Site icon Info Seputar Muslim

Kecewa Hasil Tes Wawasan Kebangsaan KPK, Pegawai Menggugat Isu Taliban Kembali Mencuat

Seluruh pimpinan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) dilaporkan ke Dewan Pengawas (Dewas) KPK buntut sengkarut tes wawasan kebangsaan (TWK) sebagai syarat alih status pegawai KPK menjadi ASN (Aparatur Sipil Negara). Buntut dari sengkarut itu membuat Novel Baswedan (penyidik senior) dan 74 pegawai KPK dinyatakan tidak memenuhi syarat menjadi ASN dan saat ini dinonaktifkan. Selanjutnya Presiden Jokowi (Joko Widodo) pun sudah menyatakan bahwa pegawai yang tak lolos TWK itu tak dibenhentikan tapi dibina. Namun KPK tetap memberhentikan 51 pegawai yang tak lolos TWK. Dalam dokumen pengaduan Novel dkk ke Dewas KPK terungkap awal mula kecurigaan mengenai sengkarut TWK ini. Apa kronologi hingga munculnya polemik hasil TWK? Isu apa yang mencuat dari hasil TWK itu? Bagaimana tanggapan Ketua KPK, PKN maupun para pakar terkait sengkarut TWK itu? Bagaimana solusinya?

Jakarta, 30 Mei 2021 – Bagaimana kronologinya? Dari dokumen pengaduan Novel Baswedan dkk tersebut terdapat paparan mengenai kronologi dugaan pelanggaran kode etik yang dituduhkan pada pimpinan KPK. Awalnya, pada 27-28 Agustus 2020, bertempat di Hotel JS Luwansa, terjadi rapat pembahasan dan penyusunan draf alih status yang dihadiri perwakilan Biro SDM KPK, Biro Hukum KPK, Pengawas Internal KPK, dan Fungsional Dewas KPK. Saat rapat itu terdapat sejumlah narasumber yang di antaranya Prof Eko Prasojo selaku akademisi, Oce Madril sebagai akademisi, I Gusti Ngurah Agung Yuliarta dari KASN (Komisi Aparatur Sipil Negara), Ibtri Rejeki dari BKN (Badan Kepegawaian Negara), Heni Sriwahyuni juga dari BKN, dan Istyadi Insani sebagai perwakilan dari KemenPAN-RB (Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara-Reformasi Birokrasi). Selanjutnya pada September hingga awal November 2020 terjadi beberapa kali rapat penyusunan Peraturan Komisi Pemberantasan Korupsi atau Perkom Alih Status dan juga rapat pimpinan KPK yang membahas Perkom Alih Status itu.

Lantas pada 16-18 November 2020, terjadi pembahasan draf alih status dengan tim penyusun Perkom Alih Status di Hotel Westin, Jakarta Selatan. Dalam pembahasan itu terdapat sejumlah narasumber, antaranya Mochamad Yusuf Salahuddin selaku Kepala Divisi SDM Perum Bulog, Bambang Dayanto Sumarsono selaku pensiunan KemenPAN-RB, dan Katraina Endang Saraswati selaku Kepala Biro Kepegawaian Kejagung (Kejaksaan Agung). “Pada rapat tersebut tidak ada pembahasan terkait TWK, pembahasan lebih banyak bagaimana mekanisme alih status agar lebih mudah, tidak menyulitkan pegawai KPK karena amanat UU dan PP adalah alih status menjadi ASN. Salah satu yang diusulkan pada rapat tersebut adalah bagaimana mekanisme penentuan pangkat/golongan dengan berdasarkan jabatan saat ini di KPK, tidak melihat masa kerja,” demikian tertuang dalam dokumen pengaduan itu.

Begitu pun setelahnya pada 18 Desember 2020 dan 5 Januari 2021, terjadi rapat pimpinan KPK yang membahas Perkom Alih Status itu. Namun, menurut dokumen pengaduan itu, tidak ada pembahasan terkait adanya TWK untuk pegawai KPK. “Bahwa pada tanggal 25 Januari 2021, dilaksanakan rapat pimpinan KPK pembahasan Perkom Alih Status, dan terdapat penambahan pasal dari Firli Bahuri selaku Ketua KPK terkait pelaksanaan TWK ke dalam draf Perkom Alih Status sebelum dibawa ke Kemenkumham untuk rapat harmonisasi.”

“Bahwa pada tanggal 26 Januari 2021, dilaksanakan rapat pembahasan Perkom Alih Status di Kemenkumham. Rapat tersebut dihadiri langsung oleh Firli Bahuri dengan membawa draf Perkom Alih Status yang sudah ada tambahan pasal mengenai TWK, tanpa dihadiri oleh Kepala Biro SDM, Kepala Biro Hukum, dan Sekjen KPK selaku pejabat pembina kepegawaian (PPK).” Padahal, masih menurut dokumen itu, berdasarkan Pasal 3 Ayat (2) huruf c Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil dan Pasal 5 ayat (1) huruf a Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2020 tentang Pengalihan Pegawai Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menjadi Pegawai Aparatur Sipil Negara bahwa Sekretaris Jenderal yang memiliki kewenangan penuh terkait dengan Manajemen Kepegawaian. Setelahnya pada 27 Januari 2021, Peraturan Komisi Nomor 1 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pengalihan Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi menjadi Pegawai Aparatur Sipil Negara resmi diundangkan.

Selanjutnya adalah beberapa kutipan lain dari dokumen tersebut yang berbunyi, “Bahwa pada tanggal 17 Februari 2021, dilaksanakan sosialisasi pengalihan status pegawai KPK menjadi pegawai ASN, yang disampaikan oleh Kepala Biro SDM, Kepala Biro Hukum, dan Firli Bahuri.” “Dalam sosialisasi tersebut, berulang kali ditanyakan oleh para pegawai: ‘Apa konsekuensinya jika pegawai tidak lulus asesmen wawasan kebangsaan?’ dan berulang kali pula dijawab oleh Firli Bahuri ‘Tidak perlu khawatir mengenai asesmen wawasan kebangsaan’, ‘Semua pegawai KPK pasti bisa mengerjakan asesmen wawasan kebangsaan’. Tidak pernah sekali pun disampaikan adanya konsekuensi tidak memenuhi syarat, bahkan lebih jauh tidak ada penjelasan bahwa mereka yang tidak memenuhi syarat diharuskan menyerahkan tugas dan tanggung jawabnya kepada atasan.”

“Tetapi faktanya, pimpinan mengeluarkan Keputusan Pimpinan Nomor 652 Tahun 2021 tertanggal 7 Mei 2021 (SK 652) tentang Hasil Asesmen Tes Wawasan Kebangsaan Pegawai yang Tidak Memenuhi Syarat dalam Rangka Pengalihan Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Menjadi Pegawai Aparatur Sipil Negara bahkan atas dasar hasil asesmen tersebut Pimpinan memerintahkan agar pegawai menyerahkan tugas dan tanggung jawab ke atasan.” Buntutnya, Novel Baswedan dkk melaporkan hal ini ke Dewas KPK. Namun pimpinan KPK, yang terdiri atas Firli Bahuri, Alexander Marwata, Nawawi Pomolango, Lili Pintauli Siregar, dan Nurul Ghufron, memberikan tanggapan berbeda. Awalnya Ghufron-lah yang menanggapi laporan tersebut. Dia menyerahkan sepenuhnya hal itu kepada Dewas.

“Kami menghargai laporan dari pegawai. Selanjutnya kami memasrahkan kepada Dewas sebagai pihak yang berwenang untuk melakukan proses sesuai ketentuan, baik prosedur maupun substansi, apakah benar yang diadukan merupakan dugaan pelanggaran etik,” kata Ghufron, Selasa (18/5/2021). Sedangkan Lili memastikan kerja KPK tak meleset dari UU. “KPK bekerja menjalankan UU tidak meleset dan tidak mengada-ada,” kata Lili. Dan Alex menyebutkan keputusan itu sudah dilakukan pimpinan KPK secara kolektif kolegial. Namun soal pelaporan ke Dewas, Alex tidak mempersoalkannya.

“Pimpinan KPK menghormati pelaporan dimaksud karena kami menyadari bahwa pelaporan kepada Dewan Pengawas adalah hak setiap masyarakat yang menemukan dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh insan KPK,” kata Alex. “Pimpinan KPK sebelum mengambil keputusan, kami pimpinan selalu membahas dan berdiskusi tidak saja dengan semua pimpinan, bahkan dengan jajaran pejabat struktural KPK. Hal ini Kami lakukan sebagai perwujudan kepemimpinan kolektif kolegial, semua keputusan yang diambil adalah keputusan bersama, bukan keputusan individu salah seorang pimpinan KPK. Semua keputusan kelembagaan diambil melalui proses pembahasan bersama secara kolektif kolegial oleh seluruh pimpinan KPK,” imbuhnya. Lantas bagaimana sikap Dewas KPK? Anggota Dewas KPK Syamsuddin Haris mengaku akan mempelajari laporan itu. Menurutnya, perlakuan itu sama seperti laporan pengaduan lainnya. “Seperti semua pengaduan lainnya, Dewas akan mempelajari terlebih dulu,” kata Syamsuddin.

Penjelasan Ketua KPK

Ketua KPK, Firli Bahuri dalam konferensi pers di KPK pada Rabu (5/5/2021), menegaskan tes itu disusun dengan kerja sama dengan pihak lain. Firli turut menyebutkan, bila para pegawai KPK yang tidak memenuhi syarat menjadi ASN, itu tidak akan dipecat, tetapi keputusan lanjutan akan diserahkan ke KemenPAN-RB. Firli menjelaskan bahwa dari 1.351 pegawai KPK itu dirinci adalah pegawai yang memenuhi syarat sebanyak 1.274 orang. pegawai yang tidak memenuhi syarat ada 75 orang, dan pegawai yang tidak mengikuti tes adalah 2 orang. “Selanjutnya tentu kami segenap insan KPK ingin menegaskan pada kesempatan sore hari ini, tidak ada kepentingan KPK, apalagi kepentingan pribadi maupun kelompok, dan tidak ada niat KPK untuk mengusir insan KPK dari lembaga KPK. Kita sama-sama berjuang untuk memberantas korupsi, kita sama-sama lembaga sebagai penegak undang-undang,” kata Firli.

“KPK akan melakukan koordinasi dengan KemenPAN-RB dan BKN terkait tindak lanjut terhadap 75 pegawai yang dinyatakan tidak memenuhi syarat. Selama belum ada penjelasan dari KemenPAN-RB dan BKN, KPK tidak akan memberhentikan 75 pegawai yang dinyatakan tidak memenuhi syarat,” imbuh Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron dalam jumpa pers bersama Firli itu. Sedangkan Presiden Jokowi menegaskan alih status pegawai KPK sebagai ASN diniatkan agar semangat pemberantasan korupsi lebih baik. Perihal kontroversi tes wawasan kebangsaan atau TWK, Jokowi meminta hal itu tidak untuk pemberhentian para pegawai KPK.

“Hasil tes wawasan kebangsaan terhadap pegawai KPK hendaknya menjadi masukan untuk langkah-langkah perbaikan KPK baik terhadap individu-individu maupun institusi KPK dan tidak serta-merta dijadikan dasar untuk memberhentikan 75 pegawai KPK yang dinyatakan tidak lolos tes. Kalau dianggap ada kekurangan, saya berpendapat masih ada peluang untuk memperbaiki melalui pendidikan kedinasan tentang wawasan kebangsaan dan perlu segera dilakukan langkah-langkah perbaikan pada level individual maupun organisasi,” imbuhnya.

Tak Ada Pembangkangan

Polemik TWK terhadap pegawai KPK berujung tudingan pada pembangkangan terhadap Presiden Jokowi. Akhirnya, 51 pegawai KPK bakal diberhentikan karena tidak lolos TWK dalam proses alih status kepegawaian menjadi ASN. Keputusan itu diambil dalam rapat koordinasi antara pimpinan KPK, MenPAN-RB Tjahjo Kumolo, Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna Laoly, BKN, Lembaga Administrasi Negara (LAN) dan KASN, Selasa (25/5/2021). Padahal, Presiden Jokowi telah menyatakan TWK tidak serta-merta dijadikan dasar untuk memberhentikan pegawai KPK. Wakil Ketua KPK Alexander Marwata mengatakan, penilaian asesor terhadap 51 pegawai tersebut merah dan tidak mungkin dibina. 

Kendati demikian, ia tidak menjelaskan lebih detail mengenai tolok ukur penilaian kenapa pegawai KPK yang tak lolos TWK dinyatakan merah dan tidak dapat dibina. Kepala BKN Bima Haria Wibisana memaparkan tiga aspek dalam penilaian asesmen TWK. Ketiga aspek itu yakni aspek pribadi, pengaruh, dan PUNP (Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan pemerintah yang sah). Menurut Bima, 51 pegawai KPK tersebut mendapat penilaian negatif pada ketiga aspek tersebut.

Dalam sebuah pernyataan pers yang diterima hampir seluruh media massa arus utama beberapa waktu lalu, Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko, menepis anggapan adanya pembangkangan arahan Presiden Joko Widodo terkait polemik pegawai KPK yang tidak lulus TWK. Moeldoko menyatakan semua lembaga solid mendukung arahan Jokowi. “Terhadap arahan Presiden Jokowi tersebut, Kantor Staf Presiden, Kementerian dan Lembaga terkait secara solid mendukung dan melaksanakannya. Tidak benar terjadi pengabaian arahan Presiden. Untuk menjalankan arahan Presiden, di antaranya Menteri PAN-RB, Menteri Hukum dan HAM, BKN, dan LAN telah melakukan koordinasi dengan Pimpinan KPK dan menyampaikan arahan Presiden tersebut dengan memberikan opsi pembinaan sebagai solusinya. KemenPAN-RB mengusulkan dilakukan Individual Development Plan (IDP) untuk pegawai KPK yang dinyatakan tidak lulus TWK,” tukas Moeldoko.

Mencuat Isu Taliban dan Radikalisme

Keputusan pemberhentian pegawai KPK itu sontak mendapat kritik dari masyarakat sipil. Ketidakjelasan indikator atau tolok ukur TWK dikhawatirkan akan menimbulkan stigmatisasi terhadap pegawai yang tak lolos. Sisi lainnya, ada potensi menguatnya kembali narasi soal radikalisasi dan Taliban di tubuh lembaga antirasuah itu. Pengurus Majelis Pustaka dan Informasi Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Muhammad Abdullah Darraz, tak memungkiri adanya tudingan negatif terhadap pegawai yang tidak lolos tes. Ia menilai, narasi radikalisme atau Taliban kembali menguat karena indikator dan ukuran dalam TWK yang tidak jelas. 

Darraz berpandangan, narasi negatif tersebut merupakan bagian dari upaya pelemahan KPK. Pegawai yang selama ini dianggap kritis coba disingkirkan melalui TWK dan dicap radikal. “Masalahnya mereka yang dianggap tidak lulus TWK dan dituding tidak cakap dalam wawasan kebangsaan tanpa bukti yang jelas dan meyakinkan. Mereka yang selama ini mengkritik pelanggaran kode etik yang dilakukan pimpinan KPK,” ujar Darraz, Kamis (27/5/2021).  Sedangkan analis media sosial dan digital Universitas Islam Indonesia (UII) Ismail Fahmi menyebut isu tersebut diembuskan secara sistematis pada 7 September hingga 13 September 2019. Fahmi menyebut kelompok pendukung revisi UU KPK menggunakan narasi lembaga antikorupsi itu dipenuhi dengan orang-orang yang berpaham radikal. 

Bergulir kemudian, kelompok penolak revisi UU KPK menegaskan tidak ada radikalisme di internal KPK. Isu radikalisme ini juga sudah dibantah oleh Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron dan Alexander Marwata. “Kalau Taliban dalam pengertian militan pemberantasan korupsi mungkin iya, tapi kalau Taliban yang lain, mungkin hanya ada di Afganistan,” kata Alex. Mengenai narasi radikalisme, Darraz mengatakan, belum pernah ada indikator yang dapat membuktikan hal itu. Misalnya, indikator terkait fanatisme, sikap intoleran, anti-kebinekaan dan kekerasan. “Apa indikatornya? Apakah pegawai KPK yang anti-Pancasila, UUD 1945, NKRI? Apakah ada pandangan yang menyebut negara ini thagut? Apakah ada staf KPK yang intoleran, anti-kebinekaan, antikonstitusi, fanatik?” ucap Darraz. 

“Saya pernah juga berdialog dengan pimpinan KPK periode sebelum ini. Saya tidak melihat ada kesan-kesan proses radikalisasi di tubuh KPK,” kata mantan Direktur Eksekutif Maarif Institute itu. Hal senada disampaikan mantan komisioner KPK Busyro Muqoddas. Ia menyatakan tidak ada pegawai KPK yang memiliki fanatisme agama tertentu. “Saya persaksikan bahwa di KPK selama ini tidak pernah ada yang namanya fanatisme kelompok agama apa pun juga,” kata Busyro dalam konferensi pers, Jumat (7/5/2021). 

Busyro mengatakan, isu Taliban di KPK merupakan hoaks politik yang dihembuskan pendengung (buzzer) politik. Isu Taliban makin tak relevan ketika ada pegawai beragama Nasrani dan Buddha yang dinyatakan tidak memenuhi syarat dalam TWK. “Kalau tadi saya katakan ada bagan tentang militan taliban itu, kuat dugaan itu adalah produk dari imperium buzzer-buzzer politik itu,” kata dia. 

Kejanggalan Pertanyaan TWK

Kejanggalan TWK Selain hasil asesmen, materi soal dalam TWK juga menjadi sorotan karena dinilai tidak relevan dengan upaya memperkuat KPK. Darraz menilai, sejumlah pertanyaan bersifat tendensius, seksis dan berupaya menyimpulkan seseorang memiliki ideologi yang bertentangan dengan Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan NKRI. 

Kejanggalan dalam TWK ini pernah diungkapkan pegawai KPK Benydictus Siumlala. Misalnya pertanyaan mengenai pandangan pegawai terhadap ras tertentu, LGBT, pernikahan hingga persoalan hukum Rizieq Shihab. “Melihat perkembangan seperti ini dalam tubuh KPK, tidak keliru jika publik memandang bahwa berbagai upaya ini tidak lain adalah upaya lanjutan dari pelumpuhan dan penghancuran KPK dari dalam,” kata Darraz. 

Soal-soal TWK lainnya yang banyak mendapat sorotan lantaran dianggap memuat pertanyaan yang seksis, rasis, diskriminatif, dan berpotensi melanggar HAM. Contoh soal yang diberikan pada TWK di antaranya; Mengapa dengan umur saat ini belum menikah? Masihkah punya hasrat? Mau enggak jadi istri kedua saya? Kalau pacaran melakukan apa saja? Kenapa anaknya sekolah di Sekolah Islam (SDIT)? Kalau salat pakai kunut atau tidak? Bagaimana kalau anaknya nikah beda agama?

Mengacu pada kejanggalan TWK dan pembangkangan terhadap arahan Presiden, kecurigaan publik harus dijawab: Apakah isu radikalisme hanya omong kosong yang didesain untuk melemahkan upaya pemberantasan korupsi? Hal ini sudah dijawab oleh Badan Kepegawaian Negara (BKN) yang buka suara soal TWK terhadap 1.351 pegawai KPK. Tes tersebut dilakukan dalam rangka pengalihan status pegawai KPK menjadi ASN. Menurut Plt. Kepala Biro Humas, Hukum dan Kerja Sama, Prayono dalam keterangan tertulis menjelaskan TWK yang dilakukan bagi pegawai KPK berbeda dengan tes bagi calon pegawai negeri sipil (CPNS). “CPNS adalah entry level, sehingga soal-soal TWK yang diberikan berupa pertanyaan terhadap pemahaman akan wawasan kebangsaan,” kata Prayono, Sabtu (8/5/2021). “Sedangkan TWK bagi pegawai KPK ini dilakukan terhadap mereka yang sudah menduduki jabatan senior, sehingga diperlukan jenis tes yang berbeda, yang dapat mengukur tingkat keyakinan dan keterlibatan mereka dalam proses berbangsa dan bernegara,” imbuhnya.

Terkait itu, Prayono menjelaskan dalam melaksanakan asesmen TWK KPK digunakan metode Assessment Center yang juga dikenal sebagai multi-metode dan multi-asesor. Ia menjelaskan, multi-metode berarti asesmen dilakukan dengan menggunakan beberapa alat ukur yaitu tes tertulis Indeks Moderasi Bernegara dan Integritas (IMB68), penilaian rekam jejak (profiling) dan wawancara.Sedangkan multi-asesor yaitu asesor yang dilibatkan tidak hanya berasal dari BKN, namun melibatkan asesor dari instansi lain yang telah memiliki pengalaman dan yang selama ini bekerja sama dengan BKN dalam mengembangkan alat ukur tes wawasan kebangsaan. Seperti BIN (Badan Intelejen Negara), Pusat Intelijen TNI Angkatan Darat (Pusintel TNI AD), Dinas Psikologi TNI Angkatan Darat (DISPSIAD), Dinas Psikologi TNI AD, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), BAIS (Badan Intelejen Strategis)-TNI dan Pusat Intelijen TNI AD.

Ia menyebut, TWK untuk KPK mencakup 3 aspek yaitu integritas, netralitas ASN dan anti-radikalisme. Prayono menjelaskan, integritas yang dimaksud untuk mengukur konsistensi dalam berperilaku yang selaras dengan nilai, norma dan/atau etika organisasi/berbangsa dan bernegara. Sementara itu, netralitas ASN dimaksudkan yaitu untuk memastikan tindakan yang dilakukan tidak berpihak dari segala bentuk pengaruh manapun dan tidak memihak kepada kepentingan siapapun.

Terakhir, anti-radikalisme dimaksudkan untuk memastikan bahwa peserta tidak menganut paham radikalisme negatif, setia dan taat kepada Pancasila, UUD 1945, NKRI dan pemerintahan yang sah, dan/atau tidak memiliki prinsip liberalisme yang membahayakan kelangsungan kehidupan bernegara.           Hal tersebut mengacu pada Pasal 3, 4 dan 5, UU No 5/2014 tentang Aparatur Sipil Negara dan Pasal 3, PP No 41/2020 tentang Pengalihan Pegawai KPK Menjadi Pegawai ASN. Selain itu, Prayono juga mengatakan TWK dilaksanakan secara bertahap. Tahap pertama, persiapan dilakukan sejak ditetapkannya Peraturan KPK No 1 tahun 2021 pada tanggal 27 Februari 2021. Tahap selanjutnya, pelaksanaan tes Indeks Moderasi Bernegara (IMB-68) dan integritas dilaksanakan pada 9 sampai 10 Maret 2021.

Bagi yang berhalangan hadir, kata dia, peserta dapat mengikuti tes susulan pada 16 Maret 2021 (Susulan I) dan 8 April 2021 (Susulan II). Tes tersebut dikoordinir oleh Tim dari Dinas Psikologi TNI Angkatan Darat (Dispsiad), yang dilaksanakan pada 18 Maret sampai 9 April 2021. Dari hasil asesmen TWK tersebut dinyatakan pegawai yang memenuhi syarat sejumlah 1.274 peserta, dan yang dinyatakan tidak memenuhi syarat 75 peserta.

Sesuai Kaidah Hukum dan Ilmiah

Kepala KSP Moeldoko yang sebelumnya menyebutkan tidak benar terjadi pengabaian atas arahan Presiden oleh sejumlah instansi pemerintah. Untuk menjalankan arahan, Menteri PAN-RB, Menteri Hukum dan HAM, BKN, dan LAN telah melakukan koordinasi dengan pimpinan KPK dan menyampaikan arahan Presiden tersebut dengan memberikan opsi pembinaan sebagai solusinya.

“KemenPAN-RB mengusulkan dilakukan Individual Development Plan (IDP) untuk pegawai KPK yang dinyatakan tidak lulus TWK,” kata Moeldoko, Kamis (27/5/2021). Masyarakat diminta segera menyudahi polemik terkait TWK pegawai KPK karena dinilai tidak konstruktif. Pasalnya, keputusan aparatur negara, dalam hal ini pimpinan KPK, telah sesuai dengan Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik (AAUPB) dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. “Saatnya KPK kembali berkonsentrasi pada tugas pokok dan fungsinya dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi,” kata Moeldoko.

Pernyataan Kepala KSP mendapat tanggapan positif dari Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Al-Azhar Indonesia, Prof Agus Surono. Karenanya ia mendukung sikap Kepala KSP Moeldoko yang menyerukan untuk menyudahi polemik tersebut. “Moeldoko benar saat mengatakan bahwa hasil TWK dalam proses alih status pegawai sebagai aparatur sipil negara (ASN) sudah final. Itu memang sepenuhnya kewenangan pimpinan KPK secara kolektif kolegial. Apalagi TWK itu pun bisa dianggap sebagai interpretasi pimpinan KPK menjalankan amanah Revisi UU KPK Nomor 19/2019,” kata Prof Agus dalam keterangan tertulisnya, Sabtu (29/5/21).

Agus juga menyepakati imbauan Moeldoko, yang alih-alih mengobarkan polemik, justru mengajak masyarakat memberi kepercayaan penuh pada lembaga antirasuah itu untuk membenahi dan memperkuat diri, serta menindak koruptor dengan tidak pandang bulu. Sebab keputusan KPK adalah keputusan aparatur negara. Sementara keputusan aparatur negara dijamin oleh undang-undang dan AAUPB. Karena itu, tes TWK harus dimaknai sebagai upaya penguatan KPK dalam mendukung tugas dari KPK dalam melakukan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi. Selain itu, TWK sudah sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 41 Tahun 2020 tentang Pengalihan Pegawai KPK menjadi Pegawai ASN, serta Peraturan Komisi (Perkom) Nomor 1 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pengalihan Status Pegawai Menjadi ASN.

Dalam Perkom tersebut, diatur tentang pegawai KPK yang beralih jadi ASN tidak boleh terikat kegiatan organisasi terlarang. Dalam Perkom tersebut terdapat sejumlah kategori untuk pegawai KPK seperti tercantum dalam Pasal 1 Perkom Nomor 1 Tahun 2021.”Jadi, TWK sepenuhnya merupakan kewenangan dari pimpinan KPK secara kolektif kolegial dan hal itu merupakan keputusan yang dapat dikualifikasi sebagai beskhiking yang mengikat dan sah secara hukum karena telah sesuai dengan AAUPB dan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang saya sebutkan tadi,” kata dia.

Ia juga mengatakan, keputusan pimpinan KPK yang sah dan mengikat itu pun harus selalu dianggap dan selaras dengan prinsip Presumptio Iustae Causa, yakni bahwa setiap keputusan Aparatur Negara, termasuk polemik keputusan pimpinan KPK yang dikeluarkan tersebut, harus dan selayaknya dianggap benar menurut hukum. “Konsekuensinya, ia dapat dilaksanakan lebih dahulu selama belum bisa dibuktikan sebaliknya. Karena itu saya meminta kepada seluruh elemen masyarakat untuk menyudahi polemik yang tidak konstruktif,” ujarnya.

Sementara itu, Ketua Lab Psikologi Politik Universitas Indonesia, Prof Hamdi Muluk menyebut TWK yang digelar KPK bersama BKN dan Kemen PAN-RB bisa dibuktikan secara ilmiah. “Tes TWK oleh BKN dapat dibuktikan secara ilmiah, tetapi perlu dipilah aspek mana saja yang bisa diungkap ke publik dan mana yang tidak bisa sehingga bisa dibuktikan tingkat efikasi dari tools tersebut memiliki tingkat validitas yang cukup baik,” ucap Prof Hamdi Muluk kepada wartawan, Jumat (28/5/2021). Hamdi mengungkapkan TWK yang digelar untuk pegawai KPK menjadi tolak ukur kepribadian seseorang terkait kebangsaan. Mulai dari ideologi radikalisme, intoleransi, ideologi liberalisme hingga sosialisme. “Bahwa alat ukur TWK itu tidak hanya untuk nengukur ideologi radikalisme terorisme atau intoleransi, tetapi ideologi liberalisme, komunisme, sosialisme itu juga jadi aspek yang bisa diukur,” jelasnya.

Pendapat senada diutarakan oleh Kepala Lab Psikologi Universitas Bina Nusantara Kampus Bekasi, Dr Istiani menyebut TWK KPK sudah sesuai kaidah psikometri serta memiliki tingkat validitas yang baik. Namun, bila publik merasa janggal akan hasil TWK tersebut, maka BKN perlu membuktikan secara ilmiah. “Penyusunan instrumen TWK sudah melalui prosedur psikologi yang sangat ketat dan panjang dari tahun 2012 sehingga tes TWK sudah sesuai dengan kaidah psikometri dan memiliki tingkat validitas yang baik. Akan tetapi apabila diperlukan pembuktian secara scientific maka BKN perlu menjelaskan secara detail bagaimana mekanisme penyelenggaraan tes itu,” paparnya.

Berikutnya, Pakar Aliansi Kebangsaan Prof Yudi Latief menjelaskan TWK memang perlu diterapkan dalam mekanisme tes alih status pegawai menjadi ASN.Ia mengungkap, bagaimana Pancasila menjadi satu keutuhan yang pelaksanaannya harus dipaksa kepada ASN oleh negara yang tujuannya agar moral anak bangsa tetap terjaga untuk NKRI.”Pancasila merupakan Civil Religion (agama publik). Penafsirannya harus dilakukan oleh negara dan pelaksanaannya pun harus ‘dipaksa’ oleh negara. Masyarakat tetap bisa menafsirkan Pancasila namun harus tetap dalam bingkainya,” jelasnya.

“Tentunya akan ada konsekuensi tertentu ketika warga negara tidak seiring dengan Pancasila. Negara perlu mengupayakan bagaimana moral publik itu dilaksanakan secara sukarela sehingga tidak terpaksa dan menjadi suatu kebutuhan. Bagaimana kita harus berkolaborasi sebagai anak bangsa dan warga negara dalam menjaga keutuhan NKRI agar tidak terjadi disintegrasi bangsa,” tandasnya.

Lebih Sistematis dan Tertata

Alih status pegawai KPK menjadi ASN melalui TWK menjadi bagian dari upaya pemberantasan korupsi agar lebih sistematis. Pelaksanaan TWK dalam rangka alih status pegawai KPK menjadi ASN telah sesuai dengan mandat dari UU No 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara atau UU ASN. Artinya, bahwa pengalihan status pegawai KPK menjadi ASN merupakan hal formal perintah UU dan menjadikan pemberantasan korupsi di Tanah Air ke depan lebih sistematis (tertata) daripada sebelumnya.

Menyinggung munculnya anggapan bahwa KPK dan sejumlah instansi pemerintah telah mengabaikan arahan Presiden Jokowi terkait adanya sejumlah pegawai yang tidak lulus TWK, justru tidak adanya pandangan yang berbeda antara Presiden dengan lembaga-lembaga tersebut, termasuk dengan KPK. Semuanya berada pada satu orbit untuk maju bersama memberantas korupsi. Seperti diketahui, Presiden Jokowi juga telah meminta kepada lembaga dan kementerian, agar mereka yang tidak lolos TWK bisa dilakukan pembinaan. Terkait hal itu, pimpinan KPK bisa melakukan pembinaan tersebut.Bisa jadi melalui pendidikan kedinasan sebagaimana disarankan Presiden.

Sementara, bagi seluruh pegawai KPK, mandat UU tentang ASN tersebut haruslah dilaksanakan. Karena mereka adalah yang menjalankan UU tersebut, bukan yang membuat. Jadi idealnya mereka harus melaksanakan aturan yang sudah disahkan legislatif tersebut. Maka dengan demikian Presiden, pimpinan KPK dan pegawai KPK berada pada orbit yang sama. SelanjutnyaKPK dapat memusatkan pikiran, tenaga dan waktunya bekerja untuk melakukan pencegahan dan pemberantasan korupsi di Indonesia. Sedangkan terkait adanya sejumlah pegawai KPK yang diberhentikan sudah tepat. Karena mereka yang tidak lagi tergabung di KPK bisa tetap berkarya di luar lembaga antirasuah tersebut. Mereka bisa membentuk wadah baru seperti perkumpulan mantan pegawai KPK misalnya. Mereka juga masih bisa berkarya termasuk mengawasi kerja-kerja KPK dari luar sebagai bagian dari aktivitas pengawasan pemberantasan korupsi juga. (EKS/berbagai sumber)

Exit mobile version