Program yang bagus sekali tapi karena kebijakan baru, banyak hal yang harus dipertimbangkan secara matang, misal sosialisasi, dan kesiapan pihak yang bertugas. Dan apakah punishment ini merupakan sanksi paling efektif yang diharapkan oleh para pemangku kebijakan? Kajian beberapa aspek E-TLE masih harus dilakukan oleh Mabes Polri, terutama mekanisme penindakan melalui E-TLE yang masih kurang efektif dan berpotensi memunculkan polemik. Seharusnya saat ini Polri terlebih dahulu fokus pada pemberian edukasi terhadap masyarakat terkait tilang elektronik tersebut.
Jakarta, 26 Maret 2021. Sejak Selasa (23/3/2021), seperti dilaporkan oleh media, setidaknya terdapat 11 Kepolisian Daerah (Polda) di Indonesia yang telah resmi memiliki Elektronik Traffic Law Enforcement (ETLE atau Tilang Elektronik) yang diluncurkan dalam rangka merayakan 100 hari program kerja Kapolri Baru Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo, yakni upaya penjabaran nyata program presisi yang menjadi andalannya. Menurut Irjen Pol Gatot Eddy Pramono menyebutkan lima faktor penyebab pelanggaran lalu lintas selama ini yakni faktor petugas, masyarakat, sarana dan prasarana, regulasi serta budaya masyarakat. Karenanya, dengan keberadaan kamera tilang elektronik (ETLE) perilaku masyarakat dalam berkendara dapat diubah secara perlahan. “Budaya masyarakat ini kadang-kadang suka menerobos biar cepat, akibatnya terjadi pelanggaran lalin. Ini awal daripada muncul kecelakaan. Ini kecelakan bisa kita tekan dengan ETLE, khususnya yang menimbulkan fatalitas,” Ujarnya.
Seperti sudah dijelaskan dan disosialisasikan dimana-mana, terdapat 5 jenis pelanggaran yang paling diincar dalam program tilang elektronik ini. Mulai dari pemakaian gawai atau bermain ponsel, tidak menggunakan helm, melanggar marka dan rambu-rambu lalu lintas, tak mengenakan sabuk pengaman, hingga penggunaan pelat nomor palsu. Kapolda Metro berharap angka kecelakaan akan dapat menurun dengan keberadaan ETEL ini. “Kecelakaan lalu lintas selalu diawali dengan pelanggaran lalu lintas. Apalagi data kecelakaan memperlihatkan peningkatan. Setiap tahun rata-rata di atas 5.000, korban yang meninggal di atas 500, belum lagi korban yang luka berat. Harapan kita dengan ETLE ini bisa berkurang 40 persen terhadap angka kecelakaan ini,” Jelasnya. Menpan Tjahjo Kumolo tampak langsung mengapresiasi upaya khususnya Korlantas Polri yang memperlihatkan komitmen penuh mewujudkan program 100 hari Kapolri dengan menargetkan sistem tilang elektronik yang langsung diterapkan secara nasional itu.
“Dengan program ini, Polri telah mewujudkan suatu lalu lintas yang tertib aman dan aman di Indonesia.Ini merupakan terobosan polri yang anntinya akan sangat mempermudah masyarakat.” Demikian Menpan Tjahjo Kumolo. Seperti diketahui, dalam Rapim TNI- Polri 2021 yang baru lalu, Menpan telah menyinggung soal komitmen pemerintah mengoptimalkan peran Polri dalam pelayanan publik di masa pandemi Covid-19, yang selaras dengan isi pembekalan Presiden Jokowi yang disampaikan pada 16/2/2021. Peresmian program ini jelas merupakan tindak lanjut dan percepatan bentuk pelayanan Polri yang terukur, yakni merespon harapan Tjahjo Kumolo agar Polri mampu menggerakkan dan mengorganisir kecepatan pelayanan sebagai target utama.
Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo menyatakan, “Kami berusahan terus tingkatkan pelayanan publik prima dengan memanfaatkan teknologi informasi dan kemajuan digital, sehingga pelayanan publik betul-betul yang diharapkan masyarakat dan khususnya memangkas birokrasi. Inovasi ini sudah ditunjukkan dalam pelayanan Polri yang lebih baik untuk publik secara online. Janji ini telah terpenuhi untuk menandai 100 hari program kerjanya. Apakah program ini akan efektif dan dapat mengubah kultur budaya berkendara di Indonesia?
Tentang penerapannya yang efektif untuk di masa pandemi covid-19 guna mengurangi tatap muka dikomentari positif oleh masyarakat. Youtuber asal Indonesia yang berdomisili di Moskow Rusia Anjar Susan menilai hal ini telah memperlihatkan respon Indonesia yang positif seperti yang dilakukan di negara di mana ia menetap sekarang. Beberapa Instagrammer selebriti lebih jauh juga sudah tampak banyak yang menguplod unggahan untuk menyambut baik atas angin baru penerapan penegakan hukum bidang lalu lintas ini. Sebagian komen terdengar lucu dan informal, cocok bagi para pengikutnya yang kebanyakan milenial. Syaharani, penyanyi jazz yang memiliki banyak pengikut di kalangan milenial itu misalnya, menulis di akun instagramnya “ Tilang elektronik berlaku hari ini. Nyetir sambil joget bisa kena tilang gak?” (23/3). Namun bagi beberapa tokoh publik lain semisal Rahmad Darmawan, pemberlakuan ini, selain dia puji juga dikritiknya terutama menanggapi persoalan aspek sosialisasinya.
Pelatih Madura United, lewat pesan whatsapp itu menulis, “Saya sangat setuju diberlakukannya sistem tilang elektronik ini, karena jelas akan mendisiplinkan setiap pengendara untuk bersikap patuh pada aturan-aturan dan bukan patuh kepada petugas di lapangan.” ‘Negatifnya, menurut saya adalah soal sosialisasinya. Maksud saya, soal besaran nilai tilang harus jauh hari diumumkan ke pihak publik secara simultan, sehingga publik bisa cepat tahu dan paham.’ Demikian jelasnya. Siti Ramdhana, seorang psikolog dan ibu rumah tangga juga ikut nimbrung mempersoalkan hal ini. Menurutnya via hubungan telepon menyatakan bahwa ini program yang bagus sekali tapi karena kebijakan baru, banyak hal yang harus dipertimbangkan secara matang, misal sosialisasi, dan kesiapan pihak yang bertugas. Dan apakah punishment ini merupakan sanksi paling efektif yang diharapkan oleh para pemangku kebijakan?
Kritikan ini sudah lama didengang-dengungkan sebenarnya. Pengamat kebijakan transportasi publik Azas Tigor Nainggolan menilai positif pemberlakuan tilang elektronik ini, pertama dipercaya akan mengubah budaya disiplin lalu lintas masyarakat. Kedua efisiensi tenaga kepolisian, dan ketika yakni keadilan. “Sangat setuju. Satu, itu akan berubah budaya disiplin lalu lintasnya masyarakat ya. Kedua efisiensi tenaga polisi. Ketiga lebih pada keadilan. Jadi orang nggak pandang bulu nih yang ditangkap siapa, kalau dia melanggar ditilang. Saya setuju,” ungkapnya (23/3/2021).
Dia tidak mempermasalahkan sanksi denda maksimal jika ada pelanggaran dan tidak akan ada tawar menawar sanksi denda. “Ya kalau dulu sampai sekarang itu kan sangat tergantung pada hakim. Jadi tetap aja pelaku pelanggaran nggak bisa nawar. Tetap nggak bisa nawar,” katanya. “Seringkali kalau sama hakim kan mau-maunya hakim. Dan itu menghambat penegakan juga. Misalnya gini, pelanggar masuk jalur transjakarta, maksimal kan Rp500 ribu. Nah hakim paling cuma kasih Rp50 ribu, atau Rp100 ribu. Nah ini kan juga menghambat penegakan,” kata Tigor.
Menurutnya, penerapan tilang elektronik ini akan merubah paradigma masyarakat agar tertib berlalu lintas di jalan raya. Namun bagi Ketua Presidium Indonesia Traffic Watch (ITW), Edison Siahaan sanksi pemblokiran yang diterapkan dalam sistem ini akan sangat merugikan masyarakat, mengingat ETLE belum menjelaskan siapa objek pengguna yang diberikan sanksi yang melakukan pelanggaran. ETLE menurutnya terkesan serampangan, hanya memberikan sanksi tanpa proses peradilan. mendulang uang dari masyarakat, meningkatkan pendapatan negara bukan pajak (PNBP) dari sektor penilangan kendaraan.
“Padahal orientasi penegakan hukum lalu lintas untuk menumbuhkan dan meningkatkan kesadaran tertib lalu lintas (Lalin) masyarakat sampai tertib lalin dijadikan sebagai kebutuhan yang harus dipenuhi,” ujarnya. Antropolog Lina Williams dari Universitas Newcastle Australia ikut memberikan pendapatnya yang kritis “Menjawab terkait yg sosialisasi, memang harus dipastikan semua warga sudah tahu ya biar disambut baik kebijakannya. Tapi balik lagi, kadang informasi informasi dari instansi pemerintahan sosialisasinya suka kurang banget. Untuk karakteristik orang kita memang butuh “dikerasin” buat patuh ya. Kalau tujuan jangka panjangnya warga disiplin.. bisa banget asal kebijakan konsisten sejak awal, sosialisasinya bagus…. Jangan sampai karena ini terkait uang (dimana itu isu sensitif) eh ternyata hasil tilang disalahgunakan nah, makin makin tuh citra polisi jatuh dimata masyarakat”.
Perlu fokus pada aspek edukasi
Rizani, Ketua Lampung Police Watch (LPW) menilai kajian beberapa aspek ETLE masih harus dilakukan oleh Mabes Polri, terutama mekanisme penindakan melalui ETLE yang masih kurang efektif dan berpotensi memunculkan polemik baru tersebut. “Mabes Polri perlu mengkaji lagi. Kalau soal alat dan kesiapan lain mungkin sudah bagus. Namun harus dilihat juga aspek lain. Misalnya soal administrasi. Kalau begini bisa ada pekerjaan rumah baru,” tukas Rizani. Contohnya, jika nanti ada pelanggaran dan kendaraan itu bukan milik pelanggar karena dia meminjam atau tangan kedua yang membeli kendaraan itu.
“Sementara suratnya akan dikirim ke alamat yang sesuai dengan STNK, namun si pelanggar tidak tahu kalau dia ditilang. Dalam satu waktu satu minggu tidak ada konfirmasi dari pelanggar, maka STNK kendaraan diblokir, apa tidak acak-acakan itu,” tegasnya. Rizani juga menambahkan seharusnya saat ini Polri terlebih dahulu fokus pada pemberian edukasi terhadap masyarakat terkait tilang elektronik tersebut. “Selain itu juga masyarakat perlu diberitahu agar tertib administrasi.
Misalnya, ketika ada yang menjual kendaraannya dalam waktu satu tahun kedepan, pembeli atau pemilik kendaraan yang baru tidak dapat menggunakan nomor polisi sebelumnya. Polisi harus menjelaskan ke masyarakat pemilik kendaraan yang membeli dari orang lain, harus segera melakukan proses balik nama,” pungkasnya. Tampaknya masih banyak aspek yang harus menjadi pertimbangan untuk melancarkan program baru yang bila tidak ditangani, sebaliknya tidak akan memberi dampak positif di kalangan masyarakat. (Isk – dari berbagai sumber).