REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA- Islam diperkenalkan ke China pada pertengahan abad ke-7 Masehi. Setelah disebar dan dikembangkan selama 1300 tahun, Islam telah mencapai lebih dari 20 juta pengikut di China. Kemudian, Islam pun mendapatkan banyak sebutan, di antaranya Islam disebut dengan “Hui Jiao” (Agama orang Hui).
Mi Shoujiang & You Jia dalam Islam in China: Mengenal Islam di Negeri Leluhur, menjelaskan setelah China Baru didirikan pada 1949, pemerintah kemudian mengeluarkan sebuah pernyataan yang melarang untuk menggunakan istilah “Hui Jiao” untuk Islam, cukup panggil Islam saja. Sejak itulah Islam sering digunakan di daratan China.
Penulis mengungkapkan, di antara 56 kelompok etnis di China, ada 10 etnis yang menjadikan Islam sebagai agama nasional mereka, yaitu etnis Hui, etnis Uighur, etnis Kazak, etnis Dongxiang, etnis Khalkha, etnis sala, etnis Tajik, etnis Uzbek, etnis Bao’an, dan etnis Tatar. Ada juga sejumlah kecil Muslim di antara etnis Mongol, etnis Tibet, etnis Bais, dan juga etnis Dais
erbagai upaya pun dilakukan umat Islam untuk menyebarkan kebaikan di negeri Tirai Bambu tersebut. Selama dua ratus tahun pertama dari Dinasti Ming, akhirnya cakupan Islam lebih berkembang di China. Masjid pun bermunculan satu demi satu.
Saat terjadi revolusi pada 1911 di China, kaum Hui muslim di pedalaman China kemudian mulai aktif dalam gerakan budaya, reformasi agama dan pengembangan pendidikan. Mereka mencoba menyesuaikan Islam China untuk tren sejarah baru China.
Seperti halnya para ulama Indonesia, banyak tokoh terkenal di kalangan Islam yang juga menghubungkan antara agama dan kebangsaan. Mereka juga memiliki jargon seperti yang sering digaungkan para ulama NU, yaitu “hubbul wathon minal iman”, mencintai tanah air sebagain dari iman.
Sebagai contoh, seorang mujaddid Muslim Tionghoa, Ding Zhuyuan menyatakan, “Untuk mempertahankan negara adalah untuk membela Islam, untuk cinta negara adalah untuk mencintai diri sendiri”; “Tidak peduli dengan agama yang dianut, menjadi warga Tionghoa, seorang harus berusaha bersama-sama dengan orang lain untuk keberuntungan negara kita. Bisakah agama bertahan hidup jika negara ini runtuh?.”
Meskipun umat Islam di China minoritas, tapi mereka tidak mengurangi kecintaannya terhadap negerinya. Kondisi tersebut sekiranya sama dengan umat non-Islam yang ada Indonesia, yang dulu juga ikut berjuang melawan para penjajah.
Namun, sebagai minoritas umat Islam di China juga mempunyai tantangan sendiri. Setelah Dinasti Qing digulingkan dalam Revolusi tahun 1911, rezim-rezim selanjutnya baik pemimpin perang Utara maupun Republik mempraktikkan kebijakan bias etnis dan penindasan politik terhadap muslim. Mereka tidak mengakui hak-hak etnis Hui sebagai kelompok etnis yang tertindas.
Faktor politik ini menyebabkan penghinaan dan diskriminasi terhadap Etnis Hui baik secara lisan maupun secara publikasi, dengan tujuan menciptakan konflik etnis. Dalam situasi ini, umat Islam pun bangkit untuk mengklarifikasi masalah.