Survei adalah model tradisional yang sudah lama digunakan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan dalam masyarakat untuk hal-hal tertentu misalnya soal kepercayaan publik terhadap suatu institusi. Namun, ia rentan dimanipulasi untuk kepentingan tertentu. Yang ironis, justru dilakukan dengan kesadaran dari pembuat survei yang ahli dan pakar dalam seluk-beluk cara bagaimana mengarahkan hasil survei pada jawaban tertentu. Pada banyak kasus, suatu hasil rekayasa yang menyesatkan bisa membahayakan masyarakat bahkan negara sehingga bisa menimbulkan kerawanan pada instabilitas keamanan nasional suatu negara.
Masyarakat selalu dapat dapat mengecek dan memverifikasi maupun memvalidaasi akurasinya, termasuk metode penelitian yang digunakan. Faktor-faktor ini menjadi alasan mereka mempercayainya atau tidak. Bagaimanapun, berbagai survei seperti yang baru-baru ini dilakukan terhadap Polri tampaknya masih perlu dan bisa disesuaikan dengan perkembangan modern dalam pemolisian dan demokrasi di masyarakat di era siber. Adalah penting untuk selalu berusaha membandingkan hasil survei satu lembaga, dengan lembaga lainnya. Bila ada beberapa lembaga survei dengan kredibilitas baik telah menyatakan hasilnya dan tidak jauh berbeda. Dengan cara ini, bila ada lembaga dengan hasil yang sangat kontras maka ia dapat dikritisi secara lebih obyektif.
Jakarta, 24 Juni 2021. Institusi Polri sudah sering menjadi sasaran dari berbagai survei. Biasanya survei bertujuan melakukan penilaian-penilaian terhadap kinerja korps Bhayangkara itu, atau membandingkannya dengan institusi lainnya, termasuk untuk mengukur besarnya kepercayaan publik kepada aparat kepolisian. Berbagai survei terkait dengan performa lembaga seperti Polri akhir-akhir ini seringkali diadakan dan diberitakan, bahkan kemudian menjadi viral dan meluas dalam masyarakat. Biasanya hasil survei bisa untuk mengetahui suara dalam masyarakat atau melegitimasi suatu kebijakan yang dijalankan.
Baru-baru ini muncul hasil survei dari Cyrus Network yang dilaksanakan untuk mengukur tingkat kepercayaan masyarakat terhadap tiga lembaga penegak hukum di Indonesia. Selain Polri, juga dinilai Mahkamah Agung, Kejaksaaan Agung dan Komisi Pemerantasan Korupsi (KPK).
Dilaporkan bahwa survei itu dilakukans secara tatap muka pada 28 Mei-1 Juni 2021 dengan responden berjumlah 1.230 responden dari 123 desa/kelurahan terpilih di 34 Provinsi. Dengan menggunakan metode multistage random sampling dengan tingkat kepercayaan (significant level) survei ini 95% dengan margin of error sebesar +/- 2,85%.
Hasilnya, ternyata opini publik mengenai citra positif Polri selaras dengan penilaian publik terhadap kepuasan pelayanan publik oleh Polri menyangkut fungsi dan tugas kepolisian. Posisi Polri di peringkat teratas sebagai lembaga penegak hukum paling yang dipercaya publik, yakni sebesar 86,2% (lebih tinggi dari sebelumnya yang 62,5%). Barulah sesudah itu ditempati peringkatnya oleh Mahkamah Agusg dengan 85,9 persen, 82,2 persen terhadap kejaksaan agung dan di tingkat bawahnya 80,7 persen terhadap KPK.
“Secara umum, opini publik terhadap pelayanan Polri sudah cukup baik, hal ini tercermin dari persepsi responden yang mengaku pernah mengurus SIM, mengurus SKCK, dan membuat pengaduan penegakan hukum dalam empat bulan terakhir. Dari seluruh layanan Polri yang kami uji, tercatat bahwa pelayanan mengurus SIM memiliki tingkat kepuasan tertinggi yaitu sebesar 90,3%, diikuti dengan layanan membuat SKCK sebesar 82,8%, dan mengurus proses pengaduan masyarakat sebesar 79,4%,” Demikian laporan Fadhli dari lembaga riset tersebut.
Bila survei di atas terdengar sangat positif hasilnya, berbeda dengan hasil survei lembaga Etos Indonesia terhadap 2000 responden yang berkesimpulan bahwa 57 persen masyarakat Indonesia ternyata tidak puas dengan kinerja polisi. Menurut survei itu, sebesar 21 persen dari praktik pemerasan dan kekerasan; 19 persen tingkat malpraktik dalam tindakan penyelidikan; 17 persen banyaknya pungli (pungutan liar); 16 perse tingginya praktik salah tangkap; 13 persen kurang respon terhadap laporan pelayanan publik; 10 persen banyak polisit yang terlibat kriminaitas
4 persen lain-lain.
Disebutkan pula bahwa margin error untuk survei ini adalah 1,27 persen dan tingkat kepercayaan 95 persen, dengan menggunakan metode self-administrered atau pengumpulan data primer dengan mengajukan pertanyaan kepada responden individu
di Kota-kota seperti Jakarta, Surabaya, Medan, Makassar, Semarang dan Bandung pada 1-22 Maret 2021.
Mengapa hasil survei seringkali bertolak belakang dan berbeda-beda? Melakukan survei bukanlah pekerjaan yang gampang. Dari kedua survei itu dapat dilihat bahwa hasil survei amat tergantung dengan variabel dan metode yang digunakannya. Terlepas dari hasil-hasilnya, adanya berbagai survei selama ini disambut gembira dan diantisipasi oleh pejabat di lingkungan Polri.
Ia diterima sebagai masukan dan bahan pembenahan yang lebih baik, kata Kabag Penum Divisi Humas Polri Kombes Ahmad Ramadhan, apapun hasilnya, baik positif atau kritikan pedas. Menurutnya, kritikan masyarakat menandakan adanya kepedulian dan harapan serta memberi motivasi kepada institusinya. Pertanyaannya adalah, apakah survei-survei seperti ini masib bermanfaat? Apakah ia lebih jauh lagi masih relevan di era modern siber ini?
Riset Survei dan keterbatasannya
Haruslah dipahami bahwa setiap lembaga survei, walaupun misalnya mengambil topik dan pertanyaan yang sama, akan melakukan riset mereka dengan sudut pandang, indikator dan responden yang berlainan satu dan lainnya. Selain itu, metodologi dan kemahiran SDM yang melakukan survei tersebut juga akan turut menentukan. Seberapa jauh pendekatan dan kemahiran seseorang menggunakan data statistik dan pendekatan-pendekatan kunci yang diperlukan seperti psikologi atau sosiologi juga menjadi indikator keabsahan suatu survei.
Kredibilitas dan reputasi suatu lembaga survei lebih jauh lagi akan menentukan sejauh mana kejujuran dan validasi dari hasil penelitian yang dimaksud. Menurut pengamat dari Lembaga Survei Saiful Mujani Research Centres Sirajuddin Abbas, lembaga yang reputasinya baik, tidak segan-segan mau membeberkan metodologi dan proses di belakang laporan survei yang mereka buat karena memang memiliki SDM yang bermutu dan berkomitmen tinggi dalam menjunjung nilai akademisinya.
Persoalan lain adalah soal netralitas lembaga. Menurut Prof Musni Umar dari Univesitas Ibnu Khaldun, lembaga riset yang tidak mandiri, akan tampak dari hasil laporannya. Misalnya karena survei itu sebenarnya dibiayai oleh pihak-pihak tertentu terutama yang menjadi target dari penelitian tersebut. Alhasil, kesimpulannya juga bisa berlainan bahkan bertolak belakang dengan topik yang sama oleh lembaga yang lain.
Survei yang tidak dilakukan dengan benar dapat dilihat dan diuji dari margin of error, level of confident maupun jumlah populasi sample.Agar dapat membuktikan apakah suatu lembaga survei kredibel dan dapat dipercaya dengan akurasi datanya, perlu relawan yang melakukan uji silang (cross check) terhadap responden yang digunakan.
Lebih jauh lagi, harus diinsyafi bahwa tidak jarang lembaga-lembaga riset melakukan survei bekerjasama dengan kalangan pers dan media dalam pemberitaan dengan angle-angle tertentu yang kadang sangat tendensius dan disengaja. Tujuannya tak lain untuk mempengaruhi mindset masyarakat.
“Itu sah-sah saja, sepanjang lembaga survei yang dipesan tidak melakukan kejahatan-kejahatan akademis, seperti memalsukan data, memalsukan sampling dan seterusnya,” kata Prof Hamdi Muluk dari Dewan Etik Persepi.
Sebuah hasil survei yang diumumkan secara terbuka tentu merupakan informasi bagi khalayak, yang bisa pula menjadi landasan-landasan dalam membuat argumentasi maupun keputusan.
Tidaklah mengherankan sering muncul komentar miring terhadap hasil survei terutama mengenai Polri dan kepolisian yang terdengar bagi sebagian masyarakat tidak sesuai dengan pengalaman yang mereka alami. Seorang netizen di media sosial berkomentar:
“Rakyat kadang cape membaca hasil survei tentang Polri yang terdengar hanya seperti pencitraan, dan pasti dibuat oleh lembaga survei yang akal-akalan yang banyak bohong,”
Seorang peneliti dibolehkan salah dalam melakukan suatu survei. Namun bila sudah terindikasi bohong, maka persoalannya menjadi serius. Manipulasi metode statistik juga dapat menghasilkan temuan riset yang tidak kredibel. Manipulasi ini antara lain dapat disebabkan kecurangan peneliti atau adanya konflik kepentingan periset dengan sumber danaa. Intinya, suatu kesimpulan dari survei bisa sudah dibuat terlebih dahulu untuk menyenangkan yang menyuruh atau membuat order survei tersebut.
Mengenai isu pencitraan, jelas merupakan tema yang amat kuat dalam berbagai survei yang dilakukan di Indonesia selama ini. Inilah yang perlu diperhatikan mengapai survei-survei, walaupun saih, tidak mendapat perhatian mengingat perspektif politis dan strategis penggunaanya.
Masih Pentingkah Suatu Survei?
Survei adalah model tradisional yang sudah lama digunakan untuk dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan yang terdapat dalam masyarakat untuk hal-hal tertentu misalnya soal kepercayaan publik terhadap suatu institusi. Namun seperti yang sudah dijelaskan di atas, ia rentan dimanipulasi untuk kepentingan tertentu. Yang ironis, justru itu sering dilakukan dengan kesadaran dari pembuat survei yang sudah ahli dan pakarnya dalam mengarahkan hasil survei pada jawaban tertentu yang telah direkayasa.
Pada banyak kasus, suatu hasil rekayasa yang amat menyesatkan bisa pula berpotensi membahayakan masyarakat bahkan negara, sehingga bisa menimbulkan kerawanan pada instabilitas keamanan nasional suatu negara. Bagi banyak orang hasil survei seringkali sudah semacam skenario atau vonis yang menggiring opini masyarakat yang sifatnya bisa saja strategis dan politis.
Untunglah, menurut Toni Sudibyo, peneliti Forum Dialog Lembaga Studi Informasi Strategis Indonesia (LSISI), masyarakat modern dewasa ini sudah semakin pandai dalam menyikapi hasil dari suatu survei.
Masyarakat selalu dapat dapat mengecek dan memverifikasi maupun memvalidaasi akurasi dari hasil survei, termasuk metode penelitian yang mereka gunakan. Faktor-faktor ini menjadi alasan untuk mempercayainya atau tidak. Bagaimanapun, berbagai survei seperti yang baru-baru ini dilakukan terhadap Polri tampaknya masih perlu dan bisa disesuaikan dengan perkembangan modern dalam pemolisian dan demokrasi di masyarakat.
Adalah penting untuk selalu berusaha membandingkan hasil survei satu lembaga, dengan lembaga lainnya. Bila ada beberapa lembaga survei dengan kredibilitas baik telah menyatakan hasilnya dan tidak jauh berbeda. Dengan cara ini, bila ada lembaga dengan hasil yang sangat kontras maka ia dapat dikritisi secara lebih obyektif.
Model Survei Masa Depan?
Namun kita juga harus ingat bahwa riset survei di masa depan haruslah lebih berfokus pada cara bagaimana mengoptimalisasi disain online yang mengkombinasikan berbagai gajet survei dalam rangka meningkatkan kepuasan atas kualitas data yang dikumpulan dari responden dibandingkan dengan survei tradisional seperti di atas.
Lebih jauh lagi, survei tidak hanya lebih untuk mengumpulkan opini-opini masyarakat yang dibesar-besarkan, namun menyangkut tindakan nyata apa yang diperlukan untuk membangkitkan terutama rasa percaya diri dari mereka.
Menurut para ahli, kata kunci riset dalam era digital tiada lain adalah inovasi. Dalam konteks dunia siber yang sedang kita hadapi, opini bisa dijelaskan secara leluasa tanpa harus melakukan tatap muka dengan perisetnya. Mereka juga bisa terlibat secara nyaman dan bisa memilih membuat komentar yang kaya dengan nuansa-nuansa yang biasanya sulit diperoleh lewat pertanyaan-pertanyaan struktur yang dilakukan dalam model pendekatan survei tradisional.
Di era modern sekarang ini survei-survei tradisional harus diimbangi dengan semakin banyak dan kontinyu nya riset-riset tambahan untuk meyakinkan hasil-hasilnya. Menurut para ahli komunikasi, survei-survei yang dilakukan tanpa melibatkan pihak ketiga, bisa lebih mendapatkan data dari tangan pertama, sekaligus menguatkan partisipasi dan kepercayaan klien terhadap institusi tersebut, terutama menyangkut soal kepercayaan dan perbaikan kinerja mereka.
Berbagai lembaga telah menyiapkan format-format survei mandiri yang lebih cepat, langsung uptodate dan interaktif. Hasilnya pun dalam diakses oleh siapapun yang menjadi klien utama lembaga, seperti halnya kepolisian. Dengan cara sepert ini, ia bisa berperan lain sebagai ‘public relations’ guna membangkitkan keterlibatan langsung dan pengetahuan dari mereka terhadap institusi yang disurvei tersebut.
Kini berbagai survei dari suatu lembaga, misalnya yang tampak di Australia sudah sering dilakukan secara online dengan bantuan saluran platform sosial media agar bisa mendapatkan lebih banyak jumlah orang yang disurvei dan agar lebih mencerminkan persepsi dari suatu survei yang sesungguhnya.
Menurut pakar komunikasi Sara Knuckey, institusi kepolisian atau layanan pemerintah di Australia sekarang ini, makin menyadari bahwa survei-survei tradisional oleh pihak ketiga masih bisa diterima dengan tangan terbuka, namun bila tujuannya mengutamakan kejujuran hasil , mereka akan menaruh kepercayaan pada survei yang dilakukan dengan seksama oleh organisasi mereka sendiri.
Selama ini diketahui bahwa bias atas opini masyarakat sering disebabkan terutama karena lembaga-lembaga umumnya sudah menentukan siapa yang akan menjawab pertanyaan itu dan bukan siapa yang dapat memberikan jawaban yang lebih jujur dan akurat.
Masalah terbesar dari survei selama ini karena responden kebanyakan telah dipilih dan bukan orang yang mendapatkan survei dan harus menjawabnya dan mereka merepresentasikan sesuatu yang besar dari data yang tidak mencukupi. Hadirnya pendekatan riset survei yang baru dan disesuaikan dengan dunia siber, jelas akan memberikan penglihatan yang lebih jernih tentang persepsi, opini dan solusinya. Penggunaan perangkat online, email, website dan media sosla akan menciptakan data yang lebih banyak, akurat untuk statistik yang jelas, terukur, kredibel, transparan, yang tidak lain merupakan penyempurnaan dari sistem survei tradisional yang masih dominan diterapkan di Indonesia. (Isk –dari berbagai sumber)