dan program seperti yang sudah dimulai di banyak negara lain di luar Indonesia. Bahwa setting budaya di Indonesia yang berbeda dengan Barat menyebabkan kajian-kajian ilmiah untuk pencarian solusi dan rekomendasi yang lebih tepat terutama yang mensasar khususnya kalangan milenial Indonesia, akan menjadi kebutuhan.
Sudah saatnya program seperti ‘tertib di jalan adalah refleksi tertib di masyarakat’ diperkenalkan, dapat ia berjalan efektif dan berdaya menyokong tugas-tugas Korlantas. Lebih jauh lagi, pihak kepolisian di beberapa negara tidak segan-segan menggunakan secara serius hasil riset akademik ‘evidence based’ dan bersedia bermitra dengan lembaga sekolah dan perguruan tinggi untuk tugas penyusunan kurikulum dan riset-riset spesifik untuk penyusunan program-program preventif. Terakhir, telah menjadi global pula bahwa pembangunan kesadaran generasi milenial agar meningkatkan kepeduliannya dalam segi apapun, sudah tidak lagi bisa dilakukan secara tradisional dan didaktif melainkan penting memanfaatkan pendekatan baru penggunaan sarana audio visual, story telling atau upaya-upaya komunikatif generasi baru. Secara gamblang, materi-materi yang berkenaan dengan road safety perlu dikemas secara edutainment dan sibernetika penuh pesan-pesan bertenaga dalam platform media sosial yang dapat menjadi viral di-follow atau berbentuk lain seperti bentuk apps, online dan jenis teknologi terbaru lainnya.
Penggunaan figur publik atau influencer kini cukup strategis, karena banyak dampaknya terhadap kelompok milenial disbanding pendekatan formal dan kelembagaan yang dilaukan pihak kepolisian sendiri. Perlu diingat bahwa kemitraan dengan perusahaan-perusahaan otomotif yang digandrungi kalangan segmen tertentu (dalam hal ini kelompok milenial) mesti dibuat agar mereka turut berperan dalam kampanye. Harus ditekankan bahwa tugas ini tidak bisa berhasil dilaksanakan bila hanya mengandalkan keterbatasan personel dan kapasitas kepolisian saja. Karena persoalan kecelakaan lalu lintas di Indonesia menyangkut kalangan milenial yang bersepeda motor, maka pihak Korlantas seharusnya mengikutsertakan pihak perusahaan sepeda motor dalam program-program peningkatan etika berkendara yang baik, termasuk edukasi dan tips untuk menghindari kecelakaan di kalangan anak-anak di bawah umur di Indonesia.
Kalau materi-materi edukasi untuk generasi pre-milenial dapat dibuat dalam waktu depat, maka sesudah 2-3 tahun dilaksanakan, akan nyata sekali hasilnya bagi upaya pengurangan tingkat kecelakaan di kalangan anak di bawah umur di Indonesia. Program-program ketrampilan berkendara dapat disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat Indonesia yang plural dan pendekatan lokal kadang dapat menolong. Pesan-pesan edukasi positif seperti ‘kalangan milenia Indonesia akan berkendara dengan cool tapi responsible’ harus diprioritaskan dibentuk daerah-daerah yang menurut data, tertinggi tingkat kecelakaannya di kalangan milenial.
Tentu saja acara-acara sosialisasi dan edukasi semacam ini wajib diimplementasikan sebesar-besarnya puls lewat penggunaan platform media sosial, dengan pendekatan gaya komunikasi milenial tertentu. Salah satu rekomendasi penting Strategi Road Safety yang disusun negara bagian South Australia adalah memperluas program-program baru dan inovatif terutama menyasar kalangan muda lewat penggunaan platform sosial media dan online sebesar-besarnya. Hanya dengan cara ini, demikian disebutkan, masyarakat muda di Australia Selatan akan semakin dapat terlibat dalam upaya-upaya promosi pesan keselamatan dan keamanan di jalan.
Tempatkan Milenial Sebagai Subyek Aktif
Mengikutsertakan kalangan milenial sebagai subyek dan bukan obyek kampanye edukasi dan sosialisasi juga tidak kalah pentingnya diterapkan. Pengalaman negara-negara Eropa, Australia dan Selandia Baru, menunjukkan bahwa lewat terobosan yang mengikutsertakan milenial untuk duduk bersama dan bermitra dalam pembuatan materi pendidikan, film pendek, animasi dan sebagainya memberi dampak hasil yang menakjubkan. Baru-baru ini terbetik berita seorang mahasiswa Universitas Brawijaya berhasil membuat inovasi actors (accident detector) memanfaatkan CCTV Dinas Perhubungan dan Korlantas Polri untuk mendeteksi suatu kecelakaan. Upaya ini jelas cermin perhatian aktifnya sebagai bagian dari solusi milenial daripada masalah milenial.
Model-model seperti ini tampaknya bisa diadposi oleh pihak Korlantas Polri, untuk mensukseskan upaya menarik perhatian dan keseriusan kalangan milenial sehingga mereka sadar masalah bersama yang sedang dihadapi. Dengan sudah diberlakukannya sistem ETEL dengan penggunaan gadget sebagai bagian di dalamnya, tugas-tugas kepolisian dalam pemonitoran dan pelaporan kecelakaan bisa menjadi lebih baik dan transparan dan juga bisa makin melibatkan kalangan milenial.
Dengan sudah hadirnya polisi virtual dan siber, antara milenial dan polisi akan lebih banyak bersinggungan lewat media sosial dan online. Semoga upaya memperkuat penetrasi kepolisian terhadap kelompok millenial dibentuk dan dijalankan dengan semangat seperti yang disampaikan di atas. Bila rekomendasi di atas bisa diterapkan kurang lebihnya secara seksama, maka upaya penurunan lajunya kecelakaan lalu lintas akan segera dapat dilihat hasilnya di Indonesia (Isk – dari berbagai sumber).