Aparat penegakan hukum dan pemerintah daerah di Indonesia tampaknya harus melakukan cara-cara secara simultan dan inovatif untuk upaya-upaya mensukseskan kebijakan PPKM Darurat, baik lewat lisan, tulisan maupun sanksi-sanksi denda sanksi administratif. Banyak kalangan di masyarakat yang masih mempertanyakan apakah denda jutaan rupiah kepada para pedagang yang melanggar PPKM darurat memang benar-benar efektif dan mampu membuat mereka jera. Sementara itu, sanksi-sanksi terhadap perusahaan-perusahaan tingkat menengah ke atas sudah seharusnya diterapkan dengan tegas karena informasi sanksi Pemerintah oleh pengusaha besar diterima dengan mudah tapi tidak oleh pelaku skala kecil.
Tantangan aparat penegak hukum di Indonesia adalah mencari cara-cara bagaimana mengubah persepsi masyarakat bahwa kebijakan menyangkut pandemi ajang baru mendapatkan kekuatan politis dan korupsi di lapangan bagi para penegak hukumnya.
“Dalam kondisi ramai seperti saat ini memang dibutuhkan kebijaksanaan dari pemerintah untuk melepaskan keruwetan. Namun tidak bisa semua disamaratakan. Kebijakan harus disesuaikan dengan situasi, kondisi dan kultur masyarakat setempat. Sanksi berat yang diterapkan dalam kondisi darurat tentunya akan menjadi beban.” Demikian argumen Bambang Rukmanto menilai sanksi apa yang terbaik bisa diterapkan.
Jakarta, 12 Juli 2021. Pemberlakukan PPKM darurat di Jawa dan Bali dalam periode 2 sampai 20 Juli 2021 bertujuan memutus rantai penularan Covid-19. Baru-baru ini Pemerintah juga telah memperluas cakupan PPKM Darurat ini hingga ke luar Jawa-Bali. Dikatakan bahwa 15 wilayah di luar Jawa-Bali akan memberlakukan PPKM darurat pula mulai 12-20 Juli. Di antara wilayah-wilayah tersebut adalah Pontianak, Singkawang, Berau, Balikpapan, Bontang, Batam, Tanjung Pinang, Bandar Lampung, Mataram, Sorong, Manokwari, Bukittinggi, Padang, Padang Panjang, dan Medan.
Kebijakan ini esensinya adalah bagaimana membatasi mobilitas pergerakan manusia dengan melarang munculnya kerumunan dan kontak langsung yang menjadi titik rawan penularan Covid-19. PPKM Darurat di Indonesia ini dianggap sukses dan berhasil bila tingkat transmisi Covid-19 pada masa akhir ditetapkan menunjukkan angka penurunan yang berarti. Perkembangan selanjutnya adalah pandemi yang dapat lebih terkontrol dan tertangani dari sebelumnya.
Aturan Sanksi
Dirlantas Polda Metro Jaya Kombes Sambodo Purnomo Yogo menyebutkan sanksi pidana diterapkan bagi kantor yang melanggar ketentuan PPKM Darurat ini, sesuai Undang-Undang soal wabah penyakit. Secara khusus jerat pidana bisa diterapkan kepada Kantor non esensial yang tetap melakukan work from office. Pihak yang akan dimintai pertanggungjawaban adalah Manajer dan Direktur dari perusahaan tersebut.
Dua jenis penindakan yang akan diberlakukan selama PPKM Daruat adalah yustisi dan penyidikan yang masuk tindak pidana. Pelakunya terancam satu tahun penjara dan tidak ada denda bila terbukti. Mereka yang ketahuan melakukan pelanggaran akan langsung ditindak petugas tanpa disertai peringatan pertama atau kedua. Mereka langsung dianggap menghalang-halangi upaya penanggulangan wabah penyakit.
Berita-berita baik di media massa maupun media sosial memperlihatkan upaya-upaya legitimasi atas penerapan sanksi. Disebutkan bahwa kerja aparat penegakan hukum tidak akan ada artinya bila masyarakatnya sendiri tidak mematuhinya. Mengajak pemuka agama dan masyarakat untuk mempengaruhi sikap masyarakat juga menunjukkan bahwa kinerja aparat akan sia-sia dan tidak efektif bila dukungan dari mereka tidak didapat secara holistik.
Ketua Fraksi Golkar DPRD DKI Jakarta, Basri Baco mengingatkan kepada semua pihak agar saling membantu menuntaskan pandemi Covid-19. Dia meminta warga bekerja sama dengan aparat agar PPKM darurat bisa menekan kasus-kasusnya. “Kita harus bersatu dan bersama dengan aparat dan pemerintah agar ini bisa selesai. Perlu kerja sama dan kesadaran masyarakat yang tinggi agar PPKM darurat ini berhasil.”
Penerapan teguran, denda dan hukuman
Persoalannya adalah seberapa efektif dan efisien sanksi, peringatan, denda dan hukum itu diterapkan. Apakah ada cara-cara tentu yang perlu diterapkan agar kepatuhan masyarakat terhadap PPKM Darurat benar-benar meningkat dan sesuai dengan harapan? Yang jelas, petugas pengawas ketenagakerjaan setempat di berbagai tempat Indonesia telah bekerja memeriksa dan melakukan penegakan sanksi terhadap perusahaan yang dianggap mangkir dalam mendukung efektivitas PPKM darurat mengendalikan pandemi Covid-19.
Polda Jawa Barat dan jajarannya, sampai dengan tanggal 10 Juli 2021 lalu dilaporkan sudah melaksanakan operasi yustisi dengan sanksi terdiri dari sanksi lisan, tertulis, sosial dan fisik. Selain itu terdapat pula kegiatan Tipiring. Sebanyak 7976 sanksi lisan, 7.850sanksi tertulis, 14.572 sanksi sosial dan 9.714 sanksi fisik telah diterapkan. Selain itu,sanksi Tindak Pidana Ringan (Tipiring) mencapai 1.176. Total jumlah denda yang terkumpul sebesar Rp334.475.000. Demikian penuturan Kombes Polisi Erdi Adrimulan Chaniago.
Berdasarkan evaluasinya, dengan penerapan operasi dan sanksi, pergerakannya dari hari ke hari memperlihatkan pengurangan pelanggaran kegiatan PPKM Darurat. Selain di Jawa Barat, tampak banyak berita di daerah-daerah di mana pedagang kecil di pasar-pasar dikenai sanksi tipiring. Kasus-kasus di berbagai tempat tersebut tampak juga berbeda termasuk penekanan sanksi-sanksinya. Mereka dianggap melanggar prokes saat PPKM Darurat diterapkan sesudah operasi-operasi dari petugas gabungan melancarkan penertiban. Di beberapa tempat, pemerintah daerahnya sudah sejak awal menyatakan tidak memberlakukan sosialisasi tapi langsung penindakan tegas bagi pelanggarnya.
Penegakan Berbeda-Beda
Penegakan sanksi tersebut tampak tergantung aturan dan karakteristik daerah masing-masing. Di Surabaya, sanksi yang berat diterapkan terhadap para pelanggar PPKM darurat. Sedangkan di Bekasi tidak ada sanksi pidana yang diterapkan Pemdanya, meskipun kepatuhan aturan tetap ditegakkan terhadap perusahaan dan perkantoran. Walaupun mereka ingin sekali menerapkan sanksi denda, Yogyakarta tidak dapat menerapkan hal itu guna mendisiplinkan masyarakat. Menurut Kepala Satpol PP DIY Noviar Rahmad, penerapan denda tidak bisa serta merta dilakukan karena tidak ada payung hukum bagi sanksi tersebut.
Menteri Dalam negeri (Mendagri) Tito Karnavian telah menyatakan bahwa sanksi bagi pelanggar PPKM Darurat diterapkan berdasarkan Undang-Undang termasuk peraturan daerah yang memang disusun daerah masing-masing sesuai dengan local wisdom daerah masing-masing. “Untuk level pelanggaran yang relatif rendah, misalnya tidak memakai masker, ada perda yang sudah disepakati dengan DPRD. Ini dapat dikenakan sanksi pidana. Baik denda, sanksi kurungan,” jelasnya.
Pelanggaran dan sanksi terhadap PPKM daerah di Indonesia jelas amat beragam dan bervariasi, ditentukan oleh gaya dan karakteristik di daerah. Apakah sanksi itu keras dan efektif, semua itu jelas harus dilihat dari sudut pandang daerah masing-masing. Persoalannya adalah apakah mereka konsisten dan adil dalam menerapkan Undang-Undang yang berlaku. Membaca berita-berita penerapan sanksi, seperti teguran, denda dan hukuman pidana di Indonesia memperlihatkan kompleksititas dan kekayaan nuansa dibanding negara lain, misalnya Australia. Meskipun terdapat kebijakan Federal dan negara bagian, dalam soal sanksi (peringatan, denda dan hukuman) bagi pelanggar Lokdown di Australia diterapkan secara langsung, konsisten dan efisien.
Kebijakan Lockdown Australia dan Komparasi Dengan Indonesia
Sejak awal pandemi, Pemerintah Australia telah menyadari bahwa penerapan sanksi hukum tersebut harus jelas dan tidak longgar bila ingin agar masyarakat mau mentaati regulasi lockdown yang diterapkan. Konsistensi penegakan hukum ini amat jelas dijalankan. Misalnya, ketika beberapa pejabat tinggi pembuat keputusan justru melanggarnya, tanpa tedeng aling-aling mereka langsung dikenakan teguran dan sanksi denda oleh penegak hukum atas nama demokrasi. Perlu digarisbawahi bahwa salah satu perbedaan yang mencolok antara Indonesia maupun Australia dalam menyikapi pandemi covid-19 ini adalah mengenai kesadaran masyarakatnya berkooperatif sebagai mitra Pemerintah dan aparat kepolisian.
Masyarakat tidak ditempatkan atau tidak sudi ditempatkan secara subordinat di bawah penegak hukum. Karenanya mereka tidak segan-segan melaporkan adanya pelanggaran peraturan yang dinilai sebagai membahayakan diri sendiri maupun masyarakat luas yang menjadi target kebijakan lockdown itu. Karenanya, walaupun mereka tahu yang melakukan pelanggaran adalah seorang pejabat penting namun terbukti menyalahi prokes selama lockdwn, mereka tetap dilaporkan kepada polisi lokal setempat yang kemudian melakukan penindakan sanksi denda tinggi. Selain permintaan maaf pejabat publik kepada masyarakat kemudian dibeberkan dan disiarkan dalam media massa, Wakil Perdana Menteri Australia yang melanggar itu juga menyatakan penyesalannya dan menujukkan telah membayar denda sesuai Undang-Undang yang berlaku.
Masyarakat Australia, dengan atau tanpa kehadiran polisi, sudah memiliki kesadaran kolektif yang besar untuk pemenuhan aturan Lockdown. Yang terjadi di Indonesia masih sebaliknya. Seorang anggota masyarakat terkemuka setingkat DPR pun masih melakukan pelanggaran dan tidak merasa malu. Media memberitakan seorang anggota DPR dari Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) Guspardi Gaus enggan menjalankan karantina mandiri usai tiba dari Kirgistan. Aparat pun juga tidak memberlakukan sanksi apa pun. Kasus membebaskan Guspardi dari sanksi mencerminkan teladan yang buruk dari kalangan elit. Logikanya, ,enurut Isnur dari YLBHI bagaimana masyarakat akan bisa diatur bila contoh teladan pemerintah dan elite politik tidak ada dalam kebijakan nasional yang penting ini.
Dapat dimengerti tidak sedikit dari anggota masyarakat di Indonesia ingin meniru ulah tidak benar pejabat karena hukum tidak harus diterapkan bagi semua orang. Ini adalah contoh tidak adanya konsistensi dan kedisiplinan penegak hukum maupun sanksinya. Karenanya, masyarakat menjadi enggan menuruti permintaan agar mau menyadari daruratnya pandemi ini. Lebih jauh lagi, seperti diungkap Eka Afrina Djamhari dari Program Officer Perkumpulan Prakarsa, banyak Satgas penanganan Covid-19 di tingkat RW di Indonesia yang masih belum paham tentang PPKM Darurat ini. Dengan tingkat pendidikan dan pengalaman masyarakat yang berbeda, merupakan suatu tantangan tersendiri meminta masyarakat agar sadar dan mentaati hukum ini
Pejabat dan elit Politik sebagai model
Tidak seperti halnya di Australia, arogansi aparat hukum di Indonesia tampaknya masih diprotes seperti yang dikemukakan berita-berita di media Indonesia selama ini. Banyak kalangan masyarakat yang tidak mematuhi aturan tersebut karena menganggap tidak semua aparat mematuhi dan tidak dikenakan sanksi, termasuk kedisiplinan mereka mengikuti Prokes, menggunakan masker dan seterusnya. Bahkan kalangan media juga telah mengangkat persoalan perbedaan antara sanksi pelanggaran PPKM Darurat yang diterapkan pihak kepolisian dengan Satpol PP yang disebutkan memiliki cara yang berbeda dalam membrikan sanksi. Sanksi-sanksi yang diberlakukan ini dianggap keras dan tidak peduli, di mata mereka jelas dianggap arogansi dan bukan kerjasama kemitraan yang harmonis dan humanis seperti yang digembar-gemborkan.
Sebagian masyarakat sebenarnya ingin juga ikut aktif mendorong anjuran agar melaporkan pelanggar-pelanggar dan identitas mereka dijamin. Namun ternyata isu-isu kebocoran data identitas pelapor atau whistle bowlers di Australia masih ada, seperti tampak pada aplikasi JAKI di DKI Jakarta. Belajar dari negara lain seperti Australia, efek jera yang efektif justru bisa tercapai bila mereka yang melanggar aturan seperti seorang pejabat justru diperlihatkan dengan transparan sehingga terlihat bagaimana proses hukum dan sanksi merupakan standar penegakan hukum yang adil.
Di Australia, Pemerintah dengan efektif dan efisien menggunakan teknik komunikasi dan informasi prima untuk menjelaskan dasar hukum pelanggaran Lockdown. Dengan demikian, tidak ada alasan tidak mentaatinya. Sebaliknya, di Indonesia, khususnya dalam konteks PPKM darurat, informasi tentang pelanggaran tidak selalu berarti diketahui secara merata. Itu sebabnya muncul istilah-istilah sosialisasi dan diseminasi informasi. Ini tampak jelas dari masih seringnya orang mengingatkan untuk membantu menyebarluaskan informasi tentang pelanggaran PPKM terutama kepada masyarakat menengah ke bawah. Mereka beralasan bahwa ‘agar lebih banyak yang tahu dan semakin sedikit yang akan terkena razia maupun sanksi karena ketidaktahuan.’
Itulah sebabnya pemberian sanksi yang berat kepada masyarakat bawah yang harus bekerja demi memenuhi kebutuhan sehari-harinya dikritik dan diprotes. Ini dianggap bertentangan dengan semangat penegakan hukum yang manusiawi. Dalam kasus tukang bubur yang didakwa melanggar aturan PPKM di Tasikmalaya misalnya. Salwa Hidayat dijerat Pasal 34 ayat (1) juncto Pasal 21 I ayat (2) huruf f dan g Perda Jabar Nomor 5 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Ketenteraman, Ketertiban Umum, dan Perlindungan Masyarakat. Penjual makanan itu divonis Rp5 juta atau subsider kurungan 5 hari penjara oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Tasikmalaya. Sidang itu dilaporkan untuk memberikan efek jera pelanggar agar mematuhi aturan PPKM Darurat.
Sangat ironis penerapan keras terhadap kelas bawah di Indonesia justru memberikan efek negatif terhadap dunia usaha menengah dan kecil yan tergantung pemasukan harian seperti Salwan. Bila mereka tidak bekerja, sebagaimana juga para pekerja musiman, mereka tidak mampu memenuhi kebutuhan sehari-hari. Bagi pengamat ekonomi, selama pemerintah tidak memenuhi kebutuhan masyarakat sesuai UU No. 6 tahun 2018 tentang kekarantinaan kesehatan, akan ada perlawanan dari masyarakat. Betul PPKM Darurat itu penting untuk saling menjaga kesehatan keselamatan semua orang.Tapi ini urusan perut orang kecil yang tidak sama nasibnya dibanding mereka yang mampu. Hal-hal seperti ini mestinya juga harus difikirkan Pemerintah, terutama dalam penerapan sanksi untuk pekerja non formal yang nasibnya tidak menentu selama pandemi ini.
Bila ternyata masih ada aparat kepolisian yang mendesak pedagang untuk tutup warung karena aturan PPKM darurat namun ikut membantu ganti rugi seperti di Yogyakarta, maka tinakan aparat seperti ini yang perlu dipuji masyarakat. Inovasi personel kepolisian seperti ini harus diapreasiasi karena menyejukkan dan berpotensi meningkatkan kesadaran dan kepatuhan masyarakat. Penerapan sanksi yang hanya berlaku ketika dilihat langsung petugas patroli, sementara bila tidak kelihatan, sanksi tidak berjalan, merupakan masalah besar bagi Indonesia. Menurut pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies Bambang Rukminto, ketidakkonsistenan penegakan aturan selama ini telah membuat masyarakat tidak selalu mempercayai aparat.
Perlu kesadaran kolektif
Di Australia kehadiran patroli kepolisian tmpak sangat minimal karena kesadaran kolektif mengikuti lockdown secara bersama sudah berjalan dengan baik dan terkontrol. Meskipun regulasi di Australia menyebutkan pelanggar lockdown dapat dipenjara, namun selama ini, baru sanksi denda yang efektif diberlakukan. Hal ini tentu menggaungkan pendapat Muhammad Isnur dair YLBHI tentang pemidanaan sebagai langkah terakhir dalam suatu negara yang sistem hukum telah berjalan seperti halnya di Australia. Ketua Bidang Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur menyatakan negara tidak boleh sembarangan menghukum masyarakat. Pendekatan pidana hanya cara paling terakhir karena di masa pandemi ini tidak tepat memidanakan orang. Proses pemenjaraan harus dihindari lantaran penjara akan menjadi sarana klaster baru. Sebenarnya orang lebih takut dengan sanksi administrasi.
Di Australia, cara-cara efektif sosialisasi dan informasi dilakukan dengan gencar lewat iklan-iklan layanan masyarakat di TV, maupun media massa serta laman-laman online maupun sosial media pemerintah. Aparat penegakan hukum dan pemerintah daerah di Indonesia tampaknya harus melakukan cara-cara secara simultan dan inovatif untuk upaya-upaya mensukseskan kebijakan PPKM Darurat, baik lewat lisan, tulisan maupun sanksi-sanksi denda sanksi administratif. Banyak kalangan di masyarakat yang masih mempertanyakan apakah denda jutaan rupiah kepada para pedagang yang melanggar PPKM darurat memang benar-benar efektif dan mampu membuat mereka jera. Sementara itu, sanksi-sanksi terhadap perusahaan-perusahaan tingkat menengah ke atas sudah seharusnya diterapkan dengan tegas karena informasi sanksi Pemerintah oleh pengusaha besar diterima dengan mudah tapi tidak oleh pelaku skala kecil.
Tegas, Humanis dan Sesuai Dengan Situasi Daerah
Empat opsi sanksi yang bisa diberikan, mulai dari teguran, teguran tertulis, penghentian usaha sementara, sampai pembekuan usaha harus diterapkan dengan tegas namun juga bijaksana. Gubernur Jawa Barat Ridwal Kamil meminta agar sanksi dan denda terhadap pelanggar PPKM darurat agar lebih manusiawi. Masyarakat menilai jika tukang bubur ditindak dengan sanksi yang keras, maka mengapa pegawai restoran di mal tidak bisa diproses hukum?
Di Australia, masyarakat mau mentaati aturan pemerintah membatasi pergerakannya selama Lockdown, karena hak kebutuhannya dicukupi secara pasti oleh Pemeirntah. Bahkan dengan penerapan kebijakan semacam ‘Jobkeeper’, pemerintah Australia berkomitmen membantu perusahaan-perusahaan termasuk yang kecil menggaji stafnya asalkan mereka mematuhi aturan ketat lockdown. Apakah selain bansos insidental hal ini juga mampu diterapkan di Indonesia?
Tantangan aparat penegak hukum di Indonesia adalah mencari cara-cara bagaimana mengubah persepsi masyarakat bahwa kebijakan menyangkut pandemi ajang baru mendapatkan kekuatan politis dan korupsi di lapangan bagi para penegak hukumnya. “Dalam kondisi ramai seperti saat ini memang dibutuhkan kebijaksanaan dari pemerintah untuk melepaskan keruwetan. Namun tidak bisa semua disamaratakan. Kebijakan harus disesuaikan dengan situasi, kondisi dan kultur masyarakat setempat. Sanksi berat yang diterapkan dalam kondisi darurat tentunya akan menjadi beban.” Demikian argumen Bambang Rukmanto menilai sanksi apa yang terbaik bisa diterapkan. (Isk – dari berbagai sumber).