Pihak kepolisian Indonesia menyatakan bahwa meskipun tidak dikenai sanksi berdasarkan UU ITE dan tidak akan ditahan, kasus dr Lois ternyata tidak gugur di mata Polri. Dengan pasal yang dipersangkakan sesuai UU wabah penyakit, dr Lois masih terancam maksimum 10 tahun penjara, meskipun pemenjaraan itu juga diharapkan menjadi opsi terakhir. Kasus penyebaran hoaks sehubungan dengan Covid-19 dan diperkarakan seperti kasus dr Lois di Indonesia sampai sekarang ini hampir tidak ditemukan di Australia. Bila ada kasus di mana seorang dokter memberikan informasi yang dianggap membahayakan dan menyesatkan tentang kesehatan, seperti halnya di Indonesia akan dilaporkan juga, tidak kepada polisi tapi kepada ikatan profesi terkait. Sanksi yang diputuskan biasanya lebih menyangkut lisensi, pencabutan izin praktek, pengenaan denda dan seterusnya. Pihak kepolisian Australia pada umumnya tidak akan memidanakan seseorang hanya karena menyebarkan informasi kontroversial di media sosial. Setiap warganya dituntut untuk menyadari resiko dan tanggungjawab masing-masing ketika mengkonsumsi konten-konten yang tersedia di internet.
Jakarta, 19 Juli 2021. Salah satu persoalan besar yang dihadapi dalam upaya mensukseskan penanggulangan Covid-19 di Indonesia adalah membendung berita dan posting-posting kategori hoaks tentang Covid-19. Membendung hal itu juga tidak mudah dan kompleks, karena aneka platform media sosial kini telah makin berkembang dan telah memungkinkan anggota masyarakat mudah mem-posting, mere-posting atau menyebarluaskannya kembali tanpa cek silang sebelumnya. Berita-berita kontroversial itu cepat sekali menjadi viral dan mengabrkan batasan-batasan antara berita yang benar dan salah di kalangan masyarakat.
Salah satu kasus yang mengemuka dengan karakteristik ini di Indonesia tak lain adalah kasus dr Lois Owien. Awalnya muncul video pernyataan kontroversial dr Lois Owien tentang pandemi Covid-19. Pernyataannya tersebut langsung menjadi viral, menyebarluas dengan cepat dan di share secara luas dalam masyarakat hingga ribuan kali. Pernyataannya yang kontroversial terekspos luas lewat 3 platform media sosial. Tangkapan layar postingan yang ditayangkan menjadi barang bukti yang diamankan. Ia dianggap telah menghalangi penanggulangan pandemi Corona. Hoaks mengenai pasien Corona meninggal. “Jadi di antaranya, postingannya adalah korban yang selama ini meninggal akibat Covid-19 adalah bukan karena Covid-19, melainkan diakibatkan oleh interaksi antarobat dan pemberian obat dalam 6 macam,” kata Kabag Penum Divisi Humas Polri Kombes Ahmad Ramadhan.
Pendapat masyarakat
Meskipun sebagian masyarakat merasa pemikiran-pemikirannya harus dihargai sebagai ekspresi kebebasan berpendapat, pendapat dr Lois dianggap meresahkan dan menimbulkan kebingungan persepsi di kalangan masyarakat sehingga dilaporkan. Sementara politikus Fahri Hamzah menilai penangkapan dr Lois sebagai pembungkaman yang tidak mendidik, bagi kebanyakan pihak pernyataan dr Lois dianggap tidak ilmiah dan tidak didasarkan fikiran jernih dan rujukan ilmiah yang memadai.
Wakil Ketua Komisi III Pangeran Khairul Saleh meminta polisi menuntaskan kasus dr Lois secara transparan kepada publik. “Kami juga meminta kepada aparat kepolisian agar masalah ini dituntaskan secara transparan karena publik menanti kepastian hukum sehingga tidak menimbulkan kontroversi di masyarakat. Bahkan dapat mengurangi kepercayaan kepada pemerintah yang saat ini sedang gencar-gencarnya menangani masalah Covid ini,” tambahnya. Bagi pemerintah sendiri, munculnya penjelasan dr Lois mengenai Covid-19 ini bertentangan dengan informasi resmi di laman Pemerintah sehingga berpotensi mengganggu upaya penanggulangan pandemi Covid-19.
Pemeriksaan dan Penahanan
Polda Metro Jaya kemudian mengamankan dr Lois dan berkasnya dilimpahkan ke Mabes Polri. Menurut Kapolda Metro Jaya Irjen Fadil Imran (12/7), dr Lois dilaporkan berkaitan dengan pelanggaran UU Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular. Dr Tirta bertindak sebagai saksi. “Laporannya bukan ITE. Jadi saya sama IDI statusnya saksi ahli,” katanya. “Setahu saya sih ketika wawancara saksi ya setahu saya kalau nggak salah menyebarkan informasi yang bisa menghambat penanganan wabah. Jadi kalau nggak salah kena UU wabah yang intinya menghalangi penanganan wabah di Indonesia,” jelas dr Tirta.
Setelah pemeriksaan mendalam, polisi kemudian memutuskan tidak menahan dokter Lois. Ada sejumlah hal yang menjadi dasar pertimbangan tidak dilakukannya penahanan terhadap dokter Lois. Menurut penyidik, dokter Lois berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya dan tidak akan menghilangkan barang bukti. Selain itu, dr Lois tidak akan melarikan diri. “Saya memutuskan untuk tidak menahan yang bersangkutan, sesuai dengan konsep Polri menuju Presisi yang berkeadilan,” kata Direktur Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri Brigjen Slamet Uliandi.
Dokter Lois juga meminta maaf karena pernyataannya telah membuat kegaduhan. Ia merujuk pada pernyataan bahwa ‘kematian yang terjadi di luar sana bukan karena Covid-19, namun interaksi antarobat’. Dalam pemeriksaan, dr Lois mengaku salah karena pernyataannya soal Covid-19 tidak berlandaskan riset. “Segala opini terduga yang terkait Covid-19, diakuinya merupakan opini pribadi yang tidak berlandaskan riset. Ada asumsi yang ia bangun, seperti kematian karena Covid-19 disebabkan interaksi obat yang digunakan dalam penanganan pasien,” ujar Brigjen Slamet Uliandi (13/7).
“Kemudian, opini terduga terkait tidak percaya Covid-19, sama sekali tidak memiliki landasan hukum. Pokok opini berikutnya, penggunaan alat tes PCR dan swab antigen sebagai alat pendeteksi Covid-19 yang terduga katakan sebagai hal yang tidak relevan, juga merupakan asumsi yang tidak berlandaskan riset.” tambahnya. Meskipun ia dipulangkan dan tidak ditahan, kasus hoaks nya ternyata masih tetap berjalan. Dirtipidsiber Bareskrim Polri Brigjen Slamet Uliandi juga menyebutkan bahwa Polri akan terus memantau dr Lois.
Kabareskrim Agus menegaskan bahwa status tersangka dr Lois tidak gugur. “Sesuai pasal yang dipersangkakan kepada yang bersangkutan,” ucapnya. Apalagi kasus hoaks nya seperti dilaporkan media massa telah memakan korban. Beberapa berita di media menunjukkan kaitan antara kematian beberapa pasien Covid-19 dengan pendapat kontroversial dr Lois itu. Hoaks soal bahaya interaksi obat yang disebarkan oleh dr Lois Owien ‘memakan korban’. Seorang warga Depok bernama Helmi Indra menceritakan kisah ayahnya yang meninggal setelah termakan hoaks terkait Corona dari dr Lois.
Komjen Agus Andrianto menyebut dr Lois ditetapkan dengan status tersangka dan akan dijerat dengan pasal berlapis. Jeratan pasal itu membuat dr Lois terancam hukuman penjara maksimal 10 tahun. “Pasal 28 ayat (2) jo Pasal 45A ayat (2) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan/atau Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 dan/atau Pasal 14 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 dan/atau Pasal 14 ayat (1) Undang-undang Nomor 4 Tahun 1984 dan/atau Pasal 15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana,” imbuh Agus.
“Dokter Lois ditetapkan sebagai tersangka tindak pidana menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) dan/atau tindak pidana menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong dengan sengaja menerbitkan keonaran di kalangan rakyat,” ujar Komjen Agus (12/7/2021).
“Dan/atau tindak pidana dengan sengaja menghalangi pelaksanaan penanggulangan wabah dan/atau tindak pidana menyiarkan kabar yang tidak pasti atau kabar yang berkelebihan atau yang tidak lengkap, sedangkan ia mengerti setidak-tidaknya patut dapat menduga bahwa kabar demikian akan atau mudah dapat menerbitkan keonaran di kalangan rakyat,” sambungnya.
Menyalahi Kode Etik Kedokteran
Pihak Polri memberikan catatan bahwa Dr Lois dapat diproses lebih lanjut oleh Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) yakni otoritas profesi kedokteran karena mengakui perbuatannya tidak dibenarkan secara profesi. Pernyataan dr Lois selaku orang yang memiliki gelar dan profesi dokter dianggap tidak memiliki pembenaran secara otoritas kedokteran dan publikasinya di media sosial telah membangun asumsi tertentu.
Pihak MKEK menyatakan pendapat dr Lois tidak mewakili dokter-dokter di IDI. Ikatan Dokter Indonesia (IDI) juga menyayangkan tindakan dr Lois yang menyebar hoaks Covid-19. Berkaca Kasus dr Lois, IDI mengingatkan Kode Etik Dokter harus diperhatikan semua dokter. Mereka diminta bijak bermedia sosial agar tidak melanggar etika profesi.
Prof Zubairi Djoerban dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI) khawatir pernyataan hoaks Covid-19 dr Lois terlanjur menyebar luas dan menjadi disinformasi di masyarakat. “Ketika isunya melenceng dan jadi trending, maka yang ikut meluas juga disinformasinya,” sambung Prof Zubairi. Zubairi mengapresiasi respons cepat aparat yang menangani kasus dr Lois.
Kedepankan Keadilan Restoratif
Meskipun demikian, Slamet. Polri akan mengedepankan upaya preventif keadilan restoratif (restorative justice) agar permasalahan opini seperti ini tidak menjadi perbuatan yang dapat terulang di masyarakat. Menjebloskan dr Lois ke penjara menurutnya merupakan upaya terakhir dalam penegakan hukum (ultimum remidium).
Jelaslah mengapa UU ITE sepertinya tidak diterapkan pada kasus ini. Seperti telah diketahui, penyebar informasi palsu atau hoaks terkait dengan Covid-19 sebenarnya sudah ditetapkan Pemerintah akan mendapat hukuman penjara dan denda miliaran rupiah. Menurut Menkominfo Johnny Plate, aparat hukum telah diberikan wewenang menangkap pada aktor penyebarnya.
Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) menyebutkan “Setiap Orang dengan sengaja, dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik”. Jika ditemukan adanya indikasi pelanggaran terhadap pasal tersebut, maka mereka dapat dikenakan sanksi sesuai dengan Pasal 45A ayat (1) UU ITE.
Di dalam pasal itu disebutkan bahwa “Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1 miliar”.
Bagaimana Dengan Australia?
Seperti halnya di Indonesia, Pemerintah Australia juga selalu berusaha menyiapkan informasi-informasi resmi, termutakhir dan terpercaya tentang Covid-19 bagi masyarakat luas di samping banyak beredarnya opini-opini yang menyesatkan. Informasi yang disediakan, dijamin terpercaya karena didasarkan data, sain serta masukan ahli kesehatan dan epidemiologis. Tujuannya untuk menangkal bermacam-macam opini pendapat kontroversial di media massa maupun media sosial.
Selain itu, data yang dimunculkan tampak juga sangat menaruh perhatian pada aspek dan dimensi lokal Australia. Lebih jauh lagi, informasi disajikan secara komunikatif dan tersedia dalam berbagai format termasuk media sosial maupun online. Dengan cara ini pemerintah berharap bisa memenangi rivalitas informasi tandingan dari sumber-sumber lain.Dengan menanamkan kepercayaan publik terhadap informasi Pemerintah itu, masyarakat diharapkanbisa patuh dengan garis kebijakan yang berlaku.
Kasus penyebaran hoaks berhubungan dengan Covid-19 yang diperkarakan seperti kasus dr Lois sampai sekarang hampir tidak ditemukan di Australia. Bila ada kasus di mana seorang dokter memberikan informasi kesehatan yang dianggapkan membahayakan dan menyesatkan, tetap akan dilaporkan namun selain kepada ikatan profesi terkait, tidak kepada polisi seperti halnya di Indonesia.
Asosiasi profesi semacam IDI Australia akan meneliti kasus tersebut. Sanksi yang diputuskan lebih menyangkut lisensi, pencabutan izin praktek, pengenaan denda dan adminstratif lainnya. Pihak kepolisian di Australia umumnya tidak akan memidanakan seseorang hanya karena menyebarkan informasi kontroversial di media sosial. Setiap warganya dituntut menyadari resiko dan tanggungjawab masing-masing ketika mengkonsumsi konten-konten di internet.
Bila pihak IDI di Indonesia menyidangkan anggotanya dan juga menyambut baik anggotanya diproses kepolisian, di Australia yang menganut sistem‘self regulated’ ,mengusahakan agar mereka menyelesaikan masalah mereka di lingkungan profesi sendiri terlebih dahulu tanpa melibatkan pihak lain termasuk aparat penegakan hukum. Pendeknya, tidak dikenal adanya pengenaan Undang-Undang semacam ITE Indonesia di Australia. Seorang dokter dibolehkan menyatakan pendapat persoanl perihal kesehatan termasuk pandemi Covid-19 dan bila tidak sesuai dengan etik profesi akan diproses oleh kelompok mereka sendiri.
Bahwa pendapat seseorang di internet telah menimbulkan rasa kebencian, permusuhan atau keonaran di kalangan masyarakat di Australia harus dibuktikan secara konkrit dan tidak subyektif. Hal ini tampaknya akan sulit sekali dilakukan. Namun bila seseorang dengan nyata-nyata melakukan tindakan yang berlawanan dengan UU Karantina, misalnya tidak menggunakan masker atau mengindahkan aturan lockdown, polisi dapat menjatuhi sanksi kepada mereka.
Lebih jauh lagi, bila tindakan dokter yang dimaksud sesudah menyebarkan pendapat pribadi kemudian jelas terbukti telah menyebabkan kematian seseorang barulah ia menjadi delik aduan dan munculnya kasus pidana, Dalam hal ini intervensi aparat kepolisian baru dibenarkan untuk masuk.
Pihak kepolisian Indonesia menyatakan bahwa meskipun tidak dikenai sanksi berdasarkan UU ITE dan tidak akan ditahan, kasus dr Lois ternyata tidak gugur di mata Polri. Dengan pasal yang dipersangkakan sesusai UU wabah penyakit, dr Lois masih terancam maksimum 10 tahun penjara, meskipun pemenjaraan itu juga diharapkan menjadi opsi terakhir. (Isk – dari berbagai sumber).