Beredar tayangan di Youtube tentang operasi polisi patroli yang langsung menangkap seseorang yang tak mampu menjawab petanyaan berhitung sederhana aparat karena menjawabnya dengan kata “qiyu-qiyu” yang akrab dalam istilah perjudian kartu domino. Tayangan itu awalnya berkesan lucu karena awaban kacau dari orang yang ditangkap dan diduga mabu. Namun selanjutnya menimbulkan masalah apakah tindakan aparat yang langsung mengatakan kata “angkut” dapat dibenarkan dalam tugas patroli polisi? Kita akan membahasnya disini sesuai peraturan yang berlaku. Apa arti patroli polisi sesuai peraturan? Bagaimana polisi melaksanakannya? Bagaimana pula dengan tayangan realitas partolisi yang ada di media televisi? Apakah suah sesuai dengan kenyataan di lapangan?
Jakarta, 11 Juni 2021 – Polisi Republik Indonesia (POLRI) mengemban tugas-tugas kepolisian di seluruh wilayah Indonesia. POLRI dipimpin oleh seorang Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (KAPOLRI). Berdasarkan Pasal 2 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (selanjutnya disebut UU No. 2/2002), fungsi kepolisian Indonesia adalah salah satu fungsi pemerintahan Negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegak hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.
Lalu Pasal 13 Undang undang No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia menjelaskan bahwa Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai salah satu aparatur negara memiliki tugas pokok yang pertama memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat; yang kedua menegakkan hukum dan yang ketiga memberi perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.
Untuk melaksanakan tugas pokoknya terutama kepada masyarakat ada tugas patroli yang dilakukan oleh direktorat kewilayahan yang memiliki fungsi pengendalian masyarakat, yaitu Samapta. Direktorat ini dibentuk di daerah, di bawah naungan Kepolisian Daerah (Polda). Samapta berasal dari bahasa sankerta yang berarti keadaan siap sedia, waspada.
Sebelumnya ada istilah yang lebih panjang yaitu Sabhara (Samapta Bhayangkara) lalu diganti dengan Samapta tidak berdasarkan Skep Khusus tetapi dari munculnya Keputusan Kapolri No. Pol.: Kep/53/X/2002 Tanggal 17 Oktober 2002 Tentang Organisasi Dan Tata Kerja Satuan-satuan Organisasi pada Tingkat Mabes Polri dan Keputusan Kapolri No. Pol. : Kep/54/X/2002 Tangal 17 Oktober 2002 Tentang Organisasi Dan Tata Kerja Satuan-satuan Organisasi Polri Pada Tingkat Kewilayahan, pada keputusan tersebut istilah Sabhara Hilang berganti dengan Samapta.
Dalam pelaksanaan tugasnya Samapta memiliki unit sebagai berikut yaitu yang pertama ada Unit Patroli yaitu Bentuk operasional Polri yang merupakan perwujudan tindakan menghilangkan faktor niat atau pencegahan terhadap bertemunya niat dan kesempatan.
Kedua ada Pengendali Massa (Dalmas) yaitu kegiatan dengan memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan terhadap sekelompok masyarakat yang sedang menyampaikan pendapat / aspirasi didepan umum guna mencegah masuknya pengaruh pihak tertentu atau provokator. Ketiga ada Penjagaan markas / Obvit yaitu Pelaksanaan tugas kepolisian yang bersifat preventif guna mengamankan markas komando, kantor perbankan, maupun lokasi rawan kriminalitas serta lingkungan sekitarnya.
Fungsi dan Tugas Samapta
Hampir serupa dengan Brimob (Brigade Mobil), Samapta juga memiliki tugas untuk menjaga kamtibmas. Namun, terdapat beberapa perbedaan yang mencolok di antara kedua satuan tersebut. Tidak seperti Brimob yang bersifat paramiliter, Samapta tidak dilatih untuk melakukan pertempuran di lapangan. Samapta menjalankan fungsi kepolisian secara umum, yaitu penjagaan, pengawalan, dan tindakan pertama TKP.
Selain tugas polisi secara umum, Samapta memiliki tugas khusus, yaitu kendali satwa anjing pelacak dan satwa kuda. Tugas ini diemban oleh sub unit K-9 di dalam tubuh Samapta. Tugas khusus lain yang diemban oleh satuan ini yaitu bantuan SAR, penindakan terhadap Tindak Pidana Ringan (tipiring), dan tugas negosiasi. Brimob melakukan pengendalian massa dengan cara-cara represif, sedangkan Samapta mengutamakan langkah-langkah preventif.
Samapta diberi wewenang untuk melakukan patroli ke wilayah-wilayah yang potensial memicu tindakan kriminal. Hal ini sesuai dengan salah satu tugas pokok Samapta, yaitu meniadakan kesempatan atau peluang bagi masyarakat yang berniat melakukan pelanggaran hukum.
Sedangkan patroli berfungsi untuk melaksanakan pencegahan dan penindakan kejahatan, melakukan penangkapan dan penahanan (dalam hal tertangkap tangan), memelihara keamanan serta menjaga jiwa dan harta benda dari ancaman kejahatan. Sedangkan peran patroli adalah sebagai tulang punggung (backbone) polri dalam upaya mencegah segala bentuk kejahatan/gangguan Kamtibmas, sebagai sumber informasi, mata dan telinga bagi kesatuan, sebagai perwujudan kehadiran Polri di tengah masyarakat dan mitra masyarakat.
Patroli polisi juga sebagai sarana penyampaian pesan Kamtibmas terhadap masyarakat, sebagai cerminan kesiapsiagaan Polri setiap saat dan waktu dalam 24 jam mengupayakan pemeliharaan dan menjamin Kamtibmas, melakukan tindakan pertama di tempat kejadian pertama sebagai petugas pertolongan dan penyelamatan korban bencana alam dan kecelakaan.
Adapun prinsip-prinsip patroli yang terpenting ialah keterpaduan tugas yang dilakukan dan dikoordinasikan dengan kegiatan operasional untuk saling tukar-menukar informasi pada titik temu sesuai dengan sasaran kerawanan daerah.
Prioritas patroli yakni objek-objek sasaran, objek yang paling rawan sebagai sasaran patroli, dan tindakan represif terbatas dalam hal menentukan gangguan Kamtibmas (tindak pidana) petugas patroli berhak untuk melakukan penindakan (represif) dan merupakan ketanggapsegeraan bagi petugas patroli.
Dengan demikian, bahwa sejatinya cakupan tugas kepolisian memang sangat kompleks, namun secara garis besar dapat digolongkan kepada 3 (tiga) basis utama yaitu: 1) berbasis wilayah, 2) berbasis kepentingan dan, 3) berbasis dampak masalah, yang kesemuanya menjadi sasaran pelaksanaan kegiatan patroli yang di dalamnya mencakup bisnis proses yang meliputi: 1) kepemimpinan, 2) perencanaan/administrasi, 3) operasional, 4) sumber daya (SDM, anggaran, sistem metoda, sarana prasarana) dan peningkatan kapasitas.
Pelaksanaan kegiatanan patroli roda empat oleh fungsi Sabhara dan Lantas dilaksanakan dengan program-program operasional, baik yang bersifat rutin, khusus dan kontijensi. Terlebih lagi di era globalisasi (digital) sekarang ini, masyarakat selalu menuntut model-model pemolisian yang mampu memberikan pelayanan prima, dalam arti cepat, akurat, transparan, akuntabel, informatif dan mudah diakses. Meskipun pada tataran empiris yang ada, kegiatan patroli yang dilaksanakan cenderung bersifat prosedural, kaku dan tidak menarik, bahkan terkesan menjadi pengebirian kreativitas dan inovasi para petugas di lapangan.
Berdasarkan hal tersebut di atas, masyarakat selalu mengharapkan terjadinya perubahan dari polisi yang mampu mengimbangi dinamika perubahan sosial. Itu berarti polisi bekerja dalam ranah birokrasi dan dalam ranah masyarakat melalui pemolisian yang dimaknai sebagai segala usaha atau upaya seperti kegiatan patroli yang dilakukan oleh polisi pada tingkat manajemen dan tingkat operasional dengan/tanpa upaya paksa.
Sebagai salah satu wujud nyata dari implementasi pelaksanaan tugas pokok Polri adalah penyelenggaraan fungsi preventif, yaitu pelaksanaan patroli yang bertujuan untuk mencegah terjadinya niat dan kesempatan agar tidak terjadi pelanggaran hukum dan/atau terganggunya aktifitas masyarakat maupun kejahatan/tindak pidana yang dapat mengganggu produktivitas, aktivitas masyarakat dan terjadinya gangguan Kamtibmas dalam bentuk kejahatan maupun tindak pidana.
Agar pelaksanaan tugas preventif Polri dengan patroli tersebut dapat terlaksana secara optimal, efektif dan efisien dan berintegritas, maka kegiatan patroli tersebut harus didukung oleh berbagai kesiapan dan kelayakan sarana prasarana tugas yang benar-benar memadai, memiliki standardisasi kelayakan operasional baik dari sisi teknis dan taktis yang dapat mendukung keberhasilan pelaksanaan tugas patroli sebagaimana yang diharapkan.
Tayangan Acara Realitas Patroli di Layar Kaca
Selanjutnya kiparah patroli polisi banyak ditayang di layar kaca alias televise. Sebagai media siaran pastinya berusaha memberikan tayangan terbaik untuk masyarakat. Salah satunya adalah dengan menyuguhkan acara tv yang berkaitan dengan dunia kepolisian. Dengan begitu, Anda akan memperoleh beberapa manfaat, seperti:
Mengetahui tugas polisi secara langsung. Barangkali Anda hanya menemui polisi ketika berada pada jalanan. Misalkan, saat sedang mengatur lalu lintas, menindak pelanggaran lalin, menertibkan pedagang, dan lainnya. Itupun tidak secara langsung mengenal serta melihat secara spesifik apa yang mereka kerjakan setiap harinya. Melalui program tv tentang kegiatan atau pekerjaan kepolisian, Anda akan mengetahui tugas mereka secara langsung. Misalkan, saat memberhentikan satu-satu kendaraan untuk mengecek kelengkapan dokumennya, polisi yang melakukan pengejaran terhadap pelaku tindak pidana, dan masih banyak lagi.
Memahami jenis-jenis pembagian divisi polisi. Apakah Anda tahu jenis-jenis polisi? Ternyata kepolisian tidak hanya memiliki satu macam saja, tetapi terdiri dari berbagai sub atau divisi. Tentu saja mereka memiliki pekerjaan yang berbeda-beda sesuai dengan tugas masing-masing.Dengan menonton acara kepolisian, Anda bisa memahami berbagai jenis tersebut. Sebagai contoh, polantas yang bertugas mengatur dan menertibkan lalu lintas, divisi khusus kejahatan kriminal melakukan kegiatan patroli malam untuk mengamankan suatu wilayah, dan masih banyak lainnya.
Tahu informasi pelanggaran dan kasus yang sedang terjadi. Berikutnya adalah manfaat berupa pengetahuan akan pelanggaran dan kasus-kasus terbaru yang sedang terjadi. Saat ini, tindakan kriminal semakin menjadi dengan alasan berbagai faktor. Sebut saja, pembunuhan, pelecehan seksual, perampokan, cyber bullying, hate speech dan lainnya. Anda bisa menonton tayangan televisi polisi untuk mengetahui detail penangkapan pelaku kejahatan tersebut. Ada banyak sekali pelanggaran dan kasus yang terjadi setiap harinya. Oleh karena itu, menjadi tugas kepolisian untuk mengusut dan membawa pelaku pada proses hukum supaya jera.
Mengetahui jenis pelanggaran hukum. Ada banyak dari masyarakat yang sangat abai dengan yang namanya peraturan. Bukankah aturan ini ada untuk menjadikan kehidupan lebih tertata serta saling memberikan satu sama lain? Faktanya, Anda bisa menemukan berbagai kasus pelanggaran melalui acara tv polisi. Berdasarkan hasil sweeping, patroli dan laporan masyarakat, polisi bisa dengan cepat dan sigap menangkap pelaku kejahatan. Contohnya adalah, gembong narkoba, begal, penyelundupan senjata api dan narkoba lewat perbatasan, pelanggar lalu lintas, dan lain sebagainya.
Acara TV Polisi yang Populer
Ada beberapa tayangan acara tv tentang polisiyang bisa Anda nikmati. Berikut adalah deretan tontonan seputar dunia kepolisian popular, yaitu: 86 di NET. TV. Acara kepolisian pertama yang sangat populer adalah 86 dari NET. TV. Nama 86 berasal dari kode sandi polisi dengan makna “dimengerti” atau dalam bahasa inggris “roger”. Melalui program ini, Anda akan melihat pekerjaan sehari-hari anggota polisi. Tetapi selain membahas pekerjaan mereka yang cukup beragam, seperti menertibkan pelanggar lalu lintas dan penggerebekan gembong pelaku kejahatan juga memunculkan sisi humanis sosok polisi. Dengan begitu, Anda bisa lebih menghargai kerja keras mereka yang juga punya keluarga di rumah.
The Police Trans 7. Berikutnya ada The Police dari Trans 7. Ini merupakan program reality yang membawa pemirsa mengikuti kegiatan dalam menjaga keamanan, menangkap pelaku tindak kriminal, serta memberikan edukasi kepada masyarakat. Tidak hanya itu saja, terkadang terdapat momen-momen kelucuan yang pastinya akan menghibur. Dengan begitu, bisa menghilangkan pandangan menakutkan dari seorang polisi sehingga masyarakat menjadi lebih mengenal kepolisian melalui sikap mereka.
Jatanras. Acara ini merupakan program sajian berita –berita kriminal dari NET. TV yang bekerja sama dengan Jatanras Direktorat Reserse Kriminal Umum Kepolisian Metropolitan Jakarta. Dengan begitu, pemirsa akan mengetahui seputar dunia kriminalitas pada kota besar tersebut. Dalam acara tv ini, polisi akan melakukan berbagai kegiatan seperti, penangkapan pelaku kejahatan pembunuhan, narkoba, perampokan, penculikan, begal, tawuran, balap liar dan lain sebagainya. Oleh karena itu, hal tersebut juga merupakan sarana edukasi kepada masyarakat.
Sebenarnya ada satu lagi acara tentang polisi yang juga popular yaitu Patroli namun bukan termasuk reality show. Acara merupakan sebuah acara televisi berita yang ditayangkan di Indosiar. Yang Diciptakan oleh bagian promar televisi Indosiar. Produksi dilaksanakan oleh Indosiar Production. Acara ini merupakan informasi berita mengenai tindak kejahatan yang terjadi di Indonesia. Berita terkini seputar peristiwa kriminal, tindak kejahatan, orang hilang, hingga bencana alam. Acara ini disiarkan langsung oleh Indosiar setiap hari pukul 06.00-06.30 WIB setelah program berita Fokus Pagi, 10.30-11.00 WIB siang sebelum program Fokus Siang dan tengah malam pukul 01.30 WIB sebelum program berita Fokus pukul 11.00-11.30 dan 02.00 tengah malam WIB.
Membahas Tayangan “86”
Di antara program reality show yang mutakhir itu, ada satu program yang berjudul “86”, sebuah program acara yang menayangkan sepak terjang polisi republik dalam menjalankan tugasnya. Kegiatan polisi yang ditampilkan dalam acara tersebut mulai dari penilangan di jalan raya, sweeping tempat nongkrong, hingga inspeksi penginapan kelas melati. Lantas apa yang membedakan tayangan ini dengan tayangan reality show yang lain? Apakah program siaran ini dapat dikatakan lebih “objektif” ketimbang siaran yang lain? Bahasan yang disadur dari lembaga pemerhati media Remotivi ini akan mencoba melihat bagaimana dalam tayangan tersebut polisi menempatkan dirinya dan bagaimana cara mereka memandang masyarakat.
Program acara “86” ditayangkan Net TV; stasiun televisi yang membangkitkan lagi istilah kece dari tidur panjangnya. NET TV berusaha menghadirkan sesuatu yang berbeda dari stasiun televisi lainnya. Salah satu buktinya adalah program acara “86” sendiri yang berbeda dari siaran berita kriminal macam “Patroli”, “Delik”, dan sebagainya.
Acara “86” mengklaim dirinya sebagai sebuah produk jurnalisme dari sudut pandang penegak hukum. Dalam acara ini, kamera bergerak menggunakan sudut pandang polisi. Kasus-kasus yang dihadapinya pun tidak melulu pembunuhan atau tragedi. Dalam acara “86” segmen acara dibagi menjadi beberapa bagian. Yang pertama menyoal kepatuhan lalu lintas di jalan raya. Segmen berikutnya adalah kegiatan sweeping anak nongkrong oleh “Pasukan Prabu” dari Polrestabes Bandung. Kedua segmen tersebut biasanya dilengkapi dengan satu segmen lagi yang hadir meliput kegiatan sosial yang menampakkan citra polisi menjadi lebih manusiawi.
Program acara “86” seringkali dibuka dengan adegan polisi lalu lintas, katakanlah “tilangan” atau “cegatan”. Akan tetapi tilangan ini tidak dibingkai sebagai acara tilangan sebagaimana biasa terjadi dengan surat pemberitahuan yang jelas dan lengkap. Kegiatan ini lebih dekat mengarah pada “sidak” di jalan raya. Para polisi ini lebih sering menyasar daerah-daerah yang rawan pelanggaran. Misalnya, di daerah yang tidak boleh untuk memutar balik, tapi para pengguna jalan banyak yang memutar di sana dengan alasan terlalu jauh, rumit, dan sebagainya.
Hal ini menimbulkan pertanyaan: jika aturan yang diterapkan kemudian hanya mempersulit manusia, mengapa tidak mencoba untuk menilik kembali aturannya? Selain itu, jika volume kendaraan makin banyak dan jalan sudah tidak memadai, mengapa tidak ada peraturan yang mempersoalkan hal tersebut?
Kegiatan sidak ini tentu saja seringkali membuat para pengendara di jalan raya terkaget-kaget. Ironisnya, hal tersebut sepertinya justru adalah hal yang diincar oleh mata kamera, sebab dari yang “mendadak” itu terjadi peristiwa, yang kemudian menjadi drama. Misalnya saja, di sebuah jalan besar yang menopang gang-gang kecil di Jakarta, tiga orang muda-mudi yang letak rumahnya di dalam gang-gang tersebut berkendara motor untuk mengantarkan seorang teman ke rumahnya. Dengan berboncengan tiga, tanpa menggunakan helm, tanpa membawa surat-surat kendaraan, mereka tiba-tiba berpapasan dengan polisi yang dengan gagah menghentikan laju mereka.
Sontak mereka akan minta ampun dan berkelit dengan alasan mengantarkan temannya yang rumahnya ada di “dekat situ”. Adegan selanjutnya, dengan bangganya sang polisi menunjukkan kuasanya dengan meminta dipanggilkan orang—sanak famili yang ada di rumahnya untuk membawakan surat-surat tersebut. Setelah itu adegan bergeser pada testimoni polisi penilang tersebut yang diwawancara sendirian di ruangan terpisah, memaparkan bagaimana kesannya melihat kejadian seperti itu di jalan raya. Yang menarik, kata sakti yang selalu mereka keluarkan adalah “miris”.
Kata miris ini rupanya ampuh sekali dan selalu muncul disetiap penayangan acara “86”. Tidak peduli kasusnya penilangan, penggerebekan pasangan mesum di wisma melati, patroli pasukan Prabu, semua polisi pasti akan mengatakan “miris”. Logika ini sangat menganggu karena dalam acara ini polisi terus menerus menempatkan warga negara di posisi yang selalu salah. Sementara polisi telah melakukan dengan sekuat tenaga, pikiran, hati yang suci, dan niat mulia untuk terus membenahi keblangsakan masyarakat, namun selalu saja mereka mendapati kemirisan yang bertubi-tubi. Entah bagaimana polisi republik ini menjadi merasa bangga dengan segala hal ini.
Kita harus menempatkan logika kita pada logika program acara di televisi dan bertanya, apakah polisi benar-benar ingin masyarakat tertib secara keseluruhan (meskipun tentu saja hal itu tidak mungkin terjadi)? Artinya, dengan terus-menerus mengucapkan miris, sebenarnya mereka ingin acara ini semakin panjang masa tayangnya dan berharap mereka akan terus-menerus menjumpai kesalahan masyarakat. Sikap yang demikian akan menumbuhkan sebuah logika bahwa masyarakat selalu salah, dan polisi-lah yang menertibkan kesalahan itu.
Logika tersebut seharusnya menimbulkan pertanyaan: bukankah apabila selalu ada pelanggaran yang dilakukan masyarakat artinya polisi pun gagal dalam menertibkan masyarakat? Bukankah apabila tujuan mereka adalah memoles citra yang baik, maka akan lebih efektif jika polisi menampilkan bahwa warga negara ini sebagai orang-orang yang tertib: jika tidak pakai helm langsung dibelikan helm, jika ban bocor langsung ditolong, jika kehabisan bensin maka langsung dibelikan, kemudian disiarkan ke seluruh penjuru republik? Ternyata memang bukan itu logika yang digunakan oleh polisi.
Mempertontonkan Kekuasaan
Segmen selanjutnya yang tidak kalah mengganggunya adalah segmen patroli pasukan Prabu. Dengan pakaian tugas khas pasukan taktis, mereka berkeliling kota menenteng senjata laras panjang. Tanpa landasan yang jelas mereka bisa mendatangi orang-orang yang berkumpul di pinggir jalan atau beberapa tempat tertentu yang pencahayaannya kurang. Mereka bisa menanyai warga dengan semena-mena, menggeledah barang bawaan tanpa surat perintah, menanyai identitas mereka dengan penuh kecurigaan, seperti asumsi dalam kepala mereka bahwa masyarakat adalah musuh.
Dalam hal ini ideologi negara mewujud dalam aktivitas ini: negara yang tak kalah paranoidnya dengan masa pemerintahan orde baru. Mereka mempraktikkan pengawasan (surveilance) habis-habisan terhadap warganya, mencurigainya, dan menuduhnya. Tentu saja belum lekang ingatan mengenai bagaimana kasus pembubaran perpustakaan jalanan di Bandung-kota yang memang kini terkenal dengan pemberlakuan jam malamnya.
Sementara polisi “86” sibuk menampilkan dirinya telah bekerja habis-habisan, kejadian kriminal yang besar dan menyita perhatian publik terus terjadi. Misalnya, tujuh tahanan meloloskan diri dari rumah tahanan Mabes Polri dengan cara menjebol tembok. Kasus lain adalah polisi yang tewas karena main-main dengan senjatanya dan berakhir dengan meletuskan kepalanya sendiri. Lain lagi dengan kasus tentang kisah lama menyoal korupsi di lembaga kepolisian itu sendiri.
Perlu diketahui, bahwa apa yang telah disampaikan sebelumnya terkait bantuan terhadap pengguna jalan yang kehabisan bensin, pecah ban, atau beragam kejadian celaka yang terjadi di jalanan, sudah tertangani oleh komunitas dari masyarakat yang turun ke jalan yang melakukan ini. Komunitas tersebut adalah “Info Cegatan Jogja”. Komunitas ini berawal dari komunitas dunia maya (Facebook dan Twitter) yang saling berbagi informasi tentang operasi pemeriksaan kelengkapan surat di jalan raya. Tak perlu menunggu lama, anggota komunitas ini berangsur menjadi sangat banyak. Informasi ini rupanya sangat berguna bagi masyarakat pengguna jalan.
Komunitas ini meskipun memiliki nama spesifik daerah Jogjakarta, tapi anggotanya bisa berasal dari daerah manapun. Komunitasnya juga melebar hingga ICJ cabang Jakarta, Bali, dan kota-kota lainnya. Selain itu, informasi yang dibagikan pun akhirnya berkembang bukan melulu soal info cegatan, melainkan beragam mulai dari kasus kekerasan “Klithih”, pelaku vandalisme, hingga isu tentang “Setan nDhodhok”.
Yang terakhir disebut adalah sebuah modus pencurian ketika pintu rumah di ketuk oleh sesorang atau sesuatu, tapi ketika pintu dibuka tidak seorang pun yang ada di sana. Jika penghuni rumah telah tertidur, maka keesokan paginya barang-barang berhaganya akan lenyap. Pelaku kejahatan ini tidak terlihat, tapi jika melewati tanah basah, akan kelihatan jejaknya.
ICJ adalah wujud dari berdayanya warga. Ketiadaan atau minimnya infrastruktur membuat mereka membangun jaringan dan saling membantu. Kondisi jalan aspal di republik yang tidak pernah benar-benar seluruhnya mulus pun dijadikan salam perjuangan mereka: “SAG, Salam Aspal Gronjal”.
Semua berita ini tentu saja tidak akan masuk dalam segmen program acara “86”. Dari hal sini kita bisa melihat, bagaimana acara ini dibingkai, khususnya bagaimana masyarakat dan polisi diposisikan, dan bagaimana kekuasaan aparat dipertontonkan. Kita dapat menilai bagaimana mereka memilah dan memilih hal apa saja yang pantas masuk dalam program acara tersebut mana yang tidak. Dengan asumsi dasar “masyarakat selalu salah” acara “86” ini berjalan.
Polisi hadir sebagai pahlawan, meluruskan segala sesuatu yang bengkok dalam masyarakat. Dari penertiban lalu lintas hingga razia kamar indekos, dari pelumpuhan terduga teroris di Bandung (yang diatur sedemikian lebay layaknya film aksi) hingga kegiatan selebritas polwan cantik. Semuanya dibingkai dalam sebuah sajian tontonan. Selama sekitar enam bulan terakhir selalu makan malam dengan menonton siaran “86”.
Apa yang ditampilkan di kanal televisi tidak selalu dapat dilacak ulang siarannya di kanal Youtube. Ada beberapa adegan yang masih bisa diingat dan ketika dilacak di kanal Youtube akan sangat sulit ditemukan. Misalnya, ketika pasukan prabu mencurigai segerombolan anak muda di pinggir jalan kota Bandung dan mereka tidak menemukan kesalahan apapun pada rombongan tersebut karena sesungguhnya mereka hanya beristirahat.
Meskipun demikian, polisi tetap punya segudang nasihat untuk mereka. Dalam kanal Youtube video terpotong-potong dan diberi judul yang memancing penasaran. Ini terjadi tentu saja karena NET sadar kekhasan karakter masing-masing medianya. Penjelasan program acara yang terdapat pada kolom deskripsi kanal Youtube mereka berbunyi:
“Acara ‘86’ merupakan tontonan yang segar dan dapat memacu adrenalin yang ditayangkan di NET TV setiap hari pukul 22:00 WIB. Tidak hanya kita dapat mengikuti aksi polisi Indonesia dalam penggerebekan, tetapi kita juga diajak untuk menyaksikan kejadian yang sesungguhnya terjadi di lapangan serta melihat sedikit sisi lain dari kehidupan pribadi polisi sebagai manusia biasa dan kedekatan mereka dengan keluarganya. “86” memperlihatkan pekerjaan polisi Indonesia mulai dari kegiatan yang ringan, seperti mendisiplinkan pengguna lalu lintas, sampai kasus berat kepolisian.”
Dari deskripsi program tersebut kiranya telah memberi gambaran yang cukup gamblang. Bahwa ada unsur adrenalin yang ditawarkan pada penonton. Bahwa acara ini dibingkai sebagai tontonan yang memuat unsur drama. Seluruh aksi yang dilakukan dibingkai sebagai sebuah peran dramatik yang harus dimainkan oleh polisi. NET dalam hal ini berfungsi sebagi penyiar, penyambung lidah aparatur negara, institusi militer yang mengawasi dan menertibkan warganya, membingkai dan memperbaiki citranya yang kian hari kian longsor. NET memediasi suatu institusi negara dalam mempraktikkan kekuasan (exercising power) terhadap masyarakatnya.
Citra polisi yang ditampilkan oleh NET tidak hanya berada dalam satu wajah yang keras dan tegas lewat tayangan penggrebekan dan atau aksi pasukan prabu, tetapi juga yang manusiawi melalui tayangan bakti sosial maupun kegiatan selebritas polwan cantik atau polisi ganteng. Wujud polisi secara fisik yang ditampilkan di televisi pun selalu “enak dipandang”, berwajah ganteng atau cantik, bertubuh atletis dan lain sebagainya, seolah kita lupa bahwa pernah ada penggalakan program diet dan olahraga yang diberlakukan dalam kesatuan polisi karena banyak di antara anggotanya yang tubuhnya kegendutan.
Semua hal ini tentu saja sangat berbahaya karena bersifat menipu dan dapat membangkitkan citra baru pada institusi polisi. Ia gagal merekam kejadian-kejadian nyata yang berkebalikan dari apa yang nampak di layar kaca. Jika berkaca pada kasus di pembukaan tulisan ini maka bisaisimpulkan cara aparat polisi yang langsung menangkap pria yang tak mampu menjawab pertanyaan darinya salah. Apalagi ada tayangannya yang beredar di Youtube. Namun keadaan di lapangan memang tentu berbeda dan hal-hal seperti ini harus diperhatikan jajaran kepolisian untuk memperhatikan aksi aparatnya dalam melakukan patroli di lapangan. Sehingga tak menimbulkan kontroversi yang tak perlu di kemudian hari. (EKS/berbagai sumber)