Langkah-langkah dan dasar kebijakan Australia mewajibkan penggunaan sertifikat digital status vaksinasi Covid-19 bagi penduduknya adalah didasarkan pencapaian target vaksinasi yang tinggi sebagai kunci bagi suksesnya penanganan pandemi Covid-19 yang adil dan tidak diskriminatif. Selain ketersediaan infrastruktur teknologi yang mampu menjaga keamanan aplikasinya, sisi penggunaan yang dibuat efisien dan efektif bagi semua warga status juga memegang peran kunci yang tidak kalah pentingnya. Selain pemerintah sendiri, pihak pelaku usaha akandiberi keleluasaan untuk secara fleksibel menerapkan kebijakan soal kewajiban memperlihatkan status vaksinasi seseorang. Hal ini hanya dapat dilakukan sepanjang target vaksinasi menyeluruh terhadap populasi dewaasa sudah paling tidak hingga mencapai 90%.
Jakarta, 27 September 2021. Bukti sudah melakukan vaksinasi Covid-19 berupa sertifikat kini dijadikan syarat wajib untuk melakukan aktivitas di Indonesia dalam masa pandemi Covid-19. Namun kebijakan ini banyak dituduh sebagai bentuk dan alat diskriminasi terhadap masyarakat karena implikasinya dalam membeda-bedakan penduduk berdasarkan status vaksinasi mereka. Akses dengan sertifikat vaksin Covid-19 sama sekali bukan bentuk diskriminasi dan konspirasi. Demikian jelas Ketua Satgas Penanganan Covid-19 Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Zubairi Djoerban. Akses tersebut menurutnya penting guna melindungi kesehatan karyawan dan pengunjung mal atau kafe dari berbagai potensi terpapar oleh Covid-19. Selain itu juga merupakan bentuk kepatuhan atas aturan yang ditetapkan Pemerintah.
“Ada yang anggap akses dengan sertifikat vaksin adalah bentuk diskriminasi dan konspirasi. Itu bukan diskriminasi apalagi konspirasi. Aturan ini bertujuan mengedukasi masyarakat agar mengikuti vaksinasi Covid-19 yang saat ini sudah mudah didapatkan.” Jelasnya. Pendapat yang sama juga dilontarkan Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko yang menyatakan tidak ada niatan Pemerintah mendiskriminasi warga karena bukti vaksinasi Covid dijadikan sebagai syarat wajib untuk sejumlah aktivitas. “Nggak ada negara melakukan diskriminasi. Sama sekali tidak ada karena semua warga negara memiliki hak yang sama. Tetapi karena keterbatasan vaksin, yang belum digelontorkan secara masif, tentu ada pilihan-pilihan” paparnya.
Sertifikat Vaksin Covid-19 Dipermasalahkan Dunia
Sejak vaksinasi Covid-19 makin tersedia dan meluas di seluruh dunia, banyak negara yang mulai memperkenalkan serta mengimplementasikan terbitnya sertifikat vaksin Covid-19, yakni dokumen yang diberikan kepada mereka yang sudah divaksin. Status vaksinasi mereka tersedia secara digital atau berbentuk paspor yang harus ditunjukkan ketika beraktivitas di tempat-tempat yang berbeda. Sertifikasi vaksin itu umumnya dapat diakses dengan aplikasi dan lewat smartfone (telepon genggam). Mereka yang tidak memiliki akses biasanya akan disediakan versi cetak yang mudah dibawa dan ditunjukkan sebagai bukti kepada pihak yang berwenang, sehingga masalah gajet atau teknologi bukan menjadi halangan.
Reaksi dan respon masyarakat atas sertifikat vaksinasi bukanlah hal khusus yang hanya muncul di Indonesia namun juga di banyak negara lain. Tidak sedikit anggota masyarakat di dunia yang langsung melakukan penolakan, protes, hingga membuat petisi karena menganggap kebijakan tersebut diskriminatif.
Munculnya keprihatinan publik terhadap kebijakan sertifikat vaksin Covid-19 diikuti pula oleh berbagai reaksi dari organisasi-organisasi hak asasi manusia. Mereka umumnya mempertanyakan apa maksud dari pemaksaan sertifikat vaksin Covid-19. Mereka menuduh itu berpotensi menimbulkan keprihatinan etik serta ketidakadilan masyarakat karena Pemerintah telah mengistimewakan mereka yang sudah divaksinasi sehingga bisa mengabaikan hak mereka yang tidak atau belum divaksinasi.
Memang ada banyak alasan mengapa orang tidak mau atau enggak divaksin. Bila sertifikat itu dikeluarkan hanya demi mengasingkan masyarakat tertentu, berarti bisa dianggap suatu diskriminasi. Namun bila dikeluarkan untuk mencari jalan keluar pemulihan aktivitas ekonomi dan rekreasi, pertimbangannya sudah bisa dianggap tepat. Demikian pendapat beberapa ahli hukum mengenai status legal atas penerbitan dan penggunaan sertifikat vaksin Covid-19.
Banyak negara yang membuat petisi agar pemerintahanya tidak menggunakan kebijakan sertifikat dan paspor Covid-19 karena dilihat sebagai politik pengontrolan. Mereka yang tidak setuju merasa kebijakan itu membuat tempat bekerja mereka bisa berlaku semena-mena sehingga mereka khawatir tidak dapat kembali bekerja. Pihak berwenang di bidang kesehatan di banyak negara saling menunjukkan penolakan atas klaim bahwa penerbitan sertifikat vaksin Covid-19 adalah bertujuan membatasi akses warga yang belum divaksinasi atas hak untuk layanan-layanan publik. Mereka menyatakan bahwa kebijakan itu digunakan semata-mata demi kepentingan dan solusi bersama dalam menghadapi pandemi Covid-19.
Masalah di Indonesia
Di Indonesia juga ada upaya pembuatan petisi-petisi demi menyikapi penolakan erbitnya kartu vaksin sebagai syarat administrasi bagi warga menjalankan aktivitasnya. Petisi itu ditanda tangani lebih dari 32 ribu orang. Anggota Komisi IX DPR RI Netty Prasetiyani mengatakan bahwa negara harus menyikapi ini sebagai input dan bahan evaluasi guna meningkatkan realisasi vaksinasi di Indonesia. Menurutnya, petisi itu telah menunjukkan masih banyak masalah yang dihadapi Indonesia dalam merealisasikan vaksinasi Covid-19. Yang dimasalahkan terutama seberapa besar tingkat vaksinasi yang sudah tercapai di Indonesia. Apakah target memang telah tercapai untuk menerapkan sistem yang ketat akses menggunakan sertifikat vaksin tersebut?
Sampai dengan 8 September 2021, Indonesia ditengarai baru mencapai 33,22 persen masyarakat yang divaksin dosis pertama. Sementara yang sudah menerima dosis kedua juga baru 19.07 persen. Jumlah masyarakat yang belum memperoleh hak vaksinasinya dengan demikian masih amat besar. Sedangkan negara lain yang telah dan akan menerapkan sertifikat vaksin umumnya mendasarkan kebijakannya pada tingginya tingkat vaksinasinya, seperti halnya Singapura atau Australia.
Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit, Maxi Rein Rondonuwu mengakui bahwa vaksinasi di Indonesia memang masih belum merata. Menurutnya, belum semua anggota masyarakat bisa mendapatnya. Banyak yang sudah mempunyai kesempatan, mau dan ada waktu divaksin, namun vaksinnya ternyata tidak tersedia atau dapat diakses.
Mengacu pada masalah-masalah tersebut, banyak pihak yang berkesimpulan bahwa kartu vaksin untuk beraktivitas di tempat publik di Indonesia adalah kebijakan yang tidak masuk akal untuk diterapkan. Kebijakan mengenai vaksin ini dinilai diskriminatif terhadap mereka yang belum divaksin walaupun mau tapi belum beruntung mendapatkannya. Keputusan pemerintah dalam hal ini juga dianggap kurang bijaksana karena tugas pertama Pemerintah seharusnya memperhatikan terlebih dahulu soal kemudahan mendapatkan vaksin gratis, apakah terkendala komorbid atau karena belum lama seseorang pulih dari terinfeksi Covid-19. Masalah lain adalah persoalan NIK error yang diakui turut menghambat proses vaksinasi di kalangan masayarakat.
Masalah Aplikasi PeduliLindungi
Persoalan penting lain yang menyebabkan masyarakat belum bisa mempunyai kartu vaksin karena aplikasi peduliLindungi yang disediakan Pemerintah dilaporkan ternyata sering eror dan tidak bisa digunakan karena masalah-masalah teknis. Sebagaimana diketahui Pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) dan Kementerian BUMN telah merancang aplikasi bagi Kementerian Kesehatan dan Gugus Tugas dalam mengatasi pandemi COVID-19 di Indonesia. Aplikasi PeduliLindungi didukung pula oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana.
Aplikasi ini mengandalkan kepedulian (peduli) dan partisipasi masyarakat untuk saling membagikan data lokasi atau pun vaksinasi dan riwayat Covid-19 saat bepergian agar penelusuran riwayat kontak dengan penderita COVID-19 dapat dilakukan. PeduliLindungi digunakan untuk melakukan proses Check-In/Check-Out lokasi yang ramai, pendaftaran vaksinasi, mau pun tracing kontak riwayat orang dengan Covid-19.
PeduliLindungi mengidentifikasi status vaksinasi & riwayat kontak Covid-19 saat melakukan check-in di lokasi ramai. Dengan adanya fitur itu, jelas akan membantu ketika orang tersebut tidak dapat mengingat riwayat perjalanan dan dengan siapa saja dia melakukan kontak. Mereka yang mengakses program ini akan dihubungi oleh petugas kesehatan jika pernah berada dalam jarak tertentu dengan penderita COVID-19 positif, PDP maupun ODP. Pemerintah gencar menghimbau masyarakat agar mengunduh aplikasi ini demi perlindungan diri maupun keluarga dari Covid-19. Partisipasi masyarakat sangat diharapkan dan menjadi syarat wajib mengakses fasilitas publik. Namun pemakaian PeduliLindungi untuk keperluan aktivitas di tengah Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) yang lalu mulai menuai kritik.
Penyebab pertama karena tidak semua masyarakat memiliki smartphone untuk dapat menginstal aplikasi ini padahal hampir semua fasilitas publik wajib diakses dengan menggunakan aplikasi ini. Aplikasi PeduliLindungi memang telah terintegrasi dengan sistem check in pesawat di bandara. Berbagai tempat telah menerapkan syarat seperti mal, restoran, pusat perbelanjaan hingga transportasi umum seperti KRL Dalam aplikasi sudah termasuk sistem order pembelian tiket pesawat di aplikasi penyedia. Data warga pemesan tiket otomatis dengan aplikasi PeduliLindungi, sehingga tidak perlu menunjukkan atau membidik QR Code melalui aplikasi PeduliLindungi miliknya. Namun seorang pengguna aplikasi ini telah mengeluhkan masalah yang mencerminkan masalah yang sering terjadi.
“Ada kasus di mana penumpang pesawat gagal terbang gara-gara aplikasinya error. Lalu keamanan data di aplikasi juga menjadi sorotan publik karena diduga bocor. Masyarakat enggan mengisi aplikasi dan tidak bisa menunjukkan kartu vaksin,” Soal kebocoran data vaksinasi memang sempat viral beberapa waktu lalu usai sertifikat vaksin Presiden Jokowi beredar luas di media sosial. Menkes Gunawan Sadikin yang hanya menutup data pejabat dan tidak juga menutup data vaksinasi semua warga negara yang tertera di aplikasi pun akhirnya dikritik habis.
Anggota Komisi I DPR RI, Syaifullah Tamliha menganggap tindakan pemerintah diskriminatif, karena setiap orang termasuk masyarakat sesungguhnya memiliki hak dan kewajiban yang sama. Tamliha mendesak Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Johnny G Plate untuk segera menyelesaikan pembahasan Rancangan Undang-undang Perlindungan Data Pribadi (RUU PDP).
“Aturan itu tidak boleh diskriminatif. Enggak bisa Menkes hanya batasi pejabat negara. Apa bedanya dengan rakyat? Kan di negeri ini orang memiliki hak dan kewajiban yang sama,” cetus Tamliha. Di lapangan, tidak semua pelaku bisnis yang menyetujui penerapan aplikasi ini. Salah seorang pemilik supermarket yang juga anggota DPRD Denpasar, A.A.Susruta Ngurah Putra menilai kebijakan pemerintah pusat mengharuskan pengunjung mall, supermarket, pusat perbelanjaan menggunakan aplikasi PeduliLindungi, telah memberatkan masyarakat. Menurutnya, belum semua warga memiliki smartphone yang bisa mengunduh aplikasi itu sehingga menimbulkan diskriminasi bagi warga yang tidak punya.
Seharusnya pemerintah membolehkan warga masuk ke pusat-pusat perbelanjaan maupun supermarket hanya dengan menunjukan sertifikat vaksin atau surat vaksin. Sistem ini sudah berlaku di negara-negara lain di mana bukti cetak bisa berlaku penuh. Semua warga yang divaksin seharusnya sudah memiiki sertifikat serta surat vaksin tersebut. Nyatanya di Indonesia tidak selalu berlaku demikian.
Legislator PKS Sukamta mengkritik kebijakan yang mewajibkan penggunaan aplikasi peduliLindungi untuk berbagai aktivitas masyarakat di luar rumah, mulai dari perjalanan antarkota, masuk pusat perbelanjaan sampai dengan bepergian ke tempat wisata. Kebijakan aplikasi ini menurutnya memberatkan masyarakat miskin. Dia ingin agar kebijakan pemerintah jangan bersifat diskriminatif.
“Rakyat yang tidak mampu punya hak yang sama untuk dilindungi oleh negara. Jangan karena ingin mudah kemudian mengabaikan fakta bahwa tidak semua rakyat Indonesia memiliki telepon dan telah mendaptkan vaksinasi. Kebijakan harus utuh dan adil untuk semua warga tidak tergantung pada kemampuan ekonominya,” katanya. “Kami memahami keinginan pemerintah untuk mengatasi pandemi dengan memantau pergerakan warga dalam pandemi Covid-19 bisa dideteksi. Namun, kebijakan mewajibkan setiap warga negara memiliki aplikasi peduliLindungi bisa membuat masyarakat miskin sengsara, karena harus menggunakan telepon pintar. Jangankan untuk membeli telepon pintar dan pulsa, untuk makan saja rakyat yang hari ini tidak mampu, sudah keberatan,” jelas Sukamta (30/8/2021).
Masyarakat secara umum mengharapkan pemerintah mempertimbangkan berbagai faktor yang menjadi penghambat penggunaan aplikasi itu sehingga semua kelompok masyarakat pada akhirnya dapat terkover, termasuk mereka yang berasa jauh dari perkotaan. bahkan termasuk mereka yang tidak terkoneksi dengan internet maupun smartfone. Harapan mereka, kangan sampai kebijakan dianggap diskriminatif dan kontra produktif sehingga kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah menurun drastis.
Banyak kalangan di masyarakat yang percaya bahwa pemerintah masih terkesan latah dalam penerapan kebijakan ini. Sementara tingkat vaksinasi sendiri masih jauh dari target sampai sekarang ini. “Syarat vaksin seakan-akan menunjukkan Pemerintah telah berhasil melakukan vaksinasi kepada seluruh rakyat Indonesia. Realisasi vaksinasi masih jauh dari target tapi Pemerintah sudah mewajibkan penggunaan sertifikat vaksin untuk berbagai kegiatan seakan-akan sudah sebagian besar rakyat telah mendapatkan vaksin,” jelas Sukamta.
Apakah dengan menganalisa penanganan dan penerbitan sertifikat Covid-19 di negara lain, misalnya, kita dapat menyimpulkan penanganan Covid-19 di Indonesia memang tidak jelas dan terutama sekali bersifat diskriminatif? Dengan melihat kebijakan penanganan pandemi Covid-19 hingga pengeluaran sertifikat vaksin Covid-19 di Australia kita dapat memahami apa saja yang diperlukan untuk penerapan yang jelas dan terukur.
Kebijakan Covid-19 di Australia
Kebijakan penanggulangan hingga penerbitan sertifikat atau paspor Covid-19 di Australia tidak lepas dari subyek perdebatan di kalangan masyarakatnya. Sementara penurunan infeksi Covid-19 di Indonesia saat ini memperlihatkan hasil yang menggembirakan, di Australia, terutama di negara bagian NSW sejak Agustus lalu justru terjadi peningkatan kasus yang signifikan. Pemerintah diharapkan menerapkan kebijakan lockdown yang ketat agar dapat mengendalikan lajunya tingkat infleksi varian Delta Covid-19 yang jumlah mencapai ribuan perharinya hingga kemarin.
Jumlah vaksinasi terus menerus digenjot Pemerintah Australia. Sertifikat Covid-19 untuk izin melakukan aktivitas publik saat restriksi dihapus juga diterbitkan secara online dan terpusat dengan aplikasi pemerintah yang dibuat mudah, efisien dan cukup canggih. Restriksi direncanakan akan dilonggarkan saat tingkat vaksinasi penuh mencapai 70 persen populasi minggu kedua bulan Oktober. Ketika angka 80 persen sudah tercapai, masyarakat baru diizinkan melakukan aktivitas normal dengan bukti status sertifikat Covid tersebut. Penggunaan tingkat vaksinasi ini menjadi salah satu faktor yang membedakan Australia dengan Indonesia.
Pada 11 Oktober mendatang, vaksinasi penuh terhadap populasi dewasa di negara bagian NSW diperkirakan sudah akan mencapai angka 70 persen. Mereka yang sudah memiliki sertifikat digital ataupun tercetak Covid-19 akan mulai diperbolehkan melakukan sejumlah aktivitas publik. Aktivitas akan diperluas ketika vaksinasi mencapai 80, bahkan sampai 90 persen. Diprediksi, jumlah ini akan terpenuhi pada 1 Desember 2021 mendatang.
Kebijakan sertifikat covid-19 di Australia jelas menyebabkan mereka yang tidak mau divaksinasi atau belum divaksinasi harus menunggu waktu lebih lama lagi untuk dapat menikmati kebebasannya. Ini merupakan konsekuensi yang sudah mereka ketahui. Apakah mereka dalam hal ini merasa didiskriminasi? Pemerintah sudah lama menyuruh masyarakat segera melakukan vaksinasi. Segala cara dipermudah dan disediakan. Tentu saja ada banyak anggota masyarakat yang masih enggan divaksin.
Kelompok yang belum dan tidak divaksinasi baru akan dibolehkan melakukan kegiatan bersama-sama dengan mereka yang sudah divaksinasi. Namun mereka harus mau menunggu saat sudah 90 persen penduduk terverifikasi sudah divaksinasi. Pada tahap ini, sertifikasi itu pun bisa menjadi syarat atau pun tidak. Pemerintah telah memberi kebebasan kepada pelaku usaha apakah mereka akan menolak atau mengizinkan mereka yang tidak divaksinasi untuk berurusan dengan mereka.
Dari segi hukum tindakan ini bisa saja dianggap bentuk diskriminasi. Namun menurut Komisi Hak Asasi Manusia Australia, karena vaksinasi itu solusi efektif penyelamatan hidup dan hak hidup. ia bisa dianggap bentuk hak asasi manusia. Paspor vaksin merupakan bukti terverifikasi atasstatus vaksinasi Covid-19 seseorang. Bukti ini digunakan masyarakat mendapatkan pelayanan. Paspor vaksin, oleh Komisi Hak Asasi Manusia, sudah dianggap memenuhi prinsip hak asasi karena alasannya masuk akal, diperlukan dan diterapkan secara proporsional.
Agar terhindar dari kategori diskriminasi, penerbitan paspor tidak dibolehkan menjadi syarat penerapan restriksi baru. Apalagi bila dibuat untuk memberikan implikasi terhadap privasi, otonomi, kebebasan pergerakan maupun persamaan menyangkut akses terhadap barang dan layanan masyarakat. Selain itu, bila kebijakan penerbitan paspor vaksin membuat orang menghindari diri dari vaksinasi maka bisa dianggap bentuk diskriminasi. Paspor vaksin diharuskan konsisten dengan prinsip dan asas hak asasi dan harus digunakan sebagai alat atau solusi guna menghilangkan restriksi dan peningkatan hasil kesehatan publik.
Premier NSW Gladys Berejeklian menyatakan bahwa pembenarannya mengenai pentingnya status sertifikat vaksin Covid-19 untuk pemulihan ekonomi masyarakat. Ia adalah solusi vital yang adil dan bukan bentuk perwujudan diskriminasi. Kita tahu bahwa petunjuk kesehatan didirikan di atas dasar hukum. Kita tahu bahwa sistem hukum sudah mengakui bahwa ketika sedang menghadapi situasi pandemi, semua hal yang dilakukan Pemerintah merupakan bentuk penyelamatan kehidupan agar sistem kesehatan tidak kewalahan mengatasinya. Sistem hukum mendukung semua ukuran-ukuran, dalam situasi yang tidak biasa dan harus diambil oleh pemerintah.
Langkah Mengatasi Masalah dan Pencarian Solusi
Jelaslah bahwa pencapaian target vaksinasi setinggi mungkin menjadi kunci suksesnya penanganan pandemi Covid-19 yang lebih adil dan tidak diskriminatif di Australia. Pemerintah hanya memberlakukan bila tingkat dan target vaksinasi bisa tercapai setinggi mukin. Ketersediaan infrastruktur teknologi yang dapat menjaga keamanan aplikasi, sisi penggunaan yang efisien dan efektif juga memegang peran kunci. Selain pemerintah, pihak pelaku usaha telah diberi keleluasaan untuk secara fleksibel menerapkan persoalan status vaksinasi seseorang.
Melihat persoalannya di Indoneisa, adalah tidak salah bila Ketua DPR RI Puan Maharani telah meminta pemerintah agar mencari solusi yang tepat dan mencari terobosan baru dalam persoalan ini. Puan sudah meminta Pemerintah agar memaksimalkan mekanisme penggunaan aplikasi PeduliLindungi agar lebih adil dan tidak diskriminatif. Menurutnya, sepatutnya masyarakat yang sudah divaksin juga mendapat hak yang sama. Baik yang memiliki ponsel maupun yang tidak. Diskriminasi karena kepemilikan gajet tidak boleh terjadi karena mereka perlu beraktivitas. Karena pemerintah melibatkan pihak swasta dalam mengintegrasikan sistem aplikasi PeduliLindungi dengan sistem aplikasi lain milik swasta, j aminan perlindungan data pribadi menurutnya adalah juga sangat penting.
Forum Tata Kelola Internet Indonesia atau Indonesia Internet Governance Forum (ID-IGF) menganjurkan agar pemerintah membalik mekanisme pemeriksaan aplikasi PeduliLindungi dengan menyediakan peranti atau alat pindai di ruang publik yang bisa digunakan warga untuk memasukkan NIK atau memindai QR Code dari kartu vaksin mereka.Cara ini diyakini bisa meminimalisir potensi diskriminasi akibat penggunaan aplikasi PeduliLindungi.
Selanjutnya guna mengantisipasi kesulitan mengunduh aplikasi yang dihadapi masyarakat selama ini, bulan Oktober mendatang Kementerian Kesehatan (Kemenkes) akan menjadikan fitur pada aplikasi PeduliLindungi untuk bisa diakses di aplikasi lain. Menurut Chief Digital Transformation Office Kemenkes Setiaji pihaknya sudah berkoordinasi dengan platform-platform digital seperti Gojek, Grab, Tokopedia, Traveloka, Tiket, Dana, Cinema XXI, Link Aja, bahkan ada juga aplikasi dari Pemerintah Jakarta yaitu Jaki. Jadi masyarakat tidak harus menggunakan PeduliLindungi tetapi bisa mendapatkan fitur-fitur yang ada di PeduliLindungi pada aplikasi tersebut.
“Ini akan launching di bulan Oktober ini. Ada proses dimana kami memerlukan beberapa model untuk bisa diakses oleh setiap orang. Jadi aplikasi yang paling banyak digunakan itu kan seperti ada Gojek, Grab, Tokopedia dan lain sebagainya Itu bisa digunakan untuk bisa masuk ke berbagai macam fitur yang ada di PeduliLindungi,” Demikian penjelasannya. (Isk- dari berbagai sumber).