Kasus penistaan agama oleh Muhammad Kace/Kece baru-baru ini bukanlah yang pertama. Dalam sejarahnya, kasus-kasus seperti itu sudah dilaporkan sejak masa kolonial. Ketetapan No.1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama dalam masa Pemerintahan Sukarno 27 Januari 1965 menandai awal penistaan agama ingin diatur negara. Namun motif politis untuk kekuasaan masih terus berjalan hingga sekarang. Meskipun kasus-kasus penistaan agama di Indonesia itu memiliki pola-pola yang sama, perlu cara dan pendekatan baru untuk menyiasati masalah ini di era baru. Ketegangan antara pemeluk agama yang berbeda, perseteruan ideologi termasuk agama dan kepercayaan alternatif harus disiasati oleh penegak hukum dengan tidak lagi menguntungkan mayoritas sehingga situasi menjadi tidak kondusif. Pihak kepolisian harus tidak berani menerapkan penegakah hukum yang adil, dan tidak hanya bereaksi karena respon masyarakat dan motif di belakangnya. Penerapan hukum yang lentur dan tidak standar membuka ruang penafsiran yang menguntungkan kelompok tertentu. Sekarang, kalau orang di indonesia dituduh melakukan penistaan agama, makin sulit buat mereka melepaskan diri karena ada jeratan Pasal 156a KUHP. Apalagi tambahan penerapan juncto UU ITE.
Jakarta, 25 Agustus 2021. Seorang YouTuber yang bernama Muhammad Kace/Kece tengah menggegerkan di Indonesia.Tuduhan dan pelaporan atas dirinya sebagai penista agama disampaikan beberapa pihak kepada aparat keamanan karena konten di YouTube-nya dianggap menghina agama dan menimbulkan keresahan dalam masyarakat. Dalam live-streamingnya, Muhammad Kace dituduh sudah menyatakan hal-hal yang dianggap menghina umat Islam. Ceramahnya terkait soal kitab kuning dan nabi Muhammad SAW.
“Kitab kuning ini hanya usaha manusia, ya barang kali benar, tapi apakah nyimpang dari Quran, ya. Kenapa? Karena Quran tidak memerintahkan harus membaca hadis dan fiqih. Alquran lebih memberikan isyarat orang harus membaca Taurat dan Injil,” jelasnya dalam video yang viral dan sudah disaksikan banyak orang di dunia maya. Kitab kuning di pondok-pondok pesantren, menurutnya menyesatkan dan bisa menimbulkan paham radikal. Ajaran Islam dan Nabi Muhammd SAW itu juga tidak benar jadi harus ditinggalkan. Ia juga mengubah penyebutan Muhammad menjadi Yesus.
Karena terkait agama dan kepercayaan, pendapat dan ucapannya langsung dipersoalkan dan viral. Apalagi dia dianggap murtab karena sudah pindah agama sehingga tidak boleh menilai Islam seenaknya. Menurut Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumasm konten Youtube nya a jelas-jelas menebarkan kebencian dan penghinaan terhadap simbol keagamaan. “Deliknya aduan dan bisa diproses di kepolisian, termasuk melanggar UU No 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama,” jelasnya. Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Anwar Abbas mendesak pihak kepolisian memproses hukum dan segera menggiring Muhammad Kace ke pengadilan. “Ini adalah sebuah perbuatan yang tidak etis dan sudah memancing kemarahan umat,” tuduhnya.
Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Achmad Baidowi juga meminta polisi melakukan tindakan penegakan hukum terhadap Muhammad Kace karena adanya unsur pelanggaran yang jelas. “Takutnya akan melebar kemana-mana dan membuat perpecahan sehingga mengganggu keharmonisan para pemeluk agama.” Ujarnya (23/8). Pemuka agama Yusuf Mansyur ikut mendesak polisi menangkapnya. Jika lamban ia mengkhawatirkan eskalasi emosi massa yang merasa dihina dan dilecehkan akan meningkat. Ketua Umum Pemuda Muhammadiyah Jakarta Pusat, Akmil Faisal (25/8) mengancam akan menggelar aksi turun ke jalan jika YouTuber Muhammad Kace itu tidak segera ditangkap. Ia memberi tenggat waktu 3×24 jam atau tiga hari kepada kepolisian untuk menangkap dan memproses hukum kasus ini.
Menurut Ustad kondang Das’ad Latif (23/8) tindakan Muhammad Kace sudah masuk pidana karena melecehkan agama lain dan menghina keyakinan agama lain. Karenanya ia tidak bisa hidup di Indonesia dan harus ditindak. Ia heran tidak ada agama lain yang ikut memberikan pernyataan. Bicara akidah, keyakinan dan konsep ketuhanan menurutnya harus hati-hati karena bisa menyinggung keyakinan umat. Ketua LBH Pelita Umat Chandra Purna Irawan melihat unsur pidana dari kasus ini. Ia menilai ucapan Muhammad Kece sudah memenuhi unsur tindak pidana penistaan agama. Pertama, karena mencampuradukkan dua ajaran agama yang jelas-jelas berbeda; kedua, ia tidak memiliki otoritas atau kewenangan menafsirkan ayat Al Quran, apalagi menafsirkan menurut pandangannya; Ketiga, terdapat unsur ujaran kebencian terhadap Nabi Muhammad SAW.
Unsur perbuatan tindak pidana menurutnya sudah terpenuhi, berupa permusuhan, penyalahgunaan, atau penodaan terhadap agama yang dianut di Indonesia. Perbuatan itu dapat dipidana berdasarkan Pasal 156a KUHP, yaitu sengaja jahat memusuhi, membenci dan/atau menodai ajaran agama (malign blasphemies). Pasal 156 dalam KUHP itu sebenarnya muncul sesudah proklamasi kemerdekaan dan diambil dari pasal 124A dan 153A British Indian Penal Code dalam sistem hukum Belanda. Isinya larangan mengeluarkan pernyataan permusuhan, benci atau merendahkan. Kemudian, pada awal dekade 1960-an, kalangan konservatif muslim di Indonesia menganjurkan Presiden Sukarno mengambil tindakan terhadap ajaran mistisisme atau kepercayaan-kepercayaan lokal yang dianggap menodai Islam.
Penanganan Kasus dan Penangkapan
Menanggapi kecaman dan kehebohan atas kontennya, Muhammad Kece sempat buka suara melalui siaran langsung di kanal Youtubenya pada 21 Agustus 2021 lalu. “Gara-gara surat 72 ayat 19 ini disampaikan ke dunia saya jadi dikecam oleh MUI, aduh,” katanya dalam siaran langsungnya. Muhammad Kece dalam kesempatan itu juga meminta perlindungan TNI dan polisi karena ia berhak karena membayar pajak dan juga karena terjamin untuk menyampaikan pendapat dan kebenaran. Namun ternyata kasusnya tertap berjalan. Sesudah resmi status kasus dugaan penodaan agama ditingkatkan ke tahap penyidikan, pihak Bareskrim Polri langsung berusaha mencari keberadaanya.
Polri awalnya menerima 4 laporan terhadap dugaan penistaan agama oleh Muhammad Kace. Laporannya diajukan ke Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT) Polda Metro Jaya, Minggu 12 Juli 2021, dengan nomor laporan LP/4042/VII/YAN.2.5/2020/SPKT PMJ tertanggal 12 Juli 2020. Polisi selanjutnya menyiapkan barang-barang bukti agar terduga itu bisa ditimpakan degan Pasal 28 Ayat 2 Jo Pasal 45A UU RI No. 19 Tahun 2019 tentang ITE dan Pasal 156 KUHP soal penyebaran ujaran kebencian dan penghinaan terhadap golongan rakyat Indonesia. Ia juga akan dijerat sebagai pelaku UU ITE.
Pihak kepolisian telah melakukan pelacakan dan pencarian sosok ini karena telah membuat kegaduhan dan berpotensi memecah belah bangsa. Pihak pelapor dan beberapa saksi ahli seperti ahli IT, ahli bahasa Indonesia dan ahli hukum agama sudah dihadirkan. Bukti awal bagi penyidik adalah keterangan pemeriksaan saksi ahli dan tangkapan layar sekaligus video penuh milik nya sesuai syarat untuk pasal 184 KUHAP. Sementara itu, Kementerian Komunikasi dan Informatika juga mengambil langkah tegas berupa pemutusan akses terhadap 20 video akun YouTube-nya, termasuk satu video dari platform TikTok. Diperkirakan ada 400 unggahan videonya yang isinya dianggap telah menistakan agama.
Dua puluh di antara kontennya itu, menurut polisi isinya kontroversial sehingga harus diblokir Kominfo karena melanggar pasal 28 ayat 2 jo. pasal 45A UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang diubah oleh Undang-Undang No. 19 Tahun 2016. Ada dugaan juga terjadinya penyebaran konten bermuatan penodaan agama dan/atau informasi yang dapat menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan berdasarkan suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA) tutur Juru Bicara Kementerian Kominfo Dedy Permadi (23/8/2021). Dedy juga menyebut bahwa Muhammad Kece melanggar beberapa peraturan lain seperti PP Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem Transaksi Elektronik (PSTE) dan Peraturan Menteri (PM) Nomor 5 tahun 2020. Berita terakhir menyebutkan bahwa yang bersangkutan akhirnya berhasil ditangkap di Bali dan langsung dibawa ke kantor Bareskrim Polri.
Sejarah Penistaan Agama
Kasus penistaan agama oleh Muhammad Kace/Kece ini bukanlah yang pertama. Dalam sejarahnya di Indonesia, bahkan kasus-kasus serupa sudah banyak dilaporkan sejak masa kolonial. Sekitar bulan Desember 1930, surat kabar Soeara Oemoem yang diterbitkan oleh Studieclub Indonesia dan dipimpin Dr. Soetomo, memuat berbagai tulisan yang dianggap menghina ibadah haji. Dalam tulisan-tulisan itu, penulis mempertanyakan manfaat naik haji, menganggap orang-orang yang dibuang ke Digul karena membela bangsa, lebih mulia dari orang-orang yang naik haji karena hanya menyembah berhala Arab”, serta menganjurkan orang Islam pergi ke Demak saja daripada ke Mekah. Pernyataan itu membuat geger umat Islam di Jawa. Ormas Islam yang bergerak di bidang politik, sosial, dan keagamaan lalu mengadakan rapat-rapat umum untuk menyerangnya. Di berbagai kota dibentuk panitia-panitia untuk membentuk opini publik dalam menghadapi serangan orang-orang kebangsaan ini.Melihat reaksi umat Islam, Dr. Soetomo kemudian menyatakan kepada pers bahwa ia dan ayahnya juga muslim dan sering menyumbang Muhammadiyah dan Nahdlatul ‘Ulama.
Pada masa awal kemerdekaan tahun 1950-an, Departemen Agama RI mulai mendefinisikan konsep bahwa agama, baru akan diakui bila ada elemen Nabi atau sosok yang ditokohkan, kitab suci, konsep ketuhanan dan komunitas internasional. Tentu saja ini membuat kekecewaan di kalangan penganut kepercayaan-kepercayaan minoritas termasuk kebatinan yang banyak pengikutnya di tanah air. Kepercayaan mereka juga memiliki unsur pengaruh Islam dan kepercayaan lain. Sejak penetapan definisi itu, Mereka menjadi pihak yang dihujat karena menistakan agama Islam. Ketetapan No.1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama pertama dikeluarkan Pemerintahan Sukarno pada 27 Januari 1965 guna mengakomodir organisasi-organisasi Islam yang ingin melarang aliran kepercayaan tersebut. Motifnya berhubungan dengan upaya Sukarno mempertahankan kekuasaannya ketika sedang membentuk kabinet Gotong Toyong dalam keadaan darurat.
Kasus penistaan agama di masa Orde Lama yang muncul kemudian dikenakan aturan tersebut. Masjid Agung Kembangkuning Surabaya pernah diserang segerombolan Pemuda Rakyat dan didukung Gerwani pada 1962, seudah kekuatan PKI menguat sejak pemilu 1955. Didukung oleh aparat, mereka dilaporkan menginjak-injak dan membakar Al Quran dan kitab lain dengan sengaja, dan ingin mengubah masjid itu menjadi markas Gerwani, Ini telah memunculkan benturan antara Nahdiyyin NU dan pendukung PKI. Perselisihan juga terjadi antara NU dan PKI saat mereka melakukan pementasan reog, ludruk, dan ketoprak dengan lakon ‘matinya Tuhan’.
Selanjutnya, sastrawan HB Jassin lewat cerpennya ‘Langit makin Mendung’(1968) dianggap telah melecehkan Islam. Walau sudah meminta maaf, ia tetap diadili dan dijatuhi hukuman satu tahun. Ketetapan sementara Sukarno kemudian malah dikuatkan Suharto menjadi UU guna memperkuat posisinya. Karenanya, Indonesia sesudah 1969 ditandai menguatnya wacana baru penistaan agama yang berjalan hingga kini. Seperti ditunjukkan pada masa-masa kemudian, UU penistaan agama menjadi alat ampuh dan motif menghancurkan lawan-lawan politik pihak penguasa. Wacana baku itu juga masih dianggap penting sampai sekarang. Kasus-kasus penistaan agama mengemuka pada masa Soeharto. Misalnya pada 1990 ada kasus Arswendo Atmowiloto yang dianggap menghina nabi Muhammad ketika menyusun survei orang-orang terkenal. Ia dijatuhi hukuman 4 tahun 6 bulan.
Menariknya, aksi-aksi untuk menghadapkan kasus penistaan agama justru meningkat sesudah masa Reformasi digularkan pada 1998. Indonesia bahkan muncul satu dari sedikit negara di dunia yang paling keras menerapkan undang-undang penistaan agama di samping Pakistan. Kasus-kasus penistaan agama yang menonjol antara lain kasus Lia Aminudin yang mengaku Imam Mahdi karena keyakinan menerima wahyu dari malaikat Jibril. Ia dianggap penista agama dan pada 2006 lalu dipenjara selama dua tahun. Teguh Santosa dipenjara karena membuat karikatur bergambar kelompok ISIS dengan lambang tengkorak dan tulisan Arab. Selanjutnya kasus penistaan agama dituduhkan dan dijatuhkan kepada Guberrnur DKI Ahok pada 2006. Selain kasus video Desak Made Darmawati yang menista agama Hindu, selanjutnya ada video Joseph Paul Zang yang telah menantang Polri untuk menangkap dirinya setelah menghina Nabi Muhammad lewat kontennya namun tidak berhasil ditangkap hingga saat ini.
Mohammad Kace sendiri sebenarnya sudah pernah dilaporkan aliansi ulama di Jawa Timur pada April 2021 lalu untuk alasan yang sama. Ia ternyata juga sudah aktif menggunakan saluran Youtube sejak 17 Juli dan memiliki unggahan sebanyak 450. Video-videonya membahas agama dan ditonton dengan ribuan orang. Karena menjadi perbincangan publik dan ucapannya dianggap meresahkan, ia pernah digugat Masyarakat Spiritual Indonesia (Rasi) pada Juli 2020. Video yang digugat Rasi berisi penghujatan pada salah satu kitab fiqih rujukan Nahdlatul Ulama (NU), Safinatun Najah. Dalam video itu Muhammad Kace menyebut kitab itu bukan dari Alquran tetapi karangan. Ia dikecam di sosial media saat menolak sholat sebagai kewajiban umat Islam dan saat membahas isu tentang Nabi dikerubungi jin dan tidak percaya bahwa Rasullullah dekat dengan Allah. Salah seorang pengunjung akunnya (Saul Quino) berkomentar caranya membahas dan menafsirkan Al Quran salah.
Menurut Wakil Ketua Umum Masyarakat Spiritual Indonesia (Rasi), Muntaha Noer terduga penista agama ini telah membentur-benturkan ajaran keyakinan antaragama dan membuat keresahan di masyarakat. Tampaknya ia juga seorang sosok yang suka sensasi. Menurut laporan media, Muhammad Kace juga sempat menggegerkan publik karena ucapannya yang menyebut Pancasila lebih baik daripada rukun Islam. Itu sebabnya banyak yang menuduhnya sebagai duta BPIP, namin kemudian dibantah institusi tersebut.
Menyikapi Penistaan Agama di Era Digital
Harus digarisbawahi bahwa kini dunia sudah berubah. Konten digital mudah menjadi viral dengan cepat. Pertanyaannya, apakah memang konten-konten bisa langsung dicap menimbulkan keresahan dan telah memecahbelah persatuan dan kesatuan bangsa? Menurut banyak ahli komunikasi, penanganan masalah penistaan agama sudah tidak harus menggunakan pendekatan keamanan lagi atau jargon-jargon usang represi Orde Baru sehingga penanganannya tebang pilih.
Menanggapi masalah Muhammad Kace, banyak netizen yang mempertanyakan mengapa kasus-kasus penistaan agama selalu menyasar ke kelompok minoritas saja. Selama ini banyak penista agama dari golongan mayoritas, namun mereka sama sekali tidak tersentuh. Beberapa pernyataan menarik di Twitter sebagai berikut:
“Supaya adil, siapapun penista agama seharusnya wajib ditangkap dan tidak aman-aman saja dilindungi hingga sekarang.”
“Kita sebagai minoritas dianggap kafir dan penista. Tegakkan keadilan bila negeri ini mau damai.”
“Ia sedang celoteh, seharusnya tidak dianggap serius apalagi ke arah pidana. Apakah ada kepentingan di belakangnya?”
Tindakan Muhammad Kace mereka anggap salah dan tidak bisa dibenarkan, tapi banyak yang menyesalkan pakar hukum dan kelompok agama yang hanya bicara kaum dan agamanya saja. Apakah karena reaksi keras datang dari anggota DPR, pemipin partai dan ormas yang ramai-ramai mengadukan sehingga pihak kepolisian terbebani untuk harus mengangkat kasu ini dibanding kasus lain?
Manusia siber modern menganggap penggunaan konten digital bagian kebebasan berekspresi dan tidak mau dikenakan jurispridiksi karena lingkungannya yang siber dan virtual. Konten seperti di youtube, sering dihubungkan dengan ekspresi dan upaya menyalurkan identitas kaum minoritas yang masih direpresi. Mereka menggunakan medium ini untuk mengakomodasi pemikiran yang tidak tertampung. Khususnya soal kepercayaan, subyek ini tidak lagi dianggap nilai absolut dan terbuka untuk perdebatan. Masalahnya juga dianggap sudah masuk ranah pribadi dan personal. Sebagaimana pendapat beberapa pengamat komunikasi, akun-akun youtube, Instagram dan Facebok termasuk di Indonesi sebenarnya sarat dengan debat yang menjurus pada SARA. Banyak jejak digital berisi konten yang bisa dianggap penodaan atau penistaan agama, namun tidak viral atau menjadi sasaran pengaduan. Ini tidak saja ditemui di Indonesia, tapi juga di seluruh dunia sebagai fenomena unik penggunaan media sosial.
Dengan adanya media sosial, sosok pribadi yang narsistis kini mudah bercampur dengan konten yang menjadi komoditi dan mudah menjadi viral seperti halnya kepercayaan. Itu sebabnya konten agama dicari dan menjadi bahan yang bisa dijual untukmenjadikan seseorang terkenal bahkan menjadi selebritas, apapun resiko yang harus dibayar. Dalam konteks ini dapatlah dimengerti bahwa meskipun kasus-kasus penodaan agama di Indonesia memiliki pola-pola yang sama dalam sejarahnya, perlu cara dan pendekatan baru untuk menyiasati era baru ini. Meskipun masih menjadi ketegangan antara pemeluk agama yang berbeda, perseteruan ideologi, kepercayaan alternatif dan kekuasaan menjadi elemen utama. Jadi, sudah saatnya penegak hukum tidak lagi menjadikan ini menjadi wacana kekuasaan semata. Polisi masih dianggap hanya akan bereaksi karena respon masyarakat dan motif di belakangnya. Kepolisian harus berani menerapkan penegakam hukum yang sama kepada siapa saja.
Selama ini polisi dan masyarakat Indonesia dianggap masih tebang pilih dalam menetapkan yang mana penistaan agama dan yang mana yang bukan. Penerapan hukum yang lentur dan tidak standar sengaja digunakan untuk membuka ruang penafsiran yang menguntungkan kelompok tertentu. Menanggapi masalah Mohamad Kace, seorang pegiat media sosial, Denny Siregar menganggapnya tidak perlu dipolisikan. Menurutnya, dihadapkan saja dia untuk berdebat dengan Yahya Waloni dan disaksikan oleh publik. Seorang Youtuber lain, Yusuf Manubulu yang beragama Kristen menyayangkan keputusan MUI yang mengecam dan menganggap Muhammad Kace sebagai penista agama. Menurutnya, MUI sendiri selama ini tidak pernah mengingatkan para tokoh Islam untuk menghargai agama yang lain.
Menariknya, soal sejarah masa lalu Indonesia di masa 1965 juga disinggungnya. Menurutnya, itu menjadi salah satu elemen mengapa persoalan penistaan agama di Indonesia yang kompleks masih terus dihadapi hingga sekarang. Perseteruan ideologi yang melibatkan aparat dan umat Islam terus dibawa hingga sekarang. Menurutnya, di Indonesia orang tidak bisa agnotis atau Ateis karena harus mengikuti agama yang diakui. Sebab kalau tidak, akan merepotkan diri sendiri bahkan dicap sebagai PKI. KUHP juga dianggap masalah besar karena tidak lain merupakan pasal karet. Dalam KUHP itu tidak ada rumusan, pengertian atau kriteria yang jelas untuk mengidentifikasi apakah suatu tindakan dapat disebut penistaan, penghinaan, penghujatan, ketidaksopanan agama atau bukan. Cara-cara pembuktian masih perlu dijelaskan di sini agar jelas mengirim orang ke penjara.
Sekarang, kalau orang di Indonesia dituduh melakukan penistaan agama, makin sulit buat mereka melepaskan diri dengan jerataan Pasal 156a KUHP, apalagi dengan tambahan penerapan juncto UU ITE. Selain itu juga masalah ini sudah masuk dalam Undang-Undang Perlindungan anak di samping UU ITE.
Edukasi
Kasus penistaan agama yang diduga dilakukan Youtuber, apakah Joseph Paul Zhang atau Muhammad Kace seharusnya tidak perlu terjadi jika masyarakat cukup mendapatkan edukasi terkait bahayanya ujaran bernuansa suku, agama, ras dan antargolongan (SARA) yang marak di media sosial (medsos). Apalagi, jika ujaran penistaan agama tersebut dilakukan hanya demi mengejar rating dan penonton di medsos tersebut. Menteri Agama Yaqut menghimbau agar aktivitas ceramah dan kajian agama harus menjadi ruang edukasi dan pencerahan, yaitu meningkatkan pemahaman keagamaan publik terhadap keyakinan dan ajaran agama, dan bukan untuk saling menghina keyakinan dan ajaran agama lainnya.
Bila kasus-kasus penistaan agama masih kerap terjadi, jelas memberikan gambaran bahwa edukasi dan pembinaan instansi terkait masih belum maksimal. Negara harus terus mempromosikan pemajuan kebebasan agama untuk semua. Penetapan dan penguatan undang-undang penistaan agama masih terus dikritik berpotensi menyebabkan kalangan minoritas dikriminalisasiatau didiskriminasi.
Masalah penistaan agama juga memiliki kaitan dengan preseden demokrasi. Menguatnya masyarakt yang intoleran sebenarnya disebabkan karena penegakan hukum yang lemah dan tidak adil. Penting difikirkan, bagaimana pasal-pasal penistaan agama tidak hanya digunakan untuk politisasi identitas kelompok tertentu dan hanya untuk menjebak kelompok lain. Negara tampaknya masih melihat sentimen agama sebagai masalah masif yang mengancam kehidupan berbangsa. Namun begara yang bijak adalah yang tidak lagi reaksioner dan hanya mengejar popularitas. Implementasi dan aplikasi hukum harus sedapatnya meminimalisasi rnuansa politis dan hanya didasari kekawatiran dari tekanan masyarakat mayoritas.
Sudah menjadi tugas Kementerian Komunikasi dan Informasi RI (Kominfo) sigap melakukan screening mencegah perpecahan umat beragama demi mencegah konflik horizontal. Pengamat sekaligus komunikolog politik Tamil Selvan menyatakan bahwa bila kasus-kasus penistaan agama terus terjadi, berarti mereka masih tidak sigap melakukan screening, sehingga menimbulkan kegaduhan di masyarakat. Bagian Penerangan Umum (Kabagpenum) Polri Kombes Ahmad Ramadhan (24/8) sudah menyatakan bahwa pihak Polri terus meminta masyarakat tidak membagi ulang konten video yang meresahkan, karena penyebar dapat dijerat UU ITE. Namun tampaknya, upaya peningkatan edukasi dan peran polisi dalam hal ini harus lebih ditingkatkan dan disesuaikan seiring berhembusnya kultur kebebasan era digital. Pihak kepolisian dituntunt pula untuk lebih sensitif dan adil sebagai refleksi profesionalisme mereka. (Isk – dari berbagai sumber).
Baca juga : Kemenangan Taliban di Afghanistan Jangan Jadi Inspirasi Bagi Teroris di Indonesia