Diketahui investasi peralatan teknologi ETLE atau tilang elektronik itu demikian besar. Belum lagi biaya perawatannya. Dapatkah Polri mempertahankan dan memelihara alat canggih ini? Karena sudah ada pemeo: bisa berinvestasi tapi lemah dalam hal pemeliharaan. Bahkan tak sedikit proyek ratusan miliar Polri yang kini mangkrak.
Jakarta. (26/013/21). Kalimat tersebut terkesan provokatif dan negatif. Namun demikian, kenyataan tersebut ada benarnya mengingat pengalaman-pengalaman sebelumnya, berbagai proyek investasi Polri yang awalnya dibanggakan dan spektakuler bernilai ratusan miliar bahkan triliunan akhirnya mangkrak. Pada saat yang sama, baru-baru ini Polri mengusulkan tambahan anggaran sebesar 19,688 triliun. Sementara pagu anggaran Polri yang ditetapkan Kementerian Keuangan saat ini Rp 111,975 triliun. Hal itu disampaikan dalam rapat kerja bersama Komisi III DPR RI di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta.
Jumlah pagu anggaran Polri tahun 2021 sebesar Rp 111,975 triliun itu akan diprioritaskan untuk lima program, yakni pertama program profesionalisme Sumber Daya Manusia (SDM) Polri, program modernisasi alat material khusus dan sarana prasarana Polri, program penyelidikan dan penyidikan pidana, program pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, serta program dukungan manajemen.Namun pada akhirnya lima program yang diajukan Polri ini menjadi sorotan Komisi III DPR RI. Salah satunya kepada Ketua Komisi III DPR RI Herman Hery yang meminta agar Polri melakukan evaluasi secara profesional. Evaluasi program-program yang direncanakan, terutama IT dan komunikasi, sistem yang jalan maupun tidak berjalan.
“Ada banyak pekerjaan yang sudah dibiayai ratusan miliar bahkan triliun (tapi) mangkrak, dan ini harus diakui. Evaluasi secara profesional atas seluruh program-program terutama IT dan komunikasi sistem. IT dan komunikasi sistem yang jalan dan yang tidak jalan harus fire,” tegasnya.
Duplikasi Program
Politisi PDI Perjuangan itu mendesak agar Polri dapat membentuk Satgas untuk mengoreksi program-program yang terjadi duplikasi dalam satu tahun dan ditumpuk dengan anggaran-anggaran berikut. “Di Polri program judulnya beda-beda ujungnya barangnya sama-sama saja, sistem sama-sama saja, bahkan mohon maaf ya orangnya itu-itu saja hanya ganti muka, ganti figur judulnya dibedain sementara bolong-bolong yang telah terjadi bertahun-tahun ditumpuk tahun ini 1 triliun ditumpuk 3 triliun tahun depan,” ungkapnya.
Menurutnya, institusi Polri ini masih panjang dan negara ini betul-betul mengandalkan institusi polri. Dalam tupoksi, lanjut Herman, rakyat berharap betul sehingga apa yang tadi disampaikan oleh Komisi III DPR RI sebagai bentuk koreksi, bukan marah atau benci kepada Polri. Kedepan, kata Herman, Komisi III DPR ingin polri menjadi lebih profesional. Adapun cara untuk lebih profesional salah satunya adalah program-program yang mangkrak yang tidak jalan harus dibenahi. “Saya bicara begini bahwa kita semua sayang kepada institusi ini. Jangan sampai institusi Polri rusak hanya kerjaan pribadi-pribadi satu maupun dua orang,”tandasnya.
Masuk Akal
Kritik dan temuan Komisi III DPR tersebut sangat masuk akal dan perlu dijadikan bahan koreksi dan evaluasi di tubuh Polri. Proyek spektakuler berbiaya besar seperti halnya Electronic Traffic Law Enforcement (ETLE) ini pun dalam prakteknya masih perlu dukungan penuh dari masing-masing Pemerintah daerah tempat diterapkannya ETLE. Besarnya anggaran Polri secara nasional, masih pula menunggu dukungan anggaran pemerintah daerah. Apakah tidak berpotensi duplikasi anggaran ?
Lihat di provinsi DKI Jakarta sebagai salah satu kota percontohan diterapkannya ETLE. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta memberikan bantuan kamera untuk menerapkan sistem tilang elektronik atau electronic traffic law enforcement (ETLE) untuk Polda Metro Jaya. Wakil Direktur Lalu Lintas Polda Metro Jaya AKBP I Made Agus Prasatya mengatakan, bantuan dipangkas dari 69 kamera menjadi 45 kamera. “45 kamera, anggarannya sudah disetujui Rp 38,5 miliar,” ujar Agus di Balai Kota DKI Jakarta, Jalan Medan Merdeka Selatan. Agus tidak menjelaskan secara rinci alasan Pemprov DKI Jakarta memangkas hibah untuk membeli kamera ETLE tersebut. Dia hanya menyebut anggaran pembelian kamera ETLE dialihkan untuk anggaran kegiatan lain. “Iya (diturunkan), berdasarkan pertimbangan anggaran, ada alokasi lain sehingga kami dialokasikan segitu,” kata dia.
Agus menjelaskan, setelah dana hibah Rp 38,5 miliar dicairkan Pemprov DKI, Direktorat Lalu Lintas Polda Metro akan menyusun rencana penggunaan dana dan melelang pembelian 45 kamera ETLE. Dengan tambahan 45 kamera itu, total kamera ETLE menjadi 57 kamera. “Kan sekarang 12 kamera, nanti ke depan ada tambahan 45 kamera tahun ini,” ucap Agus. Adapun lokasi pemasangan 45 kamera ETLE tersebut, yakni: Sebanyak 18 titik dari kawasan Kota Tua hingga Blok M, 8 titik dari kawasan Grogol hingga Pancoran, 8 titik dari kawasan Halim Perdana Kusuma hingga Cempaka Putih, 11 titik dari Jalan HR Rasuna Said hingga Jalan Prof Dr Satrio. Kini, sejak ETLE diresmikan secara nasional oleh Kapolri 23 Maret 2021, kamera ETLE yang terpasang di seluruh Indonesia di 12 Polda mencapai 244 kamera dan 98 kamera diantaranya terpasang di wilayah DKI Jakarta.
Wilayah Tanggung Jawab
Di sinilah potensi masalah kemungkinan akan terjadi. Dalam hal pemeliharaan alat-alat canggih ini, bukanlah kelak akan bermasalah ketika dibutuhkan anggaran kembali untuk pemeliharaan. Apakah kamera yang terpasang meskipun bentuknya hibah dari Pemprov DKI, apakah akan menjadi aset Polri ataukah Pemda. Karena sejatinya, pasti akan dibutuhkan biaya pemeliharaan yang tinggi dan rutin di kemudian hari. Ketika kebutuhan ETLE demikian tinggi, sementara pemeliharaan tidak intensif, tentu akan menganggu kelancaran ETLE yang ditujukan untuk menekan angka pelanggaran lalu lintas dan keselamatan jalan. Ini antara lain persoalan yang akan dihadapi Polri di masa depan khususnya dalam penerapan ETLE ini.
Sikap skeptis tetap harus dilakukan mengingat belanja keperluan di Kepolisian ini sudah sangat besar jumlahnya. Kalau tidak dikontrol dengan baik, maka bukan mustahil penyalahgunaan keuangan negara bisa kembali terulang seperti pernah terjadi pada kasus pengadaan alat simulasi SIM di Korlantas beberapa waktu lalu. Memang tantangan dan tuntutan serta tanggung jawab kepolisian dari tahun ke tahun meningkat seiring dengan kompleksitas masalah yang ada di masyarakat. Dalam besaran anggaran negara yang dialokasikan untuk Kepolisian juga seyogyanya tidak menjadikan Polri sebagai anak emas yang diistimewakan sehingga lepas dari pengawasan.
Anak Emas Reformasi
Jalan hidup Kepolisian Republik Indonesia pascareformasi berubah total. Mulai dari berpisah dengan militer, hingga bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Polri pun dinilai menjadi anak emas buah reformasi. Perubahan jalan hidup itu dimulai ketika Presiden B.J Habibie melalui instruksi Presiden Nomor 2 tahun 1999 menyatakan Polri dipisahkan dari ABRI. Dengan begitu, Polri bukan lagi angkatan perang. Sejak 1 April 1999, Polri berada di bawah Departemen Pertahanan dan Keamanan (Dephankam). Setahun kemudian ketika TAP MPR Nomor VI/2000 serta Ketetapan MPR Nomor VII/MPR/2000 menyatakan kemandirian Polri berada di bawah Presiden langsung, bukan lagi Dephankam. Pun demikian pada 8 Januari 2002, diterbitkan UU Nomor 2 tahun 2002 tentang Polri oleh Presiden Megawati Soekarnoputri. UU Polri itu di antaranya berisi tentang pengangkatan Kapolri harus disetujui DPR serta dibentuknya Komisi Kepolisian Nasional untuk membantu Presiden membuat kebijakan dan memilih Kapolri.
Satu hal paling kentara dari kemandirian Polri adalah alokasi anggaran setiap tahunnya. Setelah berpisah dari ABRI dan memiliki regulasi sendiri, Korps Bhayangkara selalu mendapatkan alokasi anggaran dalam APBN yang lebih besar dibandingkan saudaranya, TNI, yang masih berada di bawah Kementerian Pertahanan (Kemenhan) hingga saat ini. Padahal, TNI masih harus membagi total anggaran yang dialokasikan oleh Kemenhan untuk tiga matra, yakni Angkatan Darat (AD), Angkatan Laut (AL), serta Angkatan Udara (AU).
Anggaran itu tergolong besar tiap tahunnya hingga hari ini. Bahkan di era kepemimpinan Joko Widodo sebagai Presiden RI atau sejak 2015, Polri selalu mendapatkan alokasi anggaran di atas Rp 60 triliun. Nominal anggaran terbesar dari 2015 hingga 2020 dialokasikan untuk Polri pada 2020, yakni sebesar Rp112,1 triliun. Secara rinci, anggaran Polri yang dialokasikan APBN selama pemerintahan Jokowi, yakni Rp 62 triliun pada 2015, Rp 78 triliun pada 2016, Rp 94 triliun pada 2017, Rp 98,1 triliun pada 2018, Rp 94,3 triliun pada 2019, serta Rp112,1 triliun pada 2020. Untuk 2021, Polri mengajukan alokasi anggaran sebesar Rp100,5 triliun. Wakil Kepala Polri (Wakapolri) Komisaris Jenderal Gatot Eddy mengatakan bahwa alokasi anggaran itu akan digunakan untuk belanja pegawai, barang, serta modal.
Pengamat kepolisian dari Indonesia Police Watch (IPW), Neta S Pane, mengakui bahwa Polri telah menjadi anak emas pascareformasi, khususnya dengan alokasi anggaran yang besar.
Menurutnya, sejak era Presiden RI kelima Megawati Soekarnoputri hingga saat ini anggaran yang dialokasikan untuk Polri telah mengalami peningkatan hingga 2.000 persen. Namun, kata Neta, hal itu tidak berjalan lurus dengan peningkatan kinerja Polri. Menurutnya, kinerja Polri dalam penegakan hukum masih kedodoran. “Apakah itu berbanding lurus dengan kinerja? Enggak juga, masih kedodoran, jauh dari harapan,” ucap Neta. Bahkan, ia menyayangkan, organisasi Polri justru semakin tambun dengan postur APBN yang besar.
Neta mengibaratkan, Polri bak raksasa yang sulit bergerak jika melihat kinerjanya yang sangat tidak efisien dan tak menguntungkan masyarakat.”Lebih parahnya semakin tambun, Polri jadi seperti raksasa yang sulit bergerak,” ujarnya. Menurut Neta, hal itu bisa dilihat dari jumlah perwira tinggi Polri yang semakin banyak dan peningkatan status seluruh satuan kepolisian tingkat daerah (polda) dari tipe B ke A. “Padahal Polda Bengkulu sama Polda Metro Jaya itu kan situasinya berbeda, tapi sekarang sama-sama tipe A dan dijabat jenderal bintang dua inspektur jenderal. Ini sangat tidak efisien, tidak menguntungkan masyarakat, dan sangat tidak sehat bagi Polri,” tutur Neta.
Dominasi Penegakan Hukum
Pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Bambang Rukminto mengatakan predikat anak emas terhadap Polri mulai terlihat secara jelas di era pemerintahan Jokowi. Menurut dia, Polri tidak terlalu terlihat menjadi anak emas di era Presiden RI sebelumnya pascareformasi, termasuk di era Presiden keenam RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Sayangnya, penyematan predikat itu tidak disertai dengan kontrol penggunaan anggaran yang baik. Bahkan Bambang menilai predikat anak emas di era Jokowi membuat Polri menjadi sangat mendominasi dalam penegakan hukum. “Di zaman SBY relatif masih bagus tidak menjadi anak emas. Hanya ini tidak berkembang menjadi kebaikan, sehingga Polri jadi sangat dominan dalam penegakan hukum karena dia langsung di bawah Presiden,” ujarnya.
“Akibatnya anggaran pun dari negara langsung turun ke Polri, kontrolnya sangat minim,” tutur Bambang. Dia menyatakan Polri di bawah kepemimpinan Jokowi juga terlihat diseret dalam kepentingan yang bersifat pragmatis. Hal tersebut membuat Polri cenderung tidak bisa menjaga jarak diri dengan kepentingan sarat politik. Selain itu, kata Bambang, hal tersebut juga menjatuhkan citra Polri di mata publik karena kepentingan politik dari setiap langkah hukum yang diambil lebih terlihat menonjol dibanding penegakan hukum itu sendiri. “Ketika ada konflik kepentingan, akhirnya di mata publik akan muncul persepsi kepentingan politik lebih menonjol karena ada konflik kepentingan. Bagaimana membedakan kepentingan penegakan hukum murni dan kepentingan politik yang di luar hukum itu sendiri,” katanya.
Pengurangan Anggaran
Tak kurang, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati pun turut mencermati dan sampai pada kesimpulan untuk menyunat anggaran TNI dan Polri untuk tahun 2021. ”Hal itu merupakan kebijakan refocusing dan realokasi anggaran untuk penanganan pandemi COVID-19,” ujarnya. Anggaran Kemhan/TNI yang berhasil dihemat berdasarkan hitung-hitungan sebesar Rp 6,28 triliun dari pagu anggaran Rp 137,295 triliun. “Kalau kita lihat dari Kemenhan dan TNI yang perlu melakukan refocusing dilakukan terutama untuk belanja-belanja yang memang bisa dilakukan atau dikurangi, di luar belanja pegawai dan belanja barang operasional yang tidak boleh di-refocusing atau realokasi karena ini adalah yang merupakan prioritas,” kata Sri Mulyani dalam Rapim TNI-Polri yang disiarkan di YouTube.
Sementara itu, anggaran Polri yang berhasil dihemat adalah Rp 5,51 triliun dari alokasi anggaran Rp 112,1 triliun di 2021. Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu menjelaskan bahwa anggaran yang dihemat tidak mengorbankan pos-pos prioritas, baik di lingkungan TNI maupun Polri.
“Dalam hal ini untuk refocusing-nya tidak menyentuh belanja pegawai dan belanja barang yang sifatnya operasional karena itu tidak boleh dikompromikan. Namun untuk belanja-belanja yang masih bisa dihemat seperti paket meeting, perjalanan dinas, renovasi gedung itu masih bisa ditunda untuk kita lakukan fokus di dalam penanganan COVID,” tambahnya. Semoga saja, dengan pengurangan anggaran dari Kementerian Keuangan, Polri pun lebih mawas diri dan hati-hati dalam merealisasikan anggaran. Efektivitas, efisiensi dan tepat guna dan tepat sasaran harus terus dibangun. Bahkan masalah krusial mengenai pemeliharaan alat dan fasilitas canggih sebagaimana hal ETLE secara nasional harus mendapat perhatian yang lebih dari Polri. (Saf).