Biromuslim.com – Lazim terjadi di tengah-tengah masyarakat Indonesia, di mana ketika teman, saudara, atau tetangga sedang mengadakan acara seperti walimah atau tasyakuran pernikahan, khitanan, dan sebagainya, kita menghadiri acara tersebut sambil memberikan uang yang dimasukkan ke dalam amplop, yang dikenal dengan sebutan amplop kondangan.
Tradisi ini telah menjadi suatu bentuk kebiasaan dalam rangka mempererat hubungan sosial dan membangun persaudaraan serta persatuan di masyarakat. Namun, terkait dengan amplop kondangan, penting untuk mengetahui status hukumnya dalam perspektif fiqih atau hukum Islam.
Hal ini menjadi signifikan karena jika dari segi fiqih amplop kondangan dianggap sebagai hadiah, maka penerima tidak diwajibkan mengembalikannya ketika pemberi mengadakan walimah atau tasyakuran di masa mendatang. Sebaliknya, jika amplop kondangan dianggap sebagai utang, maka penerima diharuskan mengembalikannya, tentu dengan nilai yang setara. Oleh karena itu, perlu dikaji lebih lanjut mengenai status hukum amplop kondangan, apakah dapat dianggap sebagai hibah atau hutang.
Pendapat Ulama
Pendapat ulama mengenai uang dalam amplop kondangan saat menghadiri berbagai acara seperti walimah nikah, walimah khitan, atau acara serupa dapat bervariasi. Beberapa ulama berpendapat bahwa uang dalam amplop kondangan dianggap sebagai hutang, sementara yang lain menyatakan bahwa statusnya adalah hadiah biasa.
Sejumlah ulama juga berpendapat bahwa status uang dalam amplop kondangan dapat tergantung pada kebiasaan masyarakat setempat. Jika dalam kebiasaan masyarakat setempat tidak terdapat tuntutan untuk mengembalikan uang tersebut pada kesempatan walimah berikutnya, maka sumbangan tersebut dianggap sebagai hadiah biasa atau pemberian murni.
Namun, sebaliknya, jika kebiasaan masyarakat setempat memuat tuntutan untuk mengembalikan uang dalam kesempatan walimah berikutnya, maka sumbangan tersebut dianggap sebagai utang. Dalam hal ini, tuan rumah diharapkan untuk mengembalikan uang tersebut kepada pemberi jika pemberi mengadakan walimah.
Pendapat Lain
Ini sebagaimana disebutkan oleh Syaikh Abu Bakar Syatha dalam kitab I’anatut Thalibin berikut;
وَمَا جَرَتْ بِهِ الْعَادَةُ فِيْ زَمَانِنَا مِنْ دَفْعِ النُّقُوْطِ فِي الْأَفْرَاحِ لِصَاحِبِ الْفَرْحِ فِيْ يَدِهِ أَوْ يَدِ مَأْذُوْنِهِ هَلْ يَكُوْنُ هِبَّةً أَوْ قَرْضًا؟ أَطْلَقَ الثَّانِيَ جمْعٌ وَجَرَى عَلَى الْأَوَّلِ بَعْضُهُمْ..وَجَمَّعَ بَعْضُهُمْ بَيْنَهُمَا بِحَمْلِ الْأَوَّلِ عَلَى مَا إِذَا لَمْ يُعْتَدِ الرُّجُوُعُ وَيَخْتَلِفُ بِاخْتِلَافِ الْأَشْخَاصِ وَالْمِقْدَارِ وَالْبِلَادِ وَالثَّانِيْ عَلَى مَا إِذَا اِعْتِيْدَ وَحَيْثُ عُلِمَ اخْتِلَافٌ تَعَيَّنَ مَا ذُكِرَ
Artinya:
Kebiasaan yang berlaku di zaman kita, yaitu memberikan semacam uang dalam sebuah perayaan, baik secara langsung kepada tuan rumahnya atau kepada wakilnya, apakah semacam itu termasuk ketegori pemberian cuma-cuma atau dikategorikan sebagai utang? Mayoritas ulama memilih mengategorikannya sebagai utang.
Namun ulama lain lebih memilih untuk mengkategorikannya sebagai hibah atau pemberian cuma-cuma. Dari perbedaan pendapat ini para ulama mencari titik temu dan menggabungkan dua pendapat tersebut dengan kesimpulan bahwa status pemberian itu dihukumi pemberian cuma-cuma apabila kebiasaan di daerah itu tidak menuntut untuk dikembalikan.
Ini akan bermacam-macam sesuai dengan keadaan pemberi, jumlah pemberian, dan daerah. Adapun pemberian yang distatuskan sebagai utang apabila memang di daerah tersebut ada kebiasaan untuk mengembalikan. Apabila terjadi praktek pemberian yang berbeda dengan kebiasaan, maka dikembalikan pada motif pihak yang memberikan.
Baca Juga : Keutamaan Bulan Rajab
Dapatkan informasi terupdate berita polpuler harian dari biromuslim.com.Untuk kerjasama lainya bisa kontak email tau sosial media kami lainnya.