Urbanisasi yang pesat di Jakarta dibarengi laju kedatangan masyarakat pendatang. Dalam sejarahnya, Jakarta sebagai ibukota negara bertransformasi menjadi kuali adukan di mana kelompok pendatang tinggal dan hidup berdampingan di kampung-kampung orang Betawi, di mana gesekan dan friksi mudah sekali terjadi, lebih-lebih bila tersulut oleh provokasi-provokasi yang memanfaatkan isu kesenjangan ekonomi, sosial maupun pendidikan. Dalam konteks sejarah modern, bentrok antar warga di Jakarta sering terjadi karena ekses perkembangan sejarahnya sendiri di mana tradisi budaya kekerasan dilanggengkan dengan menurunkan kebencian, rasa gengsi dari satu generasi ke generasi selanjutnya sehingga menyebabkan bentrokan warga atau tawuran kerap terjadi dan berulang di tempat tertentu.
Jakarta, 22 Desember 2021. Bentrok antar warga di Jakarta kembali membara. Baru-baru ini dilaporkan telah terjadi bentrok antara masyarakat Menteng dan Manggarai. Juga bentrok yang telah melibatkan penduduk di daerah Pegangsaan maupun di wilayah Palmeriam Matraman. Bentrokan warga ini sepertinya terjadi seperti siklus tahunan, karena lagi-lagi terjadi pas ketika datangnya bulan Ramadhan. Karenanya, muncul pertanyaan menarik, apa penyebab bentrokan warga yang berkali-kali terjadi dan melibatkan pihak-pihak yang sama? Apakah fenomena ini bisa dijelaskan dalam konteks sejarah dan budaya Jakarta itu sendiri? Apakah pelarangan mudik Pemerintah bisa dianggap sebagai satu pemicunya? Ataukah memang orang Jakarta sebenarnya hobi berkelahi?
Bentrokan antar warga, sebenarnya tidak saja kerap terjadi di Jakarta, namun juga di banyak tempat di Indonesia terutama belakangan ini. Akhir-akhir ini media banyak melaporkan kasus-kasus bentrok di Depok, Padang, Yogyakarta dan seterusnya, Karena alasan itu, persoalan bentrok antar warga ini mestinya dilihat sebagai gejala yang semakin kompleks. Khusus untuk bentrok-bentrok warga di Jakarta, bila kita mengamati secara seksama konten-konten media massa lima tahun terakhir, sebenarnya juga sangat banyak dan beragam. Selain menjelaskan detail pelaku, korban luka maupun meninggal, berita-berita itu juga membeberkan berbagai upaya penanganan kasus-kasus bentrok warga dari pihak kepolisian.
Yang menarik, tidak sedikit bentrokan terjadi di tempat-tempat yang sama dam terjadi pada bulan Puasa. Motifnya, lagi-lagi sepele, tidak terdengar signifikan karena hanya menyangkut hal-hal kecil. Cukup mengherankan bila hal itu ternyata bisa menjadi pemicu bentrokan besar yang menelan korban jiwa. Karena karakteristiknya yang seperti itu, bentrok warga tidak saja menjadi bahan pemberitaan media lokal namun juga media internasional. Umumnya mereka merasa keheranan mengetahui hal-hal yang polanya sama berulang kembali, seolah menunjukkan akar permasalahan bentrok warga yang masih belum dipahami oleh aparat hukum yang menangani.
Media internasional Al Jazeera misalnya, secara khusus pernah membuat liputan soal bentrok antar warga atau tawuran yang disajikannya untuk konsumsi dunia internasional membicarakan sesuatu yang khas dalam kehidupan sosial masyarakat perkotaan di Indonesia. Lewat medium ini, bentrok antar warga atau tawuran menjadi perhatian dunia internasional pula. Karena cukup serius, Pemerintah Daerah DKI pun selalu tampak memasukkan persoalan bentrok antar warga atau tawuran di Jakarta sebagai masalah menonjol di DKI. Diketahui bahwa elemen bentrok warga demikian beragam, terutama melibatkan aksi perorangan, sekelompok warga atau tidak sedikit dominanasi pelaku dari kalangan pelajar remaja.
Akar historis kekerasan di Jakarta?
Adalah sangat menarik mengupas bentrok antar warga dalam bingkai sejarah kekerasan dalam sejarah Jakarta tempo doeloe. Jakarta adalah kota yang memiliki sejarah yang kompleks dan paradoks. Kolonialisme telah menjadi salah satu pemicu transformasi maupun bentrokan-bentrokan sosial yang kemudian tercatat dalam sejarahnya. Ada beberapa daerah tertentu di Jakarta yang kerap diberitakan sebagai situs-situs di bentrokan antar warga yang sering terjadi, misalnya Manggarai, Menteng, Palmeriam, Matraman dan beberapa daerah di Jakarta Pusat maupun Jakarta Timur. Khusus membicarakan Kampung Matraman yang terletak antara Jatinegara dan Salemba adalah sangat menarik guna mengkaitkannya dengan sejarah terjadinya bentrok antar warga di Jakarta.Menurut ahli sejarah Jean Gelman Taylor, akar kekerasan historis di Jakarta sesungguhnya bisa ditarik mundur sejak era kesultanan Mataram dulu. Daerah ini sekarang dinamai Matraman karena berasal dari kata ‘Mataraman. Dulunya, wilayah ini adalah kawasan pertahanan dari pasukan Mataram di bawah Sultan Agung saat menyerang kota Batavia via darat pada tahun 1629.
Sejarawan JJ Rizal menambahkan bahwa Matraman juga merupakan wilayah warisan pengikut Pangeran Diponegoro yang memilih menetap di daerah tersebut dan menjadi cikal-bakal penduduk lokal di kampung Matraman yang kita kenal sekarang. Karenanya Kampung Matraman memiliki sejarah yang panjang dengan ide perlawanan. Warga Matraman yang merupakan campuran antara keturunan pasukan Mataraman dan mayoritas orang lokal Betawi tetap mempertahankan tradisi lokalitasnya terutama ketika berhadapan dengan pendatang. Kampung Matraman memiliki unsur-unsur perlawanan yang konon diwariskan dari era tersebut dan masih tampak direfleksikan hingga sekarang lewat kebiasaan bentrok atau tawuran yang terjadi. Tidaklah mengherankan jika daerah yang sejak dulu dianggap angker ini, juga kerap menjadi tempat tawuran antar warga yang berdarah yang dikenal di ibukota.
Dalam konteks kontemporer, bentrokan yang sering terjadi dengan warga Bearland atau anak kolong/anak tentara di man dulunya tangsi militer kolonial yang diambil alih ketika Indonesia merdeka. Meskipun bentrok-bentrok antar warga selama ini selalu dilaporkan hanya karena hal-hal sepele seperti perebutan lahan, bila dilihat dari perspektif sejarah sepertinya ada unsur penerusan tradisi berkonflik di masa lalu. Apalagi kemudian ada transformasi pesat di kampung-kampung di Jakarta yang mengubah lansekap dan pola kebersinggungan antara elemen lokal dengan elemen pendatang. Jakarta sebagai ibukota negara perlahan berubah menjadi suatu kuali adukan di mana banyak kelompok pendatang tinggal dan hidup berdampingan di kampung-kampung milik orang Betawi sehingga gesekan dan friksi bisa terjadi, terutama ketika disulut oleh provokasi-provokasi yang memanfaatkan kesenjangan tingkat ekonomi, sosial, maupun pendidikan.
Urbanisasi yang pesat di Jakarta, yang dibarengi oleh laju kedatangan pendatangnya. Adalah sulit terbendung dan telah meminggirkan masyarakat lokalnya yang tidak mampu berkompetisi. Dalam konteks sejarah modern, bentrok antar warga di Jakarta menjadi sering terjadi dan berulang. Camat Tebet Dian Airlangga pernah menyebutkan bahwa di beberapa wilayah tempat sering terjadinya tawuran, tingkat kesejahteraan masyarakatnya memprihatinkan. “tingkat kesejahteraan mereka sangat minim. Ini menjadi PR pemerintah untuk mencarikan solusi, karennya, untuk mereka supaya ada aktivitas pekerjaan,” tuturnya.
Soal tawuran pelajar
Selain bentrok antar warga di daerah Palmeriam, Matraman, bentrok-bentrok antar warga terjadi juga di kampung lain. Di antaranya yang menonjol adalah di daerah Manggarai dan Menteng dengan seting yang sedikit banyaknya sama. Konflik-konflik yang kerap terjadi itu antara lain karena masih dihidupkannya tradisi kompetisi di antara kedua kelompok masyarakat secara turun temurun. Baik konflik di Matraman ataupun Menteng dan Manggarai, terdapat kesamaan pola, ketika kampung-kampung lokal dan daerah-daerah lama mulai berhadapan dan terkepung dengan kehadiran pendatang baru. Yang juga menarik dicermati dan sebenarnya fenomena baru terutama pada era 1980-an, adalah fenomena bentrok atau tawuran di kalangan remaja dan pelajar SMA dan STM di Jakarta. Pertarungan antar sekolah itu muncul ketika ada iklim persaingan di antara mereka dan mereka membenarkan aksinya atas perkara sepele yang akhirnya dibuat agar berbuntut panjang. Misalnya mulai dari upaya memalak atau memukuli seorang siswa, yang akhirnya memprovokasi pelajar dari sekolah yang sama.
Awal konflik biasanya berkaitan dengan gangguan terhadap seorang pelajar dari sekolah yang satu dari sekolah yang lain, sehingga pembelaan kelompok diperlukan. Dalam konteks ini, kemudian terbentuk apa yang disebut sebagai Barisan Siswa atau BaSis. Rupanya mereka selalu ingat dengan peristiwa bentrok-bentrok sebelumnya, bahkan ada tradisi balas dendamnya senior kepada pelajar yang baru. Adanya ‘unsur balas dendam’ terhadap kelompok yang telah menyinggung atau melukai kelompok lain di masa lalu digunakan sebagai pembenaran melakukan tawuran. Pola seperti ini tampaknya tidak berbeda dengan bentrok antar warga di tempat lainnya.
Adanya elemen tradisi kekerasan yang diwariskan dari satu generasi ke generasi selanjutnya menjawab pertanyaan mengapa bentrokan atau tawuran kerap terjadi. Laporan-laporan bentrok antar pelajar dilaporkan hanya karena ikut-ikutan dan aksi senang-senang tanpa mengetahui motif utama melakukan tawuran satu sama lain. Namun penelitian lebih lanjut atas tawuran yang beragam menunjukkan bahwa generasi tua dari suatu sekolah akan menanamkan kepercayaan bahwa mereka memiliki musuh bebuyutan secara turun temurun yang harus dilawan karena membela korps sekolahnya.
Baca Juga : Tawuran Warga di Jakarta, Masalah Sosial Yang Tak Pernah Selesai
Fenomena yang makin meresahkan
Tentu saja perkembangan atas bentrok warga dan tawuran pelajar yang banyak memiliki elemen kesamaannya itu berjalan menuju perkembangan yang amat meresahkan di kemudian hari. Adanya budaya dan tradisi kekerasan menyebabkan citra bahwa orang di Jakarta dan banyak kota-kota di Jakarta senang berkelahi dan melakukan dalam kelompok dan bertujuan membela simbol-simbol semu yang mudah terprovokasi bila menyangkut persoalan gengsi dan kompetisi ekonomi. Lebih jauh lagi, diperkenalkannya berbagai platform sosial media membuat persoalan ini semakin kompleks. Polisi telah sering menyebutkan bahwa aplikasi Whatsapp telah banyak digunakan para pelaku bentrok atau tawuran untuk berkomunikasi menggalang kekuatan.
Dampak penggunaan media sosial yang berbentuk teks, audio dan video tampaknya dapat mengatasi batas-batas perluasan aksi-aksi yang mengarah pada terjadinya kekerasan ketika bentrok itu terjadi. Penggunaan media sosial juga amat potensial dalam menyulut dan menyebarkan pesan berantai yang seringkali isinya semakin tidak obyektif dibanding pesan awal dan tentunya awal suatu peristiwa buruk bentrokan. Selain untuk menyebarkan persiapan-persiapan aksi mereka, aksi kecil semacam saling ledek untuk memprovokasi dilakukan lewat grup-grup seperti Facebook dan platform-platform lainnya. Ia begitu berdampak negatif.
“Ini adalah fenomena baru melalui dunia maya, di mana para pelajar meledek pelajar lainnya. Berawal dari itu, pelajar STM Bonjer 5 [Jakarta Barat] mencari pelajar lain,” tegas Enci Haryadi, yang pernah menjabat Kasatreskrim Polres Jakarta Pusat. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) telah melaporkan bahwa sepanjang 2016 sampai 2018, terdapat 202 anak yang berhadapab dengan hukum akibat tawuran. Angka ini, besar kemungkinan, tidak menggambarkan situasi riil, di mana masih ada banyak lagi pelajar yang terlibat bentrok namun tak tercatat. Yang fatal adalah makin umumnya korban tewas yang berjatuhan dalam aksi-aksi bentrok belakangan ini karena disinyalir adanya unsur penggunaan senjata tajam atau senjata api bahkan penggunaan narkoba.
Tidak seperti yang difikirkan orang, ternyata yang terlibat dalam aksi bentrok atau tawuran mulanya berasal dari kalangan masyarakat kelas menengah dan atas dibanding kelas bawah, seiring dengan kemunculan geng-geng di kota besar seperti Jakarta yang terdiri atas kelompok pendatang/non lokal. Budaya tribalisme kelompok ini sepertinya dilanggengkan dengan tradisi atau budaya menurunkan kebencian, gengsi turun temurun dari satu generasi tua ke generasi selanjutnya. Dalam konteks seperti ini, tidak mengherankan bila beberapa pengamat menganggap bahwa bentrok antar warga bisa saja ditunggangi oleh kepentingan-kepentingan dari pihak yang memanfaatkannya.
Upaya Polisi dan Solusi
Dalam suasana Covid-19 yang menghantam sisi ekonomi masyarakat dan menimbulkan rasa-rasa frustrasi karena pembatasan-pembatasan seperti larangan mudik dapat saja memicu bentrok antar warga. Namun demikian perlu suatu penelitian yang lebih jauh, yang melihat hubungan keduanya yang cukup erat di masa ketika Ramadhan sedang berjalan. Untuk mencegah bentrok antar warga dan tawuran selama bulan Ramadhan, pihak polisi tampak terus meningkatkan patroli siber dandi beberapa tempat kejadian sebagai upaya preventif. Para provokator di media sosial juga telah semakin disasar.
Polisi virtual tampak telah makin dikedepankan untuk upaya penyelidikan dan penindakan pencegahan aksi-aksi. Patroli polisi juga melibatkan personel TNI dan pemerintah provinsi setempat untuk menunjukkan komitmen dan keseriusan polisi dalam menangani hal ini. Menurut Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Yusri Yunus, polisi telah mengenali bahwa aksi tawuran sering diawali ajakan atau tantangan kepada calon lamannya menggunakan jejering media sosial. Patroli gabungan dilakukan setiap hari dan ditambah operasi keselamatan guna menjaga ketertiban dan keamanan lancar. (15/4). Sinergitas Polri dan TNI jelas penting dalam upaya pemutusan mata rantai penyebaran Covid-19 di mana suatu kerumunan harus dicegah dan suatu tindakan tegas harus terus diterapkan.
Tantangan ke depan
Menghentikan aksi-aksi bentrok warga maupun tawuran antarpelajar di Jakarta tak semudah membalik telapak tangan. Deklarasi damai, kesepakatan lisan antar pihak yang bertikai atau intervensi para pemangku kepentingan harus diterapkan dengan semangat pemolisian masyarakat. Namun demikian, pemahaman holistik mengenai bentrok atau tawuran harus juga didasarkan pada pemahaman yang lebih baik soal budaya dan tradisi kekerasan yang ada, tumbuh dan berkembang di masyarakat.
Di masa lalu, sebagai konsep budaya di Indonesia sebenarnya ‘tawuran’ adalah bentuk permainan antar kelompok yang dibatasi rambu-rambu aturan dan ketertiban. Tawuran direfleksikan sebagai pertarungan sekumpulan orang dengan pihak lainnya, disertai suara-suara tak beraturan. Aksi tawuran adalah pendekatan budaya untuk penerimaan kelompok baru suatu habitat budaya masyarakat di Indonesia. Ia terkait dengan persoalan etika dan sopan santun dari seseorang yang memasuki daerah atau kampung. Sesudah pertarungan tawuran oleh wakil-wakilnya selesai, selanjutnya mereka akan saling bersalaman sebagai petunjuk damai dan refleksi silaturahmi.
Apakah penjelasan budaya atas tawuran seperti itu masih bisa diterapkan? Tentunya tidak. Namun dari segi pencarian solusi, dapat saja ia dihidupkan untuk memindahkan energi negatif ide-ide melakukan aksi bentrokan atau tawuran ke arah positif. Misalnya bisa saja dibuat suatu festival budaya mengangkat hakikat keluhuran seni bela diri orang Indonesia yang bangga mengatasnamakan kelompoknya.
Lebih jauh lagi, dengan mengobservasi berita-berita di media dan melihat tipologi, pelaku, motif dan upaya penegakan hukum selama ini, kita pun dapat membuat anatomi bentrok warga untuk upaya preventif yang lebih efisien. Menurut pengamat perkotaan Effendi Wahyono, harus dicatat dalam beberapa dekade terakhir perubahan kontur masyarakat terutama di perkotaan, aneka bentrokan atau tawuran di Jakarta ini sudah mengarah pada perbuatan kriminalitas yang harus diwaspadai. Bila masalah bentrokan antar warga dan tawuran telah jauh berevolusi dan menjadi kompleks, maka penegak hukum terutama kepolisian, juga harus mampu merespon dengan menggunakan strategi dan pendekatan yang lebih tepat dan berkesinambungan. (Isk – dari berbagai sumber)