Site icon Info Seputar Muslim

Sikap Frustrasi Masyarakat Atas Penerapan PPKM Darurat Jawa-Bali

Sebagian besar mereka yang merasa frustrasi dan dirugikan adalah rakyat kecil seperti halnya para pedagang kecil. Selain sosialisasi tampaknya kurang berhasil, juga tindakan aparat diketahui banyak yang kaku, keras dan arogan. Penerapan denda yang menyasar pada masyarakat kelas bawah, yakni para pekerja informal telah membuat marah masyarakat luas. Seperti tampak kasus tukang bubur atau mereka yang akhirnya harus memilih dipenjara karena tidak bisa membayar denda yang dikenakan kepada mereka.

Jakarta, 15 Juli 2021. Bagi sebagian orang pemberlakuan PPKM darurat telah memicu perasaan stres bahkan memicu pada perasaan pada situasi awal pandemi Covid-19. Salah satunya adalah muncul ketidakpastian di tengah-tengah semakin lajunya kenaikan kasus-kasus baru. Bermacam-macam hoaks dan wacana seputar PPKM darurat terus-menerus menghantam masyarakat yang sedang terpuruk dan ketakutan itu,  sehingga makin menimbulkan rasa stres dan frustrasi.

Pada hari kedua pelaksanan PPKM darurat di Garut, sejumlah emak-emak pedagang kaki lima sudah melakukan aksi demo untuk melampiaskan rasa frustrasi mereka. Para penjual jalanan itu tampak langsung turun ke jalan mengadang kendaraan petugas gabungan Satgas Covid-19 yang sedang melakukan patroli karena merasa merasa aturan PPKM darurat amat memberatkan mereka.

Lebih jauh lagi, menerapkan beberapa kabupaten dan kota di Sumbar untuk  berstatus PPKM darurat juga ditolak MUI Sumbar lewat pernyataan Ketuanya, Buya Gusrizal Gazahar. Mereka mengkritik soal larangan ibadah berjamaah di tempat ibadah dalam kebijakan PPKM daruat itu. Menurutnya, ini merupakan inkonsistensi bila dibandingkan dengan penerapan kebijakan kerumunan yang diberlakukan di tempat lain.

Skenario perpanjangan PPKM darurat

Salah satu berita yang  juga menjadi simpang siur di kalangan masyarakat adalah munculnya skenario perpanjangan pemberlakuannya PPKM darurat oleh Pemerintah pusat. Ada yang menganggap isu ini sengaja digulirkan sebagai cara memberi peringatan karena masih dijumpainya masyarakat yang belum tertib prokes dan aturan-aturan PPKM Darurat, terutama masih tingginya tingkat mobilitas manusia.

Menurut Ketua JoMan, Imanuel Ebenezer, rencana perpanjangan PPKM yang digulirkan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani telah menimbulkan blunder besar dan kebingungan di kalangan masyarakat. Dia meminta agar tidak ada lagi menteri yang mengeluarkan pernyataan yang meresahkan masyarakat.

Masyarakat yang frustasi tampaknya benar-benar merasakan imbas ekonomi dan sosial semakin besar sejak pemberlakuan kebijakan ini. Masyarakat berpenghasilan mikro dan miskin sesungguhnya merupakan kelompok yang paling terdampak.

Munculnya aksi-aksi penolakan

Dengan alasan-alasan di atas, ajakan untuk melakukan aksi penolakan di beberapa tempat langsung direspon cepat oleh masyarakat seperti mereka, seperti  ajakan pada 15 Juli 2021 di Kediri, atau aksi-aksi serupa di Pasuruan, Bandung dan masih banyak lagi tempat-tempat di pulau Jawa. Rencana penolakan pun juga kemudian muncul di luar Jawa seperti di Ambon misalnya. Di Kediri, pelaksanaan PPKM darurat dianggap sudah mencapai taraf keterlaluan dan dicap telah menyengsarakan masyarakat yakni mereka yang terdampak berjualan, makan, memenuhi kebutuhan dan lain-lain.

Masyarakat melihat semua kebijakan serupa PPKM apapun namanya hanyalah menyusahkan masyarakat. Apalagi ada perlakuan aparat yang arogan,  tidak adanya upaya memikirkan nasib mereka yang nafkahnya tergantung dari kegiatan interaksi dan mobilisasi yang tinggi. Di Surabaya, poster menolak PPKM darurat  juga disebarkan di mana-mana. Penolakan itu disebutkan karena PPKM darurat sudah menindas rakyat kecil. Rencana aksi tersebut tidak mendapatkan izin mengingat bahaya munculnya klaster baru bila ada aksi kerumunan dan diganti dengan audiensi agar suara rakyat bisa didengar.

Slogan-slogan yang tertulis pada poster visual antara lain bertuliskan aneka rasa frustrasi masyarakat sehubungan dengan penerapan PPKM darurat itu. Tertulis misalnya ‘apapun istilahnya, ini namanya karantina kesehatan. Negara harus tanggung kebutuhan rakyat semuanya.’ Soal kewajiban negara atas pemenuhan kebutuhan rakyat ini juga merupakan ekspresi frustrasi yang ditunjukkan oleh seorang netizen yang menyatakan bahwa masyarakat tidak menolak PPKM darurat tapi kalau tanpa disertai logistik mereka yang mencari makan harian harus bagaimana. Jika tidak sanggup sediakan logistik, sebaiknya jangan pamer senjata, alat berat, merampas dagangan dan membentak masyarakat.

Soal pelanggar PPKM darurat yang dipenjara di lapas selama 3 hari juga menjadi sorotan frustrasi masyarakat di media sosial. Sang pemilik kedai kopi yang terbukti melanggar aturan PPKM darurat itu menolak membayar denda senilai Rp 5 juta rupiah dan memilih di penjara. Lebih jauh lagi, seorang netizen menulis “Kalau semua disuruh tutup, kemana pergi nya orang yang tidak mampu, sebagian syukur masih ada WFH dan masih dapat gaji, yg lain gimana? Sudah bantuan dari pemerintah tidak ada, Ya Tuhan Dipukul lagi sama Satpol PP, wanita hamil lagi”.

Komentar tersebut muncul untuk menyikapi tindakan seorang personel Satpol PP yang viral ketika sedang menertibkan warung kopi di Kabupaten Gowa  dimana pemiliknya seorang wanita yang sedang hamil.Seperti sudah diperkirakan, aksi-aksi penolakan telah memancing reaksi masyarakat sehingga menimbulkan kekhawatiran-kekhawatiran dari pihak-pihak terutama pemimpin agama, ulama, DPRD dan Pemerintah. Di beberapa tempat mereka tampak berusaha menghentikannya.

Menurut Ketua Dewan Masjid Kota Kediri Gus Ab (13/7), aksi-aksi tersebut dicap mereka sebagai merugikan, tidak bertanggung jawab dan upaya menentang kebijakan Pemerintah yang merugikan. Aksi pengerahan massa menurutnya seharusnya digantikan dialog.

Frustrasi-Frustrasi Yang Lain

Sikap frustrasi lain juga ditunjukkan masyarakat saat mereka berhubungan dengan ruang rawat rumah sakit rujukan, ketika berhadapan dengan apotik dan penjual gas oksigen, di tempat kerja, maupun di rumah-rumah. Selama PPKM darurat, semua itu menjadi kendala yang membuat masyarakat amat merasa frustrasi dan tertekan. Misalnya ketidaktersediaan obat karena adanya penimbunan pihak-pihak tertentu, atau fasilitas kesehatan yang buruk dan fatal.

Dalam konteks tersebut, masyarakat menyaksikan sendiri adanya ketimpangan-ketimpangan dan ketidakadilan soal hak akses masyarakat yang tidak sebanding dengan kewajiban yang harus mereka taati dalam konteks PPKM darurat itu. Karenanya ketika ada aksi-aksi protes dan penolakan, hal itu dapatlah dipahami.

Lebih jauh lagi, selama ini justru masyarakat makin melihat kenaikan tajam kasus-kasus dibanding masa sebelumnya dan melihatnya sebagai kegagalan penetapan PPKM darurat. Padahal masalahnya tidak harus dilihat sesederhana itu bila masyarakat mendapatkan informasi yang cukup dan memadai.

Pentingnya Komunikasi dan Ssosialisasi

Dalam hal ini, tampaknya upaya pemerintah untuk mampu mengkomunikasikan hal ini kepada masyarakat masih lemah. Sebaliknya, hoaks dan berita-berita yang tidak memiliki kebenaran seringkali justru lebih mendominasi pengaruh besar yang terdapat dalam masyarakat yang antara lain telah menyumbang penolakan dari masyarakat.

Masyarakat sepertinya merasa bosan dengan pemberlakuan prokes yang inkonsisten dan karenanya kemudian mengabaikannya. Mereka hanya patuh bila ada petugas yang mengontrol dan masih lemah kesadaran bahwa prokes juga penting untuk keselamatan diri maupun lingkungannya. Ini tampak dari makin rendahnya penggunaan masker di banyak tempat di Jawa.

Masyarakat juga merasa frustrasi bahwa meskipun testing, tracing dan vaksinasi digembar-gemborkan, namun pemerintah dan aparatnya justru tidak siap menyambut respon positif yang berdatangan dari masyarakat. Yang ada hanya rasa frustrasi. Itu sebabnya mengapa masalah tracing masih jauh dari yang diharapkan dan ditargetkan seperti yang telah diargumentasikan oleh epidemiolog Dicky Budiman dari Griffith University.

Pentingnya respon vital di hulu sudah diketahui oleh masyarakat namun dipertanyakan mengenai efektivitas respon cepat dari pemerintah yang  semakin membuat masyarakat gregetan dan tidak mempercayai Pemerintah.  Sikap yang keteteran dapat dilihat masyarakat di puskesmas, klinik, rumah sakit maupun apotik. Masyarakat melihat masih lemahnya penegakan hukum dan pengawasan pemberantasan praktek penimbunan obat-obatan maupun oksigen selama ini selama PPKM darurat ini, meskipun sudah ada upaya-upaya penanganannya.

Sebagian masyarakat telah diikutsertakan dalam kegiatan tracing (pelacakan kontak erat kasus infeksi) dengan maksud agar dicapai hasil yang masif dan konsekuen. Tapi masyarakat juga mengalami dan kadang membaca di media-media, tentang keluhan nasib relawan tracer yang mengemuka, seperti penundaan uang insentif, pelatihan yang kurang dan tiadanya jamina kerja. Padahal dalam konteks PPKM darurat tantangan mereka jauh lebih berat akibat beredarnya varian baru Covid-19. Selain tracer, para nakes lain termasuk polisi, juga banyak terpapar termasuk meninggal juga menjadi sesuatu yang menggelisahkan masyarakat.

Persoalan Mobilitas

Masih adanya kemacetan di beberapa titik jalan di Jakarta karena serbuan ribuan orang luar Jakarta sebenarnya menunjukkan bahwa sebagian penduduk di Jawa dan Bali tidak ada pilihan lain ketika harus nafkah meski harus melanggar aturan pemerintah.  Karenanya, hanya dengan tersedianya jaminan sosial yang baik seperti yang diterapkan di negara-negara lain hal ini baru bisa mendapat dukungan penuh dari masyarakat. Sebagian orang menganggap bahwa pemerintah memang memiliki kewajiban untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dan tidak hanya menuntut masyarakat agar mematuhi penerapan tanpa kompensasi yang jelas.

Tidak efektifnya sejak dijalankan PPKM darurat jelas memperlihatkan adanya penolakan dan frustrasi dalam masyarakat. Salah satu indikator adalah kepatuhan menggunakan maskeryang  justru menurun. Fenomena abai prokes di banyak tempat di Jawa dan Bali menunjukkan bahwa upaya Pemerintah bermitra dengan masyarakat untuk bersama-sama menghadapi pandemi masih belum menunjukkan kesuksesan.

Penguatan PPKM Darurat dan penanganannya oleh aparat masih dilihat sebagai top-down dan arogansi pembuat keputusan. Masyarakat merasa tidak dianggap sebagai subyek dan mitra, tapi sebagai obyek yang tidak memiliki kekuatan termasuk melakukan protes.

Apalagi masyarakat tidak melihat efek langsung dan justru melihatnya sebagai suatu peningkatan. Seperti diketahui jumlah kasus aktif jubu sudah demikian tinggi.  Per 13 Juli 2021 dilaporkan sudah  407.709 atau kenaikan hampir 27%. Hal ini tampak dari sulitnya menargetkan tracing di kalangan masyarakat yang tidak merasa mempunyai kewajiban termasuk melakkan karantina dan isolasi ketat bila tidak ketahuan. Ada banyak yang enggan untuk melaporkan. Di beberapa tempat, isoman yang dilakukan dalam PPKM Darurat tampak berakibat fatal dengan adanya kematian.

Pendeknya, masyarakat ingin melihat kesungguhan Pemerintah dalam menangani penguatan di hulu, rwemauk peningkatan vaksinasi, tenaga kesehatan yang membantu dan fokus menjalankan tugas dalam membantu para pasien baru.

Rakyat kecil dirugikan

Dapatlah disimpulkan bahwa sebagian besar mereka yang merasa frustrasi dan dirugikan adalah rakyat kecil seperti halnya para pedagang kecil.  Selain sosialisasi tampaknya kurang berhasil, juga tindakan aparat diketahui banyak yang kaku, keras serta arogan. Penerapan denda yang menyasar pada masyarakat kelas bawah, para pekerja informal telah membuat marah masyarakat luas. Seperti kasus tukang bubur, atau mereka yang memilih dipenjara karena tidak bisa membayar denda yang dikenakan kepada mereka.

Menghadapi pandemi sudah merupakan sesuatu yang amat berat dan meyakinkan.  Di lapangan, tidak sedikit aparat yang dilaporkan arogan terhadap masyarakat. Pertama, pandemi telah menyebabkan banyak orang yang kehilangan pekerjaan. Bantuan-bantuan sosial insidental yang diberikan dirasa tidak menjawab pertanyaan untuk kembali berdiri di atas keterpurukan.

Sementara kebanyakan masyarakat tertatih-tatih untuk kembali dapat menyambung hidup dalam suasana ketidakpastian, masyarakat  justru mendengar, menyaksikan dan disajikan berita-berita bagaimana dana-dana sosial dikorupsi besar-besaran justru oleh kalangan elit dan politikus yang dianggap tidak beretika. Masyarakat juga melihat bahwa selama PPKM banyak yang dipolitisasi. Misalnya pengadaan vaksinasi oleh kelompok atau organisasi tertentu yang seringkali dilihat memiliki agenda-agenda politik tertentu.

Secara umum pemerintah  sepertinya lupa untuk menjadikan masyarakat sebagai mitra dan bukan obyek yang tidak didengarkan suara dan jeritan mereka. Hanya dengan kerjasama yang baik dengan mereka sebagai tim, maka PPKM darurat ini akan berhasil, antara lain misalnya dengan mengaca pada pengalaman lockdown di Australia.Kebijakan harus disesuaikan dengan situasi, kondisi dan kultur masyarakat setempat. Sanksi berat yang diterapkan dalam kondisi darurat tentunya akan menjadi beban. Demikian argumen pengamat kepolisian Bambang Rukmanto.

Pejabat dan aparat sebagai masalah

Para pejabat, baik eksekutif dan legistlatif dan aparat tampaknya tidak mencontohkan yang baik bagi masyarakat. Mereka yang melanggar tidak mendapat sanksi ahkan teguran pun tidak. Sementara rakyat kecil yang melanggar dikenai sanksi denda  uang yang tidak atau penjara, padahal mereka miskin. Masyarakat melihat bahwa kebijakan itu bukan diberikan demi keuntungan mereka saja. Di lapangan, masih saja dijumpai berita-berita perlakuan yang kasar, keras dan tidak adil terutama terhadap masyarakat bawah. Kelompok media mencuatkan berita-berita yang makin membuat seru. Misalnya ibu hamil.

Masyarakat melihat ketidakkompakan pemerintah dalam menjalankan PPKM Darurat ini. Contohnya saja soal ketidak konsitenan aturan tentang titik penjagaan perbatasan antar negara dengan penerapan PPKM darurat yang membatasi mobilitas. Selain itu masyarakat melihat sendiri adanya polemik soal perpanjangan PPKM Darurat yang memperlihatkan kebijakan yang sering tidak sinkron dikomunikasikan tidak saja di antara pejabat sendiri namun kepada masyarakat. (Isk – dari berbagai sumber).

Exit mobile version