Jelas sekali JI memiliki karakter yang sama yakni berupaya menyesuaikan diri dengan situasi. Pakar terorisme di Australia sudah lama menyadari adanya karakteristik dan yang tidak selalu sama antara terorisme di Indonesia dibanding ekstrimisme di Timur Tengah. Salah satu buktinya adalah adanya model-model pembentukan dan perluasan jaringannya secara lokal yang disertai dengan sentimen-sentimen lokal dan nasional untuk lebih menarik. Menurut analisa studi jaringan terorisme internasional, organisasi-organisasi di Indonesia juga sudah lama dijadikan tempat perekrutan anggota-anggota baru Jamaah Islamiyah. Jadi, apakah sudah saatnya Pemerintah makin lebih serius menyiasati fenomena soal masuknya anasir-anasir terorisme ke dalam lembaga-lembaga strategis pemerintah maupun non pemerintah guna merealisasikan cita-cita yang sudah dinyatakan ilegal? Tidak ada pilihan lagi bahwa pihak-pihak yang berkepentingan untuk terus meningkatkan koordinasi antarlembaga dan tetap berfokus pada terorisme dengan baju dan label baru. Pemahaman sejarah mereka, maupun cara-cara baru yang diterapkan sangat diperlukan guna lebih akurat dalam penyusunan hasil ‘profiling’ teroris dan terorisme. Dari sejarah JI dapat dipahami bahwa mantan anggota JI selalu adaptif dan senantiasa menggunakan strategi seperti memasuki ormas-ormas Islam dan organisasi-organisasi keislaman dengan tetap membawa agenda tersembunyi cita-cita mendirikan khilafah di Indonesia dan Asia Tenggara. Sudah sering disebutkan bagaimana jaringan terorisme kini menggunakan teknologi sebesar-besarnya, termasuk kecanggihan setinggi-tingginya menggunakan media sosial. Direktur Eksekutif Jaringan Moderat Indonesia, Islah Bahrawi menilai, Jamaah Islamiyah (JI) adalah salah satu jaringan teroris di Indonesia yang mempunyai resiliensi yang sangat kuat dengan Afghanistan. Bila pada awalnya JI cenderung tertutup, kini tampaknya sudah ada pola gerakannya yang mulai berubah. Meskipun masih terkesan misterius dan hanya diketahui bila diungkap polisi lewat penangkapan, kita perlu juga menggali pendekatan-pendekatan yang tengah dan akan mereka lakukan lewat kebudayaan. Walaupun sudah almarhum, jelas JI masih dianggap relevan dan adaptif di masyarakat dengan potensi menrik minat massa yang besar. Noor Huda Ismail, pengamat terorisme Indonesia mengingatkan agar kita tidak lagi menggunakan paradigma lama. Sudah saatnya kita melihat mereka tidak hanya sekadar kelompok yang melancarkan gerakan teror tapi harus lebih dari itu. Sesungguhnya mereka kini sedang melakukan hal-hal lain yang dampaknya berbahaya bagi negara.
Jakarta, 18 November 2021. Hari Selasa lalu, (16/11), ramai diberitakan oleh media bahwa Densus anti teror 88 berhasil menangkap seorang bernama Ahmad Zain An-Najah sebagai tersangka teroris. Yang bersangkutan ditangkap tepatnya di Jalan Merbabu Raya Pondok Melati Bekasi Jawa Barat pukul 4.39 WIB. Pihak Polri telah secara resmi menyatakan Zain An-Najah ditangkap karena merupakan anggota Dewan Syuro (Dewan penasehat) dari organisasi Jamaah Islamiyah (JI) yang sudah dinyatakan terlarang di Indonesia. Selain Ahmad Zain An-Najah, turut ditangkap pula dua tersangka lainnya masing-masing Farid Ahmad Okbah dan Anung Al Hamat.
Anung Al-Hamat ditangkap di jalan Raya Legok Blok Masjid, Jatimelati, Pondok Melati, Kota Bekasi sekitar pukul 05.49 WIB pada Selasa (16/11/2021). Ustaz Anung Al-Hamat disebutkan berperan mengawasi anggota JI selain juga pernah menjadi pengurus (anggota pengawas) Perisai Nusantara Esa pada 2017. kata Kabag Penum Divisi Humas Polri Kombes Pol Ahmad Ramadhan, Selasa (16/11/2021). Seperti halnya Zain An-Najah, mereka keduanya juga terkait dengan Jamaah Islamiyah (JI) atau tepatnya lembaga pendanaan Lembaga Amil Zakat Abdurahman Bin Auf (LAZ ABA).
Penangkapan ini merupakan proses lanjutan bulan lalu dari pengembangan perihal siapa-siapa saja yang menjadi pengurus LAZ ABA Lampung. Pihak Polri pada akhirnya berkesimpulan adanya orang-orang Jamaah Islamiyah yang terlibat di dalamnya. Penyidikan oihak Densus 88 Antiteror Polri, menunjukkan bahwa ketiga orang yang ditangkap itu ditengarai telah memberi bantuan tidak saja dari segi pendanaan tapi juga dari segi pemikiran. Pendeknya, upaya penangkapannya tersebut dikatakan terkait dengan keterlibatannya dengan lembaga pendanaan JI tersebut, kata Kepala Bagian Bantuan Operasi Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Polri Kombes Pol Aswin Siregar.
Dalam Lembaga Amil Zakat Baitul Mal Abdurrahman Bin Auf (LAM BM ABA) itu, Ahmad menjabat sebagai Ketua Dewan Syuro (Syariah). Sedangkan Farid Ahmad Okbah merupakan Anggota. Sedangkap Anung Al Hamat merupakan pendiri dari Perisai Nusantara Esa, yang merupakan organisasi sayap kelompok JI tersebut. Sebagaimana disebutkan, JI sudah ditetapkan Negara Republik Indonesia sebagai kelompok atau organisasi terlarang. Putusannya pun sudah ditetapkan oleh pengadilan. Kelompok JI pun sudah dimasukkan oleh dunia internasional sebagi organisasi terorisme global, sesuai Resolusi PBB No 1267/2008. Status ini menyebabkan JI langusng mendapatkan perhatian serius sampai akhirnya dibekukan.
Munculnya kasus baru ini jelas memberikan suatu gambaran bahwa JI sebenarnya belum benar-benar pupus. Karenanya, penangkapan tersangkaJI oleh Polri adalah usaha untuk lebih mendalami. Polri secara khusus ingin mengorek fakta mengenai peran apa saja yang telah dimainkan oleh pengurus JI selama ini. Karena duduk sebagai anggota Dewan Syuro yang secara struktur sangat vital, pihak kepolisian yakin bahwa Ahmad Zain memiliki peran penting memberi masukan kepada kelompok Jamaah Islamiyah. Pihak kepolisian sangat berharap dapat menggali fakta-fakta sejauh mana masukan yang diberikan.
Siapakah Sebenarnya Ahmad Zain An-Najah?
Ahmad Zain An-Najah seorang yang sesungguhnya berprofesi sebagai dosen namun juga dikenal sebagai seorang Ustad. Pria kelahiran Klaten Jawa Tengah 1971, itu menamatkan S1 Syariah Islamiah di Universitas Medina, sebelum melanjutkan pendidikan pasca sarjana di Mesir hingga menjadi doktor. Kapasitasnya sebagai seorang Doktor Syariah Lulusan Universitas Al Azhar Mesir membawanya masuk sebagai anggota komisi Fatwa MUI (Majelis Ulama Indonesia), berada di urutan ke-24. Namun keterlibatannya sebagai ketua Dewan Syariah Lembaga Amil Zakat BM Abdurrohman Bin Auf (LAZ-ABA) lah yang akhirnya makin menciptakan kecurigaan pihak keamanan terhadap dirinya melakukan aktivitas JI.
Menurut Direktur Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorime (BNPT) RI, Brigjen Ahmad Nurwakhid (17/11), tersangka Ahmad Zain An-Najah sebenarnya sosok yang dekat dengan petinggi di jaringan Jamaah Islamiyah (JI). Ia alumni Pondok Pesantren (Ponpes) yang didirikan oleh petinggi JI, Abu Bakar Ba’asyir dan Abdullah Sungkar. Apalagi dia juga dekat dengan mantan anggota ISIS Abdul Hakim. (Sudah ditangkap Densus 88 pada 2015 silam).”Jejak digitalnya jelas. Mereka yang ditangkap itu rajin ceramah terkait dengan propaganda-propaganda bahwa non muslim itu teroris. Di tahun 2019 dia pernah terkait dengan Abdul Hakim, mantan anggota ISIS yang sudah ditangkap,” jelasnya.
Ahmad Zain diketahui memang sering menyampaikan ceramah-ceramah berisi propaganda ide-ide radikalisme yang senantiasa dikaitkan dengan Islam. Selain itu Ahmad Zain diketahui dekat hubungannya dengan petinggi JI yang lain bernama Abdurahman Ayub. Dengan kedudukannya sebagai anggota Dewan Syuro di lembaga pendanaan tersebut, jelas ia menduduki posisi penting karena statusnya yang dituakan oleh anggota lainnya.
Reaksi masyarakat
Berita penangkapan Ustad Zain ini pun langsung menarik perhatian massa dan segera menjadi viral di media sosial. Pasalnya tiada lain karena kedudukannya sebagai ulama yang dikenal bahkan anggota Komisi Fatwa Majelis Ulama UI (MUI) yang dihormati. Tentu saja tidak semua pihak merasa menerima penangkapannya itu dan menganggap alasan politis ada di belakangnya. Di berbagai media sosial pun muncul komentar-komentar penuh kritikan mengenai hal ini.
Selama ini memang banyak kritikan ditujukan kepada Densus soal penanganan masalah keamanan terutama terorisme yang dianggap masih kurang transparan, lebih-lebih dalam penjelasannya kepada publik. Pihak Polri dikesankan tebang pilih dan proses penyidikan tidak selalu dianggap adil dan menghormati hak-asasi manusia yang menjadi tersangkanya. Seorang anggota DPR dari PKS sempat menuntut polisi agar mengedepankan keadilan hukum dan transparansi menangani kasus ini. Katanya, walaupun polisi diberikan hak untuk menangkap orang yang diduga terlibat tindak pidana terorisme mereka harus tetap merujuk pada Pasal 28 Ayat (1) UU Nomor 5 Tahun 2018. Tokoh Komisi III DPR RI ini menyatakan agar penangkapan tersebut juga tidak malahan membangun kemunculan stigma negatif terhadap MUI.
Dari Pihak MUI sendiri sudah muncul keprihatinan akibat penangkapan ini sebab yang bersangkutan dikenal sebagai tokoh dan ulama di masyarakat. Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Abdullah Djaidi menyatakan pihaknya telah menonaktifkan yang bersangkutan sebagai anggota Komisi Fatwa MUI. Djaidi menegaskan MUI menyerahkan sepenuhnya masalah yang membelit Zain itu kepada penegak hukum. Keputusan itu tertuang dalam surat Dewan Pimpinan MUI, 17 November 2021 yang ditandatangani Ketua Umum KH. Miftachul Akhyar dan Sekjen Amirsyah Tambunan. “MUI menonaktifkan Dr. Zein an-Najah dari anggota komisi fatwa MUI,” kata Ketua MUI Bidang Dakwah dan Ukhuwah, KH Muhammad Cholil Nafis dari akun Twitter @cholilnafis. Langkah tersebut ditempuh agar Zain bisa memfokuskan diri pada persoalan hukum yang menjeratnya.
Bukan upaya mengkriminalisasi Ulama
Pihak Polri menampik kesan yang berkembang di tengah masyarakat bahwa tindakan penangkapan oleh Polri ini sebenarnya aksi untuk membidik ulama. Dengan tegas Polri menyatakan tugas penangkapan dan penindakan oleh aparat penegak hukum ini tidak berkaitan dengan MUI sama sekali. Dikatakan bahwa Densus 88 melakukannya sebagai bagian kerja prioritas keamanan dan ketertiban masyarakat yang terukur.
Ada 28 berita acara pemeriksaan (BAP), keterangan ahli dan dokumen yang menjurus kepada Ahmad Zain An-Najah, Anung Al Hamat dan Farid Ahmad Okbah sebagai tersangka. Hal-hal itulah yang menjadi petunjuk bagi Densus 88 untuk melakukan upaya penangkapan, yakni bagian penegakan hukum demi penuntasan kelompok teroris terlarang JI. “Sekali lagi ingin saya sampaikan bahwa tindakan-tindakan yang dilakukan oleh Densus 88 Antiteror tidak ada upaya-upaya untuk melakukan kriminalisasi kepada siapapun. Termasuk juga kegiatan (penangkapan) yang dilakukan di Bekasi pada tanggal 16 November 2021 kemarin,” kata Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karopenmas) Brigjen Pol Rusdi Hartono dalam konferensi pers di Divisi Humas Polri, Jakarta Selatan (17/11/2021).
Dijelaskan, siapa saja yang terbukti berafiliasi atau beraktivitas dalam kelompok terlarang seperti halnya JI, akan langsung menghadapi proses penegakan hukum. Aktivitas terorisme selama ini telah mengganggu keamanan dan ketertiban masyarakat (kamtibmas) bahkan mengganggu kehidupan berbangsa dan bernegara. Polri juga telah diberi kewenangan dalam penanganan terorisme di Tanah Air, melalui Densus 88 Antiteror. Densus, kata Rusdi, berusaha melakukan pendekatan pemahaman atas jejaring terorisme lewat sistem pendanaannya dan juga melalui pergerakan orang di dalam organisasi itu,
Masalah Pendanaan
Menarik sekali bahwa aktivitas kemunculan kembali Jamaah Islamiyah mencuat dan diketahui sesudah upaya menyelidiki lembaga pendanaan mereka dilakukan. Lewat cara ini, diketahui siapa saja yang terlibat dan bagaimana sistem ini dioperasikan. Masalah pendanaan jelas pola strategi mereka yang harus mendapat fokus khusus dari penegak hukum. Upaya mengawasi soal pendanaan yang begitu sentral sebenarnya sudah disinggung sebelumnya oleh para ahli terorisme Asia Tenggara. Mereka telah mengingatkan kepada pihak agar persoalan keuangan selalu harus diwaspadai.
Kehadiran dana yang cukup besar pastinya penting guna operasional JI melakukannya secara bawah tanah. Dana-dana yang berhasil dikumpulkan sistem pendanaan lembaga pendanaan JI diperlukan untuk kebangkitan mereka kembali. Sebenarnya pihak berwajib sudah mendalami soal ini, bahkan sejak tahun 2019 silam. Mereka telah mencatat mengenai poin-poin strategi pendanaan secara internal mapun eksternal.Secara internal mereka diketahui memungut 2,5% dari pendapatan anggotanya. Sedangkan secara eksternal, mereka melakukan pencarian infak lewat lembaga LAZ ABA, dengan kemasan program sosial/pendidikan yang tidak akan menimbulkan mencurigakan. Untunglah Kementerian Agama kini telah membekukan izin LAM BM ABA ini. Namun demikian diprediksikan pola-pola yang sama akan bisa saja bermunculan kembali secara lebih canggih.
Pendirian Partai Dakwah Rakyat Indonesia
Selain didukung oleh sistem pendanaan yang kuat, strategi baru yang dijalankan para simpatisan dan aktivis JI tiada lain adalah usaha pendirian suatu partai politik. Usaha ini dinilai sebagai upaya penyusupan dan kamuflase yang menjadi strategi baru agar sel-sel terorisme bisa makin bertumbuh. Sebagaimana diketahui salah seorang yang ditangkap yaitu Ustaz Farid Okbah adalah Ketua Umum Partai Dakwah Rakyat Indonesia (PDRI). Disebutkan bahwa pendirian partai tersebut digunakan untuk melindungi JI.
Menurut Ahmad Ramadhan dai Polri, Farid Okbah sudah ikut memberikan solusi kepada terduga lainnya Arif Siswanto (AS) yang ditangkap terkait pengamanan anggota JI pasca penangkapan Aji Parawijayanto (PW), dengan membuat wadah baru. Sebelum PDRI berdiri, Farid Okbah juga diketahui berkomunikasi dengan terduga teroris bernama Arif Siswanto. “Adapun partai yang dibentuk oleh FAO adalah Partai Dakwah Rakyat Indonesia atau PDRI,” ujarnya. Para pakar setuju dengan pendapat bahwa pendirian suatu partai adalah suatu fenomena baru dalam sejarah lahir dan jaringan terorisme di Indonesia. Hal ini mengagetkan banyak ahli yang menyatakan bahwa kini mereka bergerak menggunakan strategi baru, dari suatu organisasi teroris yang tertutup menuju pada partisipasi langsung dalam sistem politik. Seperti yang telah diungkapkan oleh pengamat terorisme, Dirgantara, Adhyasta, Pembentukan suatu partai politik baru berbau Islam adalah usaha mengelabui pemerintah karena menggunakan cara memasuki sistemnya langsung. di Indonesia. Ini jelas merupakan fenonmena baru yang mendesak untuk dipahami sedalam-dalamnya.
Perlu memahami kembali sejarah JI
Dari dua faktor mengemuka yakni pendanaan dan pendirian partai baru, pengamat menyimpulkan sementara bahwa diperlukan strategi baru tidak saja guna dalam memahami gerak gerik mereka namun juga untuk mengantisipasi cara apa saja yang sedang mereka lakukan demi mensukseskan misi di era baru ini.
Sebelum memahami hal tersebut, tentu saja perlu melihat sejarah tumbuh dan berkembangnya organisasi ini sebelum mereka dinyatakan terlarang. Sebagaimana diketahui, Jamaah Islamiyah didirikan pada 1 Januari 1993 oleh Abu Bakar Bashir dan Abdullah Sungkar, yakni pada saat mereka bersembunyi di Malaysia dari kejaran Pemerintahan Suharto. Awalnya JI bermula ketika Abu Bakar Bashir dan Abdullah Sungkat ingin mendirikan Darul Islam pada 1969. Untuk mencapai cita-cita itu, serangkaian ceramah dan pengajian mereka lakukan lewat Radio, pertemuan serta pendirian pesantren.
Bashir dan Sungkar dipenjara di masa Orde Baru karena aksi Komando Jihad. Tokoh-tokoh JI sesudahnya yang terkemuka di antaranya Hambali Noordin Top dan Dumatin. Sesudah Suharto jatuh pada 1998, pendiri JI kembali ke Indonesia. Aktivitas mereka kemudian menjadi penting sesudah JI diketahui mendapat bantuan lewat Abdullah Sungkar yang berkontak dengan jaringan Al Qaeda dan Osama Bin Laden. Dari Indonesia pengikut Jemaah Islamiyah kemudian menyebar luas hingga Singapura dan Filipina. Pada era 1990-an tokoh Hambali yang bertujuan mendirikan kekalifahan Islam di Asia Tenggara muncul dan serangkaian sel teror dengan bantuan Al Qaeda diciptakan. Hambali ditangkap pada 2003 dan dianggap tokoh di balik pengeboman sejumlah gereja.
JI tumbuh sebagai organisasi terorisme transnasional di Asia Tenggara yang terkemuka, dengan sel-sel yang tumbuh tidak saja di Indonesia, Singapura dan Malaysia, tapi juga di Philipina. Mereka juga memiliki hubungan erat dengan Moro, Jamaah Ansharut Tauhid (pecahan Jamaah Islamiyah yang lahir pada 2008). Jamaah Islamiyah (JI) kemudian dikenal sebagai organisasi militan Islam yang bercita-cita mendirikan negara Islam yang meliputi Indonesia, Singapura, Brunei, Malaysia, Thailand dan Filipina. Sejumlah kekerasan yang menyebabkan banyak korban yang jatuh. Di antara aksi kekerasan dilakukannya di Maluku, Poso dan aksi-aksi lain yang menargetkan kepentingan Barat di Asia Tenggara saat kampanye perang terhadap terorisme pimpinan Amerika Serikat sedang dilancarkan.
Aksi terorisme terkenal lainnya termasuk aksi bom Bali pada 2002 yang menewaskan lebih 200 orang, teror bom di sejumah tempat publik dan pengeboman di kedutaan Australia di Jakarta dan sejumlah tempat di Filipina. Sejumlah jaringan dan anggota JI militan sudah ditangkapi di berbagai tempat termasuk Aceh. Pada 25 Oktober 2002, tidak lama sesudah Bom Bali, JI dimasukkan sebagai kelompok terorisme yang berkaitan dengan Al Qaeda dan Taliban. Pada tahun 2008 JI di Indonesia pun ditetapkan sebagai organisasi ilegal dan pemimpinnya Zarkarsih dan Komando militer Abu Dujana dijebloskan ke penjara.
Belajar dari sejarah
Berkaca dari cara jaringan terorisme selama ini, kita belajar bahwa pembubaran dan penahanan sejumlah pemimpin terbukti tidak selalu dapat melumpuhkan aktivitas anggotanya yang untuk tersebar di mana-mana. Seperti yang ditunjukkan dengan kasus JI ini, sebelumnya kita tahu bahwa walaupun JAD (Jamaah Ansharut Daulah) sudah dinyatakan terlarang pada 2018, namun ternyata aksi mereka masih terjadi dalam bom Makassar tahun ini. Lebih jauh lagi, seperti laporan pengamat jaringan terorisme internasional, sudah lama organisasi-organisasi di Indonesia dijadikan sasaran Jamaah Islamiyah untuk merekrut anggota-anggota baru yang ekstrim, seperti dari Jamaah Anshurat Tauhid (JAT), Jamaah Anshorusy Syariah (JAS) maupun FPI.
Aksi-aksi gerakan terorisme mereka pendeknya kini telah menyesuaikan diri dengan perkembangan baru juga. Selain menggunakan sarana media sosial, mereka dalam beberapa tahun belakangan ini sudah sangat giat mengumpulkan dana seperti yang pernah diutarakan oleh Sylvia Laksmi dari Universitas Nasional Australia (ANU). Ia berpendapat bahwa telah ada perubahan cara-cara dari kelompok terorisme di Indonesia didanai. Kasus ini adalah salah satu peristiwa yang membuktikan hal itu.
Strategi baru. pendekatan baru
Sebagai organisasi, seperti halnya organisasi terorisme sejenis, jelas sekali JI memiliki karakter yang sama yakni upaya untuk selalu menyesuaikan diri dengan situasi. Pakar terorisme di Australia sudah lama menyadari adanya karakteristik dan yang tidak selalu sama antara terorisme di Indonesia dibanding ekstrimisme di Timur Tengah. Salah satu buktinya adalah adanya model-model pembentukan dan perluasan jaringannya secara lokal yang disertai dengan sentimen-sentimen lokal dan nasional untuk lebih menarik.
Menurut analisa studi jaringan terorisme internasional, organisasi-organisasi di Indonesia juga sudah lama dijadikan tempat perekrutan anggota-anggota baru Jamaah Islamiyah. Jadi, apakah sudah saatnya Pemerintah makin lebih serius menyiasati fenomena soal masuknya anasir-anasir terorisme ke dalam lembaga-lembaga strategis pemerintah maupun non pemerintah guna merealisasikan cita-cita yang sudah dinyatakan ilegal? Tidak ada pilihan lagi bahwa pihak-pihak yang berkepentingan untuk terus meningkatkan koordinasi antarlembaga dan tetap berfokus pada terorisme dengan baju dan label baru. Pemahaman sejarah mereka, maupun cara-cara baru yang diterapkan sangat diperlukan guna lebih akurat dalam penyusunan hasil ‘profiling’ teroris dan terorisme.
Dari sejarah JI dapat dipahami bahwa mantan anggota JI selalu adaptif dan senantiasa menggunakan strategi seperti memasuki ormas-ormas Islam dan organisasi-organisasi keislaman dengan tetap membawa agenda tersembunyi cita-cita mendirikan khilafah di Indonesia dan Asia Tenggara. Sudah sering disebutkan bagaimana jaringan terorisme kini menggunakan teknologi sebesar-besarnya, termasuk kecanggihan setinggi-tingginya menggunakan media sosial. Direktur Eksekutif Jaringan Moderat Indonesia, Islah Bahrawi menilai, Jamaah Islamiyah (JI) adalah salah satu jaringan teroris di Indonesia yang mempunyai resiliensi yang sangat kuat dengan Afghanistan.
Bila pada awalnya JI cenderung tertutup, kini tampaknya sudah ada pola gerakannya yang mulai berubah. Meskipun masih terkesan misterius dan hanya diketahui bila diungkap polisi lewat penangkapan, kita perlu juga menggali pendekatan-pendekatan yang tengah dan akan mereka lakukan lewat kebudayaan. Walaupun sudah almarhum, jelas JI masih dianggap relevan dan adaptif di masyarakat dengan potensi menrik minat massa yang besar. Noor Huda Ismail, pengamat terorisme Indonesia mengingatkan agar kita tidak lagi menggunakan paradigma lama. Sudah saatnya kita melihat mereka tidak hanya sekadar kelompok yang melancarkan gerakan teror tapi harus lebih dari itu. Sesungguhnya mereka kini sedang melakukan hal-hal lain yang dampaknya berbahaya bagi negara.
“Perlu perubahan strategi. Jangan pakai pola-pola lama, menganggap mereka tidak bisa gaul dan sebagainya,” kata Ismail (23/8/2021). “JI menggunakan cultural approach. Pendekatan dalam gaya hidup. Maka, mereka punya sekolah sendiri, biro jodoh sendiri, pendanaan, bisnis. Jangan lihat JI hanya latihan militer dengan latihan menembak, mereka juga sudah terstruktur,” ujarnya. Ismail tidak lupa pula menggarisbawahi metode penggalangan dana yang berhasil mereka lakukan yaitu melalui Syam Organizer. Mereka menempatkan sejumlah kotak amal di toko-toko yang banyak dikunjungi masyarakat. Dengan klaim sebagai penyalur dana kemanusiaan baik ke dalam maupun luar negeri, ternyata mereka bisa efektif mengumpulkan dana selama ini. “Mereka menggunakan aksi-aksi kemanusiaan, seperti Syam Organizer, menggalang dana dengan isu kemanusiaan,” jelas Ismail.
Bagaimana strategi penarikan, pendistribusian dan penggunaan guna melakukan kegiatan-kegiatan dengan label berbeda namun berbau Jamaah Islamiyah (JI) kini menjadi begitu penting diungkap. Selain perlu memfokuskan soal pendanaan, pemahaman akan pendekatan secara budaya yang sedang dipraktekkan oleh anggota organisasi terorisme ilegal JI juga sesuatu yang penting diangkat dan didalami.
(Isk – dari berbagai sumber)