Pada hari Selasa, 16 November 2021 Detasemen Khusus 88 Antiteror Polri telah mengamankan 3 orang terduga teroris berinisial FAO, AA dan AZ. Meski penangkapan ini murni masalah penegakan hukum, namun kontroversi dan implikasi politiknya tak bisa dihindari.
Jakarta – 18/11/2021. Proses penangkapan ini sebelumnya sudah dilakukan penelusuran, pendalaman setiap informasi oleh Densus 88 sehingga sampai pada kesimpulan bahwa yang bersangkutan terlibat dalam jaringan teroris Jamaah Islamiyah (JI). Bahkan ditemukan bahwa FAO (Farid Okbah) diduga sebagai tim sepuh atau Dewan Syuro JI dan menjabat di Yayasan Amal milik JI yakni Lembaga Amiz Zakat Baitul Maal Abdurrahman bin Auf sekaligus Ketua Partai Dakwah Rakyat Indonesia.
Terduga kedua yang ditangkap adalah Anung Al Hamat (AA) sebagai Pengawas sayap organisasi JI bidang advokasi Perisai Nusantara. Adapun terduga teroris ketiga adalah Ahmad Zain An-Najah (AZ). AZ adalah Dewan Syuro Jemaah Islamiyah (JI) dan Dewan Syariah LAZ BM Abdurrahman bin Auf sekaligus pengurus Komisi Fatwa MUI.
Kali ini masyarakat kembali terkaget-kaget karena yang ditangkap Densus 88 adalah tokoh, ustadz yang memiliki latar belakang keilmuan yang tinggi. Sebut misalnya Ahmad Zain An Najah. Menurut situs ahmadzain.com dijelaskan AZ adalah pengurus berbagai organisasi Islam dan penulis lebih dari 20 buku. AZ adalah overseas graduated dari Fakultas Syare’ah, Universitas Islam, Madinah Al Munawarah tahun 1996, S2 Jurusan Syare’ah, Fakultas Studi Islam, Universitas Al Azhar, Kairo, tahun 2001 dan S3 Jurusan Syare’ah, Fakultas Studi Islam, Universitas Al Azhar, Kairo, tahun 2007.
Kedalaman Ilmu Syariah tentu tidak diragukan lagi, namun kedalaman hati, afiliasi maupun ekspresi tindakannya tak mudah diduga. Namun yang pasti bahwa Densus 88 justru telah mencium benih-benih radikalisme dan terorisme yang di mata awam tidak akan terlihat tapi radar Densus 88 telah menangkap sinyal tersebut dengan jelas. Kali ini Densus 88 mengambil inisiatif dan langkah preventif dengan menangkap tokoh penting yang bisa berpotensi di masa depan.
Kejadian 2018
Pada bulan Mei 2018 perhatian masyarakat Indonesia, bahkan dunia, tersedot pada rentetan aksi teror di berbagai kota besar di Jawa: mulai dari pembunuhan lima polisi di Rutan Salemba Mako Brimob, Depok (9 Mei); bom bunuh diri di tiga gereja di Surabaya (13 Mei) oleh enam orang sekeluarga—pada hari yang sama, bom meledak prematur di Rusunawa Wonocolo, Sidoarjo; bom bunuh diri di Mapolrestabes Surabaya (14 Mei) lagi-lagi oleh satu keluarga. Selang dua hari kemudian (16 Mei), penyerangan teroris terjadi di Mapolda Riau. Densus 88 juga memburu dan menangkap terduga teroris dengan tidak sedikit dari mereka yang terpaksa dilumpuhkan oleh tim Densus 88 karena dianggap mengancam keselamatan petugas dan masyarakat.
Dari rangkaian kejadian tersebut, muncul beberapa analisis dari para pakar mengenai aksi terorisme yang terjadi, dengan berbagai sudut pandang, dari segi studi keamanan, politik, psikologi politik, agama, konflik, dan seterusnya, guna memahami aksi terorisme untuk selanjutnya menyusun strategi konkret bersama agar aksi-aksi serupa dapat dicegah baik oleh aparat kepolisian maupun warga masyarakat. Analisis dari perspektif politik selalu akan menarik perhatian.
Politik identitas
Menurut Imanuel Geovasky, peneliti pada The Center for Religious and Cross-cultural Studies (CRCS) – Program Studi Agama dan Lintas Budaya, Fakultas Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada mengatakan, tidak ada definisi tunggal mengenai politik identitas. Tetapi beberapa ahli sepakat bahwa pada dasarnya politik identitas adalah suatu upaya politis yang mendasarkan cara berpikir maupun tindakan pada kesamaan identitas suatu kelompok dengan tujuan memperjuangkan kepentingan kelompok tersebut (Castells, 2010; Buchari, 2014; Lawler, 2014). Politik identitas tidak terjadi di ruang hampa; ia muncul dalam suatu konteks atau kondisi tertentu.
Faktor eksternal seperti diskriminasi atau marginalisasi yang membuat suatu kelompok sosial kurang mendapat akses terhadap sumber-sumber ekonomi, sosial, pendidikan, kesehatan, maupun politik turut berkontribusi bagi kemunculan politik identitas. Selain itu, faktor internal seperti primordialisme dan etnosentrisme, yang menganggap bahwa kelompok sendiri sebagai yang paling baik, unggul, suci, dan benar dibanding kelompok lain, juga dapat menguatkan politik identitas berdasarkan kesamaan identitas agama, kesukuan, etnisitas, bahasa, teritorial, paham/ideologi, pemahaman teologis, dan sebagainya. (Buchari, 2014).
Politik identitas muncul melalui beberapa tahapan: (1) suatu kelompok sosial merasakan pengalaman sebagai korban ketidakadilan yang terus-menerus berulang dari dulu hingga sekarang. Pengalaman ketidakadilan ini baik karena represi dari pihak penguasa maupun karena adanya kelompok sosial lain yang lebih mendominasi. (2) Pengalaman ketidakadilan ini juga dianggap mengancam identitas suatu kelompok tersebut karena dipandang lambat-laun akan menyingkirkan keberadaan kelompok tersebut. (3) Atas dasar itu, suatu kelompok sosial menghimpun sumber daya atau modal baik secara ekonomi, sosial maupun politik untuk melakukan resistensi terhadap situasi yang menekan mereka. (4) Resistensi tersebut dilakukan semata-mata untuk kepentingan survival atau bagian dari mekanisme resilensi kelompok tersebut (Buchari, 2014; Lawler, 2014).
Suatu kelompok sosial lazimnya ingin diketahui dan diakui kehadirannya di ruang publik (rekognisi) dan mendapat kesempatan yang adil dengan kelompok lain dalam redistribusi akses ke berbagai bidang yang selama ini tidak mereka peroleh secara setara sebagaimana kelompok lain.
Tahapan menuju aksi teror
Sekarang mari melihat aksi-aksi teror pada tahun 2018, berdasarkan keterangan Kapolri Jendral Tito Karnavian saat itu, dilakukan oleh para anggota kelompok Jamaah Ansharut Daulah (JAD) di Indonesia, yang merupakan bagian dari jaringan Negara Islam Irak dan Syam (ISIS). Di Irak dan Suriah, ISIS berupaya mendirikan khilafah. Namun usaha ini tampaknya tidak berhasil sempurna karena ISIS mendapat gempuran dari kekuatan militer gabungan negara-negara Barat dan negara-negara Timur Tengah sehingga posisi mereka kian terjepit, wilayah yang mereka kuasai makin menyempit, dan kekuatan militer mereka menurun drastis. Situasi ini membuat ISIS merasakan marginalisasi yang luar biasa.
Beberapa orang Indonesia yang sempat bergabung dengan ISIS mengalami situasi marginalisasi yang sama, karena solidaritas berdasarkan kesamaan identitas sebagai jaringan ISIS. Hal ini juga mereka rasakan ketika kembali ke Indonesia karena keberadaan mereka diawasi pihak kepolisian. Belum lagi masyarakat mempunyai stereotipe tertentu terhadap mereka yang pulang dari bergabung dengan ISIS.
Narasi bahwa kelompok ISIS telah diperlakukan tidak adil dalam sistem politik global dan menjadi korban kekalahan perang di Irak dan Suriah terus digemakan pada para pengikutnya, termasuk pada anggota jaringan JAD di Indonesia. Mereka juga memiliki narasi yang sama dan merasa perlu untuk memperjuangkan keberadaan, kepentingan, dan identitas mereka. Oleh karena itulah, mereka merasa perlu untuk melakukan perlawanan (resistensi) sekaligus dalam rangka perjuangan agar keberadaan mereka dapat dilihat dan menyedot perhatian publik (upaya mendapatkan rekognisi).
Noorhaidi Hasan, dosen dan peneliti terorisme dari UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta berpandangan bahwa “terorisme lahir dari krisis identitas yang tercipta dari situasi kompleks sehingga pelaku tidak bisa berlaku normal. Mereka hidup dalam sistem politik yang dianggap mengkolonisasi diri, sehingga timbul rasa frustasi. Mereka menyalahkan negara sebagai pengendali sistem yang mereka benci, yang dianggap berciri kapitalis, kafir, dan sebagainya”. Pelaku teror berpandangan bahwa aksi terornya merupakan upaya membangun kembali identitas mereka yang tercerabut.
“Mereka (para teroris) meyakini (aksi terornya) sebagai cara membantu keluar dari kehidupan yang kacau dan brengsek ini; juga tindakan yang bersifat altruistik sebab percaya ‘pengorbanan’ itu membuat kehidupan orang lain jadi lebih baik. Ya daripada hidup tertekan dan mati konyol, lebih baik mati yang mereka anggap syahid,” demikian lanjut Noorhaidi.
Berdasarkan pandangan tersebut, jelas bahwa aksi yang dilakukan oleh para teroris itu dapat dipahami kerangka politik identitas. Namun perlu ditekankan di sini bahwa politik identitas yang mereka lakukan adalah politik identitas dalam pengertian yang amat negatif dan buruk.
Masyarakat Tanpa Terorisme
Berbagai analisis, kajian atau penelusuran ini tidak hanya ingin menunjukkan bahwa aksi terorisme tersebut bisa dipahami sebagai upaya politik identitas, tetapi juga dalam rangka agar upaya kita bersama sebagai masyarakat sipil dapat mencegah aksi terorisme terjadi kembali.
Jika dilihat dari latar belakang dan mekanisme politik identitas di atas, di antara beberapa hal yang perlu dilakukan oleh masyarakat adalah dengan mengasah kepekaan terhadap situasi ketika terjadi diskriminasi dan marginalisasi, khususnya terhadap kelompok-kelompok sosial yang terlihat mengasingkan diri dari pergaulan masyarakat.
Jika suatu kelompok sosial mengasingkan diri dan lalu mendapatkan stigma tertentu dan dijauhi oleh masyarakat, anggota kelompok sosial ini akan semakin menarik diri dan hanya bergaul dengan kelompok mereka sendiri. Maka akan besar kemungkinannya bahwa ideologi radikal mereka semakin menguat karena “efek ruangan bergema” (echo chamber effects), yakni bahwa mereka hanya akan mendengar terus-menerus narasi-narasi dan paham-paham radikal, sebagaimana dialami oleh istri dan anak-anak dari pelaku terorisme sekeluarga di Surabaya itu.
Jika memang benar bahwa aksi terorisme terkait dengan masalah (krisis) identitas, perlu kiranya masyarakat merenungkan kembali makna identitas keagamaan kita di ruang publik. Identitas dan cara beragama yang lekat atau bahkan mendukung narasi kebencian dan kekerasan harus dihentikan!
Munculnya aksi kekerasan selalu melalui tahapan-tahapan yang dapat ditengarai: dari ujaran kebencian (hate speech) terhadap kelompok lain hingga upaya dehumanisasi atau penyebaran pandangan yang menganggap kelompok lain “kurang manusia” (less than human) dibanding kelompok sendiri. Pandangan yang mendehumanisasi kelompok lain ini pada gilirannya menjadi bahan bakar yang membuat aksi kekerasan dan terorisme dapat berlaku kejam dan mengerikan.
Penangkapan Sebagai Upaya Pencegahan
Akan hal dengan upaya penangkapan 3 tokoh agama baru-baru ini, mari kita lihat hasil kajian Badan Nasional Penanggulangan Terorime (BNPT) RI. Dengan jelas BNPT RI menyebut bahwa terduga teroris Ustadz Farid Okbah merupakan salah satu anggota Jamaah Islamiyah (JI) yang tercatat pernah mengikuti pelatihan di Negara Afghanistan.
“Farid Ahmad Okbah itu lulusan LIPIA. Dia juga alumni Afghanistan, dia juga JI,” kata Direktur Pencegahan BNPT RI, Brigjen Ahmad Nurwakhid. Meski tak mengungkap pasti kapan Farid mengikuti pelatihan di Afghanistan, Ahmad menyebut, hal tersebut merupakan ranah dari penyidikan sehingga belum dapat diungkap ke publik lebih lanjut.
Mengingat, Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror saat ini masih melakukan serangkaian pemeriksaan terhadap Farid yang telah ditetapkan sebagai tersangka. “Artinya, dia juga terkait dengan jaringan teror JI,” ujar Ahmad. Di sisi lain, Ahmad memastikan, setiap orang yang telah ditangkap oleh detasemen berlambang burung hantu pastinya telah didasari dengan barang bukti yang kuat.
Dalam hal ini, ia meyakini bahwa terduga pelaku ditangkap karena terlibat jaringan terorisme sebagaimana dilarang dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 2018. “Siapapun mereka, yang terkait dengan jaringan teror. Memenuhi unsur tindak pidana teror, minimal dua alat bukti dilakukan tindakan yang namanya preventif strike. Ditangkap, ditindak untuk mencegah sebelum melakukan aksi teroris,” ucap Achmad. Diketahui, Farid ditangkap oleh Densus 88 di Bekasi, Jawa Barat, kemarin Selasa 16 November 2021. Polisi juga menangkap Zain An-Najah dan Anung Al-Hamat. Mereka semua diduga merupakan kelompok dari Jamaah Islamiyah.
Farid juga memiliki sejumlah latar belakang di jaringan teroris JI. Ia merupakan bagian dari tim sepuh atau Dewan Syuro di organisasi teroris tersebut. Kemudian, Farid juga disebut sebagai anggota dewan syariah Lembaga Amil Zakat Badan Mal Abdurrahman Bin Auf (LAZ BM ABA) atau Yayasan amal yang didirikan untuk pendanaan JI. Ustadz Farid juga pernah terlibat dalam pertemuan yang berkaitan dengan pengkaderan Jamaah Islamiyah (JI) di Bekasi.
Terkejut
Peristiwa penangkapan ustadz Farid Okbah dan kawan-kawan telah mengejutkan berbagai pihak. Salah satunya adalah Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI), Anwar Abbas.
Anwar Abbas tercengang setelah mengetahui kabar diciduknya Farid Okbah oleh Densus 88 terkait dugaan keterlibatan dalam aksi terorisme. Wakil Ketum MUI itu merasa prihatin dengan penangkapan ulama dan tokoh umat oleh Densus 88 antiteror Polri.
Anwar Abbas meminta Densus 88 untuk menjelaskan kepada publik terkait alasan penangkapan Ustaz Farid Okbah dan dua lainnya, termasuk mantan anggota MUI.
Demi kepentingan dan nama baik presiden, Anwar Abbas meminta Densus 88 menjelaskan ke publik agar tidak muncul stigma ‘pemerintahan Jokowi telah melakukan kriminalisasi terhadap ulama’.
“Karena yang ditangkapi itu adalah ulama sehingga pemerintahan Jokowi telah dianggap, sebagian elemen masyarakat telah melakukan kriminalisasi terhadap ulama karena memang telah banyak ulama, ustaz, dan dai yang ditangkap,” kata Anwar Abbas. Anwar Abbas pun benar-benar merasa kaget dengan penangkapan Farid Okbah.
Soal keterkejutan Anwar Abbas ini, seperti telah dibahas di bagian awal semestinya tidak harus dilakukan. Penangkapan ini murni soal penegakan hukum, siapa pun yang diduga memiliki hubungan dengan gerakan terorisme, bila dipandang nyata dan telah ditemukan bukti maka Densus 88 akan bertindak. Jadi tidak ada hubungan sama sekali dengan kriminalisasi ulama atau merusak nama baik presiden. Semua akan baik-baik saja kalau semua pihak juga menjaga dan selalu berjalan di relnya NKRI.
Tak Ada Kaitan dengan MUI
Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Mabes Polri memastikan penangkapan Ahmad Zain an-Najah (AZ) tak ada keterkaitannya dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI). Kepala Bagian Operasional (Kabag Ops) Densus 88, Komisaris Besar (Kombes) Aswin Siregar menegaskan, dugaan keterlibatan AZ dalam jaringan terorisme Jamaah Islamiyah (JI) adalah sepak terjang individual, yang tak ada keterkaitan dengan wadah berkumpul para ulama se-Indonesia itu.
Kata Aswin, agar masyarakat tak menjadikan penangkapan AZ terkait dugaan terorisme kali ini, sebagai respons Densus 88, atas keberadaan MUI. “Bahwa tindakan Densus 88 ini, adalah dengan memprioritaskan keamanan masyarakat. Tidak ada berkaitan dengan institusi, atau sebuah organisasi dalam hal ini, MUI. Sehingga keterlibatan individu dalam jaringan JI ini yang menjadi bukti, atau alat bukti bagi Densus 88,” ujar Aswin saaat konfrensi pers bersama Polri, MUI, dan Densus 88 di Mabes Polri, Jakarta.
Aswin menerangkan, JI, kelompok jaringan terorisme global, yang masih malang-melintang di Indonesia. Densus 88, kata dia, sebagai tim khusus penindakan terorisme di dalam negeri, selama ini melakukan penangkapan berdasarkan pendalaman profile, dan bukti-bukti kuat dalam membongkar seluruh jaringan dan keanggotaa JI. Aswin meyakinkan, aksi Densus 88 yang melakukan penangkapan para terduga terorisme, tak pernah menargetkan tokoh, ataupun orang tertentu.
Apalagi kata dia, dengan menjadikan penangkapan tersebut untuk selain pencegahan, dan pemberantasan tindak pidana terorisme. “Jadi ini yang perlu digaris bawahi bersama oleh kita, dan di masyarakat, bahwa bukan karena bajunya, bukan karena penampilan luarnya, dan bukan karena organisasi, atau statusnya. Tetapi, melainkan (penangkapan) dilakukan karena terkait dengan aktivitas dengan kelompok JI-nya,” terang Aswin menambahkan.
Ketua MUI Pusat, Muhammad Cholil Nafis pun menyampaikan, tak ada keterkaitan aktivitas individu dugaan terorisme yang dilakukan Ahmad Zain an-Naja di wadah para ulama itu. Meskipun MUI mengakui, Ahmad Zain an-Najah, adalah salah satu dari sekian banyak anggota, maupun pengurus di MUI. “Bahwa yang bersangkutan (AZ) benar anggota dari Komisi Fatwa di MUI. Tetapi dugaan keterlibatan yang bersangkutan dalam dugaan jaringan terorisme, merupakan urusan pribadinya. Tidak ada sangkut-pautnya dengan MUI,” ujar Cholil di Mabes Polri.
MUI, pun dikatakan Cholil, menghormati proses hukum yang dilakukan Densus 88 atas penangkapan Ahmad Zain an-Najah. Tetapi, dengan meminta agar tim khusus antiteror tersebut, juga mengedepankan profesionalitas untuk pemenuhan hak-hak Ahmad Zain an-Najah, selama proses pengungkapan keterlibatan di jaringan terorisme tersebut. “MUI sangat berharap agar proses hukum ini ditegakkan dengan adil. Kita mendukung bersama pemberantasan terorisme, yang bersalah ya didhukum, kalau memang tidak bersalah tentu nanti diperbaiki nama baiknya,” ujar Cholil.
Sementara ini, kata Cholil, MUI sudah memutuskan untuk menghentikan sementara status keanggotan Ahmad Zain an-Najah di Komisi Fatwa MUI. Penonaktifan tersebut, kata Cholil menerangkan, tentu saja bagian dari upaya MUI untuk membuktikan sikap mendukung seluruh proses, dan penanganan hukum terhadap anggotanya itu. “Kami (MUI) membuka ruang yang utuh kepada yang bersangkutan (AZ) untuk menjalani proses hukum ini. Maka MUI melakukan penonaktifan,” ujar dia.
MUI Ikut Terseret
Di bagian lain terkait penanggapan AZ itu, nama MUI pun terseret dan di media sosial muncul tagar untuk membubarkan MUI. Bersamaan dengan itu, muncul pula tagar mendukung MUI.
Menanggapi wacana pembubaran MUI itu, Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Abdul Mu’ti, mengatakan eksistensi MUI masih sangat diperlukan. Pasalnya, MUI dapat menjadi wadah dan forum silaturrahim para ulama dari ormas Islam yang berbeda-beda.
Walaupun tidak mengikat, kata dia, fatwa MUI juga bermanfaat dalam memandu umat dalam masalah-masalah aktual dan masalah keagamaan lainnya. “Adanya anggota MUI yang diduga menjadi bagian dari organisasi teroris, tidak bisa menjadi alasan untuk membubarkan MUI,” kata Mu’ti.
Meski demikian, Mu’ti menyarankan bahwa MUI perlu lebih selektif dalam menyusun anggota-anggotanya. Menurutnya, MUI perlu melakukan penelitian sebelum menetapkan seseorang sebagai pengurus.”Tidak perlu ada screening,” tambahnya.
Meski terorisme adalah ancaman negara dan bangsa, tetaplah tenang dan ikuti bagaimana petugas yang berwenang dalam menanganinya. Tak perlu paranoid dan bahkan mengeluarkan pernyataan yang menyesatkan, menakut-nakuti, menjelekkan nama dan organisasi tertentu sehingga tanpa sadar akan terjebak pada ujaran kebencian (hate speech). Bukankah ujaran kebencian adalah salah satu pintu masuknya ajaran kekerasan atau radikalisme ? Maka mari waspada bersama. (SAF).