Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah melakukan pemeriksaan kasus asusila, yang terjadi di Polsek Parigi, Kabupaten Parigi Moutong, Sulawesi Tengah. Pemeriksaan dilakukan, baik terhadap terduga korban, maupun terduga pelaku, yang merupakan mantan Kapolsek Parigi. Terancam pidana umum ?
Jakarta – (19/10/2021). “Kapolsek sekarang masih dilakukan pemeriksaan lanjut, karena kemarin sudah diperiksa, sekarang diperiksa kembali oleh Propam,” ujar Kabid Humas Polda Sulteng Kombes Pol Didik Supranoto, Senin (19/10) malam. Terduga pelaku, yang merupakan Kapolsek Parigi berinisial IDGN berpangkat Inspektur Satu (IPDA), saat ini, telah dinonaktifkan dari jabatannya. Ia telah dimutasi ke Mako Polda Sulteng, untuk menjalani pemeriksaan intensif.
Setelah diperiksa pada Jumat (15/10), terduga pelaku kembali menjalani pemeriksaan lanjutan. Mantan kapolsek tersebut tidak hanya diperiksa dalam hal kode etik, tetapi kasus tersebut juga dinaikkan ke pidana umum. Menurut Kabid Humas Polda Sulteng, tim Propam Polda Sulteng sedang melakukan pemeriksaan dan pendalaman, terkait dengan pembuktian keterlibatan dan sejauh mana hubungan antara terduga perlaku dan terduga korban guna menetapkan sanksi dan pasal yang akan diterapkan nantinya.
“Kita lihat dulu, karena masih proses penyidikan, keterlibatan mereka apa? Pasal apa yang kita terapkan, nanti akan kita sampaikan. Karena ini masih dalam proses untuk pembuktian terkait yang disampaikan oleh korban, terkait dengan melakukan hubungan dan sebagainya. Tapi kalau secara kode etik, sudah bisa dikatakan bahwa mereka melanggar kode etik, karena seharusnya tidak boleh demikian,” terang Didik.
Kasus tersebut mencuat setelah terduga korban mengaku telah ditiduri kapolsek, sebagai syarat untuk membebaskan ayahnya yang menjadi tahanan Polsek Parigi dalam kasus pencurian ternak. Pada Senin (18/10), terduga korban telah membuat laporan polisi untuk proses penyidikan lebih lanjut.
Gratifikasi Seksual
Kalau kasusnya dinaikkan ke pidana umum, boleh jadi sangat masuk akal, karena kasus ini jelas sangat menghancurkan masa depan korban. Memang masih dalam tahap pemeriksanaan lebih lanjut. Dari Kompolnas juga menambahkan kemungkinan ancaman hukum lain. “Jika benar, maka dapat diduga berpotensi masuk ke kasus korupsi berupa gratifikasi seksual, serta dapat masuk pula ke tindakan pelecehan seksual atau bahkan perkosaan,” kata Komisioner Kompolnas Poengky Indarti.
Poengky juga mendapatkan informasi bahwa Iptu IDGN masih diperiksa oleh Polda Sulteng. Sebaliknya, Iptu IDGN juga dibebastugaskan sementara untuk memudahkan pemeriksaan. Selain gratifikasi seksual, kata Poengky, Iptu IDGN juga berpotensi memperdagangkan kasus dengan keluarga tersangka. Dalam hal ini, Iptu IDGN mengharapkan mendapatkan keuntungan pribadi.
“Jika benar yang bersangkutan melakukan chatting mesra dan tidur dengan anak tersangka, berarti kuat dugaan ada upaya perdagangan dalam penanganan kasus tersangka, yang berpotensi menguntungkan diri sendiri dengan menyalahgunakan jabatan/kewenangan,” ujar dia. Namun demikian, pihaknya masih menunggu pemeriksaan internal yang tengah dilakukan oleh Polri.
Jika tuduhan itu terbukti, Kompolnas mengharapkan adanya sanksi tegas kepada Iptu IDGN. “Kita semua perlu menunggu kebenaran perkaranya sampai pengawas internal selesai melakukan pemeriksaan. Jika apa yang diungkapkan anak tersangka itu benar, maka jelas perlu ada sanksi tegas bagi si Kapolsek,” ungkap dia. Poengky juga mengingatkan seluruh anggota Polri harus berhati-hati dalam melaksanakan tugas. Dia mengharapkan seluruh anggota bisa menunjung tinggi profesionalitas dan integritas. “Jika ada pelanggaran, maka yang dipertaruhkan adalah nama baik institusi. Ibarat karena nila setitik, rusak susu sebelanga,” tukas dia.
Harus Hukum Berat
Banyak pihak menyoroti kasus ini. Salah satunya organisasi Lingkar Belajar Untuk (LIBU) Perempuan Sulawesi Tengah (Sulteng). Direktur LIBU Perempuan Sulteng Dewi Rana Amir meminta Polda Sulteng mengusut tuntas dugaan tindak asusila yang dilakukan oknum kapolsek di Parimo tersebut. Jika kasus tersebut tidak ditangani secara tuntas apalagi dihentikan, itu bakal menggerus kepercayaan masyarakat terhadap Polri. “Jika memang benar terjadi, kami berharap dilakukan penyidikan yang serius dan transparan oleh Polda Sulteng,” katanya di Kota Palu.
Hukuman berat harus dijatuhkan Polda Sulteng, jika oknum kapolsek tersebut terbukti berbuat asusila kepada anak perempuan seorang tersangka yang mendekam di penjara. “Jangan sampai institusi Polri dianggap melindungi anggotanya,” tegasnya.
Dewi memastikan LIBU Perempuan Sulteng akan mengawal jalannya penuntasan kasus itu. Terutama memberikan perlindungan terhadap korban dari ancaman pihak-pihak tidak ingin korban buka suara atas insiden memilukan yang dialaminya.
Bila sudah ada pihak-pihak yang telah memberikan pendampingan dan perlindungan terhadap korban, LIBU Perempuan Sulteng akan tetap memberikan dukungan. “Jika pihak keluarga melaporkan kepada kami, maka LIBU Perempuan Sulteng akan mendampingi dan melindungi korban selama jalannya proses hukum,” ujar Dewi. Kasus oknum kapolsek setubuhi anak tersangka di Parimo itu kini tengah ditangani Polda Sulteng dengan mengumpulkan bukti dan keterangan saksi.
Diketahui, S menjadi korban ulah tak senonoh oknum Kapolsek berinisial IDGN. S dijanjikan ayahnya yang menjadi tersangka dan ditahan akan dilepaskan. IDGN mau membebaskan tersangka dengan syarat S bersedia melayaninya di tempat tidur.
Menurut S, peristiwa itu terjadi beberapa hari lalu di salah satu hotel di Parigi. Dia dengan sangat terpaksa mengiyakan ajakan oknum polisi tersebut demi sang ayah. Namun, sampai saat ini, ayahnya masih tetap berada di dalam sel kepolisian. “Awalnya saya datang dengan mama. Dia (oknum kapolsek) bilang, ‘dek, kalau mau uang, nanti tidur dengan saya’,” ungkap S.
Beberapa pekan setelah itu, oknum polisi tersebut kembali merayu S dengan janji akan membantu membebaskan ayahnya. “Akhirnya saya mau, karena saya pikir papaku mau keluar. Terus dia kasih uang ke saya. Dia bilang, ‘ini untuk mamamu, bukan untuk bayar kau’,” tutur S menirukan ucapan IDGN.
S mengenal oknum kapolsek itu karena sering mengantar makanan untuk ayahnya. Ibu S pun merasa sangat terpukul dengan peristiwa yang menimpa putrinya. “Saya sama sekali tidak tahu kejadiannya seperti ini. Saya tidak terima caranya Pak Kapolsek begini, harga dirinya anakku. Saya orang susah,” ujar SI, ibu dari korban S.
Membantah
IDGN yang dikonfirmasi wartawan membantah pernyataan S. Dia mengaku tak pernah menjanjikan kepada S bahwa ayahnya akan dibebaskan dari tahanan dengan embel-embel layanan tempat tidur.
Sementara itu, tim investigasi dari Polda Sulteng telah mengantongi bukti obrolan atau chat mesra melalui pesan WhatsApp (WA) antara ID dengan S. “Hasil dari investigasi sampai dengan saat ini barang bukti yang sudah didapat adalah percakapan melalui WA,” ujar Kabid Humas Polda Sulteng Kombes Didik Supranoto. Oknum Kapolsek itu diduga mengirim pesan WhatsApp kepada anak seorang tersangka yang tengah ditahan. Oknum kapolsek tersebut menghubungi korban dengan iming-iming pembebasan tersangka namun harus meladeninya dalam kamar. Korban pun terpaksa mengiyakan demi kebebasan sang ayah.
Ayah korban tak kunjung bebas, sang oknum Kapolsek Parigi Moutong malah masih mengajak korban melayaninya. Atas peristiwa itu, korban pun melaporkan kasus tersebut ke Provos Polres Parigi Moutong.
Kabag Ops Polres Parimo AKP Junus Achpah mengatakan, Oknum Kapolsek Parigi Moutong itu tengah menjalani pemeriksaan pemeriksaan oleh Polda Sulawesi Tengah. “Kalau kasusnya sudah ditangani oleh pihak Polda Sulteng. Yang bersangkutan sudah di mutasi ke Polda Sulteng, dalam rangka pemeriksaan, itu sejak kemarin,” kata AKP Junus Achpah.
Mencoreng Institusi Polri
Polisi adalah suatu badan pemerintah yang bertugas menjaga ketertiban, keamanan, dan menegakkan hukum serta mengayomi masyarakat. Kepolisian adalah salah satu lembaga penting dalam tugas menjaga kemanan dan ketertiban suat negara sehingga lembaga kepolisian ada di seluruh negara berdaulat. Dalam lingkungan hukum atau pengadilan Polisi bertugas sebagai penyidik. Polisi ditugaskan untuk mencari barang bukti, keterangan dari berbagai sumber, baik keterangan saksi maupun keterangan saksi ahli.
Selama ini peran Polri sebagai penegak hukum dalam menegakkan hukum pidana yaitu: Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakan norma hukum demi mengayomi masyarakat, memasyarakatkan pelaku pidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang yang baik dan berguna, menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat.
Dalam melaksanakan tugasnya, Polisi juga harus melihat keadaan masyarakat. Tugas Polisi yang menjadi sorotan di kalangan masyarakat yaitu penegakan hukum. Terdapat dua pilihan praktik penegakan hukum yang dilakukan oleh Polisi :
Pertama, penegakan hukum sebagaimana yang disyaratkan oleh undang-undang pada umumnya, dimana ada upaya paksa yang dilakukan Polisi untuk menegakkan hukum sesuai dengan hukum acara yang diatur dalam undang undang No. 8 tahun 1981 tentang KUHAP.
Kedua, tindakan yang mengutamakan kepentingan moral pribadi dan kewajiban hukum untuk memberikan perlindungan dan mengayomi masyarakat.
Meskipun Polisi berperan sebagai aparat penegak hukum tetapi tujuan dan kewajiban Polisi adalah mengabdi kepada negara dan pemimpinnya. Dalam melakukan penangkapan dan penahanan misalnya polisi menghadapi atau mempunyai permasalahan sendiri.
Pada saat memutuskan untuk melakukan penangkapan dan penahanan polisi sudah menjalankan pekerjaan yang multifungsi yaitu tidak hanya sebagai polisi tetapi sebagai jaksa dan hakim sekaligus.
Rawan Pelanggaran
Melalui penyidikan ini rawan sekali terjadi pelanggaran kode etik atau penyalahgunaan kekuasaan Polisi berupa police corruption maupun police brutality. Melalui riset yang dilakukan, sebagian besar kasus yang menyangkut citra Polisi terjadi ketika Polisi melakukan penyidikan.
Melihat keadaan tersebut dapat disimpulkan bahwa seketat apapun undang undang yang mengatur jika aparat penegak hukum tidak menerapkan moral dan integritas yang baik dalam bertugas maka hasilnya tetap saja tidak memuaskan. Etika profesi Polisi merupakan perwujudan dari nilai yang terkandung dalam Tri Brata dan Catur Prasetya yang didasari oleh Pancasila yang dirangkum sebagai Pedoman Hidup Polri dan sekarang menjadi Kode Etik Profesi Polri.
Kode Etik Profesi Polri diberlakukan bagi pangkat terendah sampai dengan pangkat tertinggi yang berdasarkan undang-undang memiliki tugas, fungsi, dan wewenang kepolisian. Kode Etik Profesi Polri yang selanjutnya disingkat KEPP adalah norma-norma atau aturan-aturan yang merupakan kesatuan landasan etik atau filosofis yang berkaitan dengan perilaku maupun ucapan mengenai hal-hal yang diwajibkan, dilarang, patut, atau tidak patut dilakukan oleh anggota Polri dalam melaksanakan tugas, wewenang, dan tanggung jawab jabatan.
Dalam mengemban tugasnya Kepolisian Negara Kesatuan Republik Indonesia diatur dalam UU RI No.2 tahun 2002. Menurut UU RI No.2 Tahun 2002 setiap anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia wajib menerapkan dan menjiwai etika profesi Polisi dalam berperilaku di kehidupan sehari-hari.
Sehubungan dengan kasus yang dilakukan IDGN, bila dirunut, dia sudah melanggar baik Kode Etik Profesi Polri (KEPP) maupun melanggar hukum pidana. Sungguh ironis yang dilakukan IDGN. Seharusnya dia menjadi pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat malah mencederainya. Bukan melayani malah ingin dilayani secara seksual. Belum lagi sikap dia yang berpotensi memanfaatkan jabatan untuk kepentingan dan kesenangan pribadi. Serta adanya kemungkinan transaksi perkara atas wewenang jabatan yang diembannya.
Baca juga : Kapolri Tegaskan Oknum Polisi Lakukan Kekerasan ke Warga Disanksi Tegas
Bukan Perjalanan Mudah
Polisi merupakan aparat penegak hukum yang bertugas menjaga ketertiban dan mengayomi masyarakat. Menjadi anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) bukanlah merupakan perjalanan yang mudah. Seleksi administrasi, tes psikologi, tes kompetensi, hingga tes akademik harus dilewati sebelum dapat menjabat sebagai anggota.
Negara mengeluarkan biaya yang sangat mahal untuk mencetak seorang Polisi. Polisi diharapkan dapat menjadi contoh bagi masyarakat, sehingga penting bagi Polri untuk menaati kode etik dan aturan yang sudah ditetapkan. Namun, apa yang terjadi apabila ada anggota yang melanggarnya? Kapan pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH) dapat berlaku bagi anggota Polri? Menurut Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia, PTDH adalah pengakhiran masa dinas kepolisian oleh pejabat yang berwenang terhadap seorang anggota Polri karena telah terbukti melakukan pelanggaran Kode Etik Profesi Polri (KEPP), disiplin, dan/atau tindak pidana. Pada Pasal 21 dalam peraturan yang sama, jenis-jenis pelanggaran KEPP yang dapat mengakibatkan anggota diberikan surat rekomendasi PTDH sudah diperinci, yaitu:
Dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan menurut pertimbangan pejabat yang berwenang tidak dapat dipertahankan untuk tetap berada dalam dinas Polri. Diketahui kemudian memberikan keterangan palsu dan/atau tidak benar pada saat mendaftarkan diri sebagai calon anggota Polri.
Melakukan usaha atau perbuatan yang nyata-nyata bertujuan mengubah Pancasila, terlibat dalam gerakan, atau melakukan perbuatan yang menentang Negara dan/atau Pemerintah Republik Indonesia. Melanggar sumpah/janji anggota Polri, sumpah/janji jabatan dan/atau KEPP. Meninggalkan tugasnya secara tidak sah dalam waktu lebih dari 30 (tiga puluh) hari kerja secara berturut-turut.
Melakukan perbuatan dan berperilaku yang dapat merugikan dinas kepolisian, antara lain berupa: Kelalaian dalam melaksanakan tugas dan kewajiban, dengan sengaja dan berulang-ulang dan tidak menaati perintah atasan, penganiayaan terhadap sesama anggota Polri, penggunaan kekuasaan di luar batas, sewenang-wenang, atau secara salah, sehingga dinas atau perseorangan menderita kerugian.
Perbuatan yang berulang-ulang dan bertentangan dengan kesusilaan yang dilakukan di dalam atau di luar dinas.
Kelakuan atau perkataan dimuka khalayak ramai atau berupa tulisan yang melanggar disiplin. Melakukan bunuh diri dengan maksud menghindari penyidikan dan/atau tuntutan hukum atau meninggal dunia sebagai akibat tindak pidana yang dilakukannya. Menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik yang diketahui kemudian telah menduduki jabatan atau menjadi anggota partai politik dan setelah diperingatkan/ditegur masih tetap mempertahankan statusnya itu.
Dijatuhi hukuman disiplin lebih dari 3 (tiga) kali dan dianggap tidak patut lagi dipertahankan statusnya sebagai anggota Polri. Sedangkan, Pasal 22 mengatur tentang pelanggar yang mendapatkan surat rekomendasi PTDH melalui Sidang Komisi Kode Etik Polri, yaitu pelanggaran berupa:
Pelanggar yang dengan sengaja melakukan tindak pidana dengan ancaman hukuman pidana penjara 4 (empat) tahun atau lebih dan telah diputus oleh pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Dapat disimpulkan bahwa polisi merupakan anggota sipil yang tidak menjadi pengecualian hukum. Jika polisi terduga melakukan pelanggaran, maka akan ada prosedur yang harus mereka jalani hingga mendapat sanksi yang sepadan. Salah satu sanksi tersebut adalah pemberhentian tidak dengan hormat.
Jika polisi melakukan tindak pidana dan bukan hanya pelanggaran kode etik, maka polisi juga harus tunduk pada kekuasaan peradilan umum. Ini artinya anggota yang terlibat dalam pelanggaran sekaligus tindak pidana harus menjalani sidang disiplin dan sidang perkara pidana.
Hukuman Kasus Perkosaan Terberat
Ada baiknya kita melihat perbandingan vonis terhadap kasus aparat yang melakukan tindakan asusila pemerkosaan. Sekitar tahun 2013, Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah mengambil tindakan tegas terhadap Brigadir Kepala A, polisi yang bertugas di Satuan Narkoba Kepolisian Resor Poso yang diduga memperkosa seorang tahanan narkotika berinisial FM, 24 tahun, di Ruang Tahanan Kepolisian Resor Poso.
“Saya merekomendasikan oknum polisi itu dipecat dengan tidak hormat. Dia juga tidak boleh bebas dari jeratan pidana jika dalam sidang kode etik yang bersangkutan terbukti memperkosa tahanan,” kata Kepala Polda Sulawesi Tengah Brigadir Jenderal Dewa Parsana, saat itu. Dewa menjelaskan, Brigadir Kepala A sudah ditahan. Polisi masih mendalami keterlibatan anggota lain. “Yang jelas kasus ini memalukan. Harusnya dia sebagai pengayom, pelindung masyarakat bukan malah melecehkan apalagi memperkosa,” kata Dewa.
Kasus ini terbongkar Direktur Kelompok Pemerhati Perempuan dan Anak (KPPA) Sulawesi Tengah, Mutmainah Korona yang mendampingi kasus ini mengatakan, FM diduga diperkosa oleh lebih dari satu orang anggota polisi di dalam sel tahanan pada 23-24 Maret 2013.
“FM diduga diperkosa oleh lebih dari satu orang. Yang lainnya diduga melakukan pelecehan seksual dan indikasi kekerasan fisik,” kata Mutmainah. Mutmainah menjelaskan, korban dipaksa melayani polisi dibawah todongan pistol. Dia juga menduga ada indikasi saling melindungi antar oknum anggota polisi yang terlibat kasus pelecehan seksual tersebut.
Korban PM sudah mendekam di tahanan Polres Poso terkait kasus penyalahgunaan narkoba sejak sekitar dua bulan silam.Cara penangkapan Pr juga dinilai janggal karena dipaksa membeli narkoba oleh oknum polisi kemudian ditangkap.
Bagaimana dengan kasus IDGN ? Tentunya hukumannya harus lebih berat bila terbukti. Mengingat posisi dan jabatan IDGN sudah cukup tinggi yang seharusnya lebih sadar akan hukum bukannya menyalahgunakan hukum. Banyak pakar hukum menyebutkan bahwa kalau penegak hukum melakukan pelanggaran hukum bahkan kejahatan, maka paling sedikit hukumannya dua kali lipat daripada yang dituntut oleh pengadilan. Ya, kita tunggu penyedikan lebih lanjut karena dengan kasus ini, Polri yang tengah berbenah diri, kembali terganggu dengan hal yang tak seharusnya terjadi. (SAF).
Baca juga : Kapolri Perintahkan Jajaran Copot Oknum Anggota yang Langgar Aturan : Merusak Marwah Polri