Premanisme bukan barang baru di Indonesia tapi sudah menggejala dalam masyarakat Indonesia sejak lama. Banyak kasus preman yang menarik perhatian publik dan diulas media massa selama ini. Membaca kasus-kasus premanisme dalam 5 tahun terakhir membawa kita kepada satu kesimpulan bahwa upaya memberantas premanisme hampir mustahil karena satu kasus direpresi tapi selalu ada kesempatan untuk kasus lain tumbuh dan kembang lagi. Kita berharap positif bahwa gebrakan baru untuk melawan premanisme sedang digulirkan oleh Kapolri baru dan jajarannya. Yang jelas, suara-suara masyarakat perlu menjadi masukan dan usaha ini harus didukung pula oleh faktor-faktor seperti komitmen yang luas, tegas, konsisten, terstruktur, berkesinambungan dan terukur serta transparan tetap dijunjung tinggi.
Jakarta, 12 Juni 2021. Akhir-akhir ini preman dan premanisme kembali mencuat dan diperbincangkan di Indonesia. Media massa memberitakan pihak kepolisian telah menangkap 49 preman di kawasan Pelabuhan Tanjung Priok Jakarta Utara. Mereka dilaporkan karena diduga merupakan preman yang kerap melakukan pungutan liar terhadap sopir truk di sejumlah pos di pelabuhan tersebut. Munculnya kasus ini memperlihatkan fenomena dari puncak gunung es perkembangan aksi premanisme terakhir di Indonesia, yang sudah lama eksis, tumbuh dan tampaknya makin menguat, meski era Reformasi sudah lama digulirkan di Indonesia. Yang menarik dari berita tersebut adalah kenyataan bahwa para pelapor perlu membisikkan keluhannya ke telinga tokoh yang paling tinggi di tanah air agar segala jeritan dan frustrasi mereka mampu didengar dan segera diantisipasi.
Sopir-sopir di pelabuhan Tanjung Priok itu tak lain bagian masyarakat yang bekerja di bidang distribusi barang, yang merasa jenuh dan jengkel atas aneka pemalakan tidak berkesudahan yang dipraktikkan oleh preman pelabuhan dalam waktu yang sudah terjadi cukup lama. Dalam pemberitaan maupun video singkat yang juga beredar di media sosial itu dijelaskan bahwa penangkapan pihak kepolisian itu merupakan tindak lanjut nyata atas keluh-kesah para sopir kontainer sesudah mengadukannya kepada Presiden Joko Widodo. Muncul pertanyaan, mengapa berani melaporkan kepada presiden? Apakah mereka juga pernah mencoba mengadukannya kepada pihak kepolisian namun tidak mendapat respon dan tanggapan? Apakah ini menggambarkan fakta di lapangan mengenai premanisme dan relasi kekuasaan yang terkait di dalamnya dan merupakan warisan dari perkembangan premanisme di masa lalu?
Premanisme di Indonesia
Kasus preman di Tanjung Priok, sekali lagi memperlihatkan kembali bahwa preman bergerak di berbagai sendi kehidupan termasuk sektor ekonomi, berperan sebagai penyedia jasa untuk pungutan-pungutan liar, penagihan dan penjagaan keamanan. Mereka juga memiliki ciri penggunaan pemaksaan, kekerasan, intimidasi dan ancaman-ancaman terhadap korban. Kebanyakan korban adalah rakyat biasa yang tidak berdaya kecuali kemampuan untuk menjerit sekeras-kerasnya ketika rasa frustrasi sudah sampai di ubun-ubun. Jangan salah, premanisme bukan barang baru di Indonesia tapi sudah menggejala dalam masyarakat Indonesia sejak lama. Dalam studi-studi sejarah dan antropologi Indonesia, ia bahkan satu aspek menonjol yang wajib dipelajari bagi mahasiswa yang ingin dapat mengerti sejarah sosial-politik Indonesia sebab terlihat benang merah perkembangannya dan pola-pola yang berulang premanisme itu dalam sejarah perjalanan bangsa Indonesia yang ditarik sejak beberapa waktu yang lalu.
Eksistensi premanisme di Indonesia terdokumentasikan dalam arsip-arsip dan laporan sejarah sebagai bentuk kekuasaan dan kedaulatan yang berada di luar struktur resmi negara. Hampir setiap masyarakat di Indonesia mengenal konsep preman dan premanisme di samping sebutan-sebutan bagi elit mereka. Di samping penamaan raja, sultan, patih dan sebagainya, masyarakat kita mengenal istilah lokal untuk preman seperti jawara (Banten), jago (Jawa Timur) blater (Madura) dan masih banyak lagi. Menurut sejarawan sosial Onghokham dalam Dari Soal Priyayi Sampai Nyai Blorong (2004), seperti penguasa yang sedang bertahta, para preman ini dianggap juga memiliki kekuatan dan kehebatan yang lebih dari masyarakat biasa. Tak jarang aspek itu penuh dengan aroma mistis dan kekuatan yang mereka miliki adalah mematikan dan amat ditakuti. Para preman lokal dikenal karena kegarangannya, keberaniannya dan kenekatannya saat berhadapan dengan penguasa maupun masyarakat biasa. Mereka memiliki kepandaian dan kemampuan berorganisasi dan terutama untuk memobilisasi masyarakat.
‘Setiap kepala desa (di Jawa) memiliki orang bayaran. Bila di suatu desa tinggal para garong, itu justru menguntungkan karena desa itu tidak akan diganggu atau direcoki oleh penjahat lain. Kepala desa biasanya akan ikut menikmati bagian hasil penggarongan. Seorang penguasa tradisional bisa bebas menuntut sesuatu dari rakyatnya dan tidak akan dianggap sebagai suatu kejahatan. Sesuatu itu didapat lewat tangan preman ”piaraan”. Jelas Onghokham. Penindasan dari penguasa kepada rakyatnya di masa lalu, jelas tidak jarang dengan menggunakan tangan-tangan preman baik tampak terlihat maupun tersembunyi. Dengan demikian, masyarakat bawah senantiasa harus menghadapi dua kekuatan, yang resmi (penguasa) dan yang tidak resmi (preman) dan kadang adalah kolusi di antara keduanya.
Di masa kolonial Belanda, pemerintah jajahan meniru cara penguasa lokal menggunakan kekuatan para preman demi mengokohkan kekuasaannya mereka. Para residen dan bupati melakukan interaksi langsung dengan preman untuk memenuhi keinginan Belanda. Sebaliknya kelompok preman yang tidak digunakan penjajah dan kaki tangannya itu, berdiri sebagai pihak yang melawan. Mereka melabelkan aksinya sebagai melawan penindasan kolonial. Karena tujuan itu, para jawara atau jago didukung dan diberi legitimasi penuh oleh masyarakat yang mengharapkan atas -aksi mereka bisa membuat kehidupan mereka lebih baik, meski dipenuhi dengan aksi kekerasan, intimidasi, bahkan pembunuhan. Dalam konteks inilah istilah ‘preman’ kemudian dikenal, berasal dari kata ‘Vrijman’ yang artinya orang-orang yang bebas merdeka dan berada di atas rambu-rambu hukum kolonial. Perlu dicatat bahwa baik yang pro penjajah, maupun yang anti penjajah, preman tetap memiliki nafsu kekuasaan dan tujuan menumpuk materi atau kekayaan. Itu sebabnya banyak yang bekerja sebagai tukang pukul, centengan dari pemilik tanah partikulir, informan polisi Belanda dan pemungut pajak paksa terhadap rakyat.
Preman yang berada di sisi masyarakat bawah kemudian sebagai pemimpin-pemimpin yang berpengaruh, kharismatis dan juga menggunakan kekayaan dan jaringannya untuk menjadi pemimpin tandingan. Pendeknya, selalu ada kepentingan preman mendapatkan keuntungan berupa pengaruh sosial, ekonomi dan politik. Pengalaman masa kolonial telah memberi pelajaran kepada kita bahwa kriminalitas, aksi-aksi kejahatan dari negara dan pemerintah ternyata saling memperkuat. Negara mempunyai formasi dan sistem untuk menggerakkan pemerintahan, namun sering kali sistem dan formasi tersebut macet. Kemudian, muncullah kelompok-kelompok massa, milisi dan para jagoan yang menawarkan jasa pengamanan ”membantu” pemerintah. Ketika di masa Revolusi para pemimpin Indonesia diketahui memanfaatkan para preman sebagai informan dan pendukung kekuatan mereka. Keberanian dan jaringan mereka yang luas serta reputasi serta hubungan organisnya dengan masyarakat membantu keberhasilan perjuangan Indonesia. Senang atau tidak adalah kenyataan sejarah para preman juga ikut menyumbangkan keberhasilan atas perjuangan Indonesia di sisi para para nasionalis Indonesia.
Warisan aspek-aspek preman
Pada era Orde Baru, jaringan preman yang sudah berurat akar sejak masa pra kolonial dan kemerdekaan itu masih digunakan untuk mendukung kekuasaannya dengan menggunakan simbol-simbol dan jargon tertnetu sampai dengan munculnya Reformasi. Menurut Ian Wilson, seorang Indonesianis asal Australia dalam buku Politik Jatah Preman: Ormas dan Kuasa Jalanan di Indonesia Pasca Orde Baru, keberadaan geng, preman, dan milisi (2018) menyatakan bahwa preman sudah menjadi ciri yang melekat dalam kehidupan sosial-politik di Indonesia.
Selama masa Orde Baru, mereka digunakan sebagai alat menegakkan tertib sosial versi negara dan melanggengkan kekuasaan rezim, misalnya “kewenangan” yang dimiliki organisasi pemuda untuk menggebuk para pengkritik rezim dengan mengatasnamakan Pancasila. Setelah Reformasi, premanisme tidak lantas hilang dan hanya berubah bentuk dan label untuk adaptasi, penyesuaian dan memperkuat legitimasi eksistensi dalam kehidupan masyarakat.
Masih Terus Menjadi Penyakit Sosial Yyang Berurat dan Berakar
Sejarah panjang premanisme di Indonesia di atas antara lain menunjukkan bahwa premanisme amat berakar dan berurat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Ia tidak dapat ditutup-tutupi dan tampaknya bagian dari Indonesia sendiri. Eksistensi preman ternyata justru dipelihara oleh pejabat-pejabat tinggi karena peran mereka dibutuhkan agar dapat selalu menegakkan kekuasaaan. Sejarah menunjukkan relasi kekuasan dengan preman ini pun penuh dinamika. Ada tarik ulur, pecah kongsi dan pembentukan-pembentukan baru dalam organisasi premanisme. Preman bisa berkolusi dengan masyarakat tertentu dan aparat keamanan melakukan pembiaran karena merasa takut akan munculnya gejolak sosial bila berpotensih membahayakan rezim yang berkuasa. Tidak dapat dipungkiri, walaupun ilegal, preman dan premanisme memang masih merupakan alat yang handal melakukan kerja dan mendapatkan kekuasaan dalam masyarakat. Menggunakan preman merupakan jalan pintas ketimbang mengikuti aturan hukum yang berliku-liku dan panjang.
Preman berguna karena kemampuan mereka dalam memobilisasi massa, pebisnis perlu tangan mereka dalam penagihan hutang dan oknum aparat menggunakan mereka untuk melakukan pungutan-pungutan liar. Elit-elit preman sepertinya tidak pernah menunjukkan rasa takut bahkan mereka bisa terang-terangan berani berhadapan dengan aparat hukum yang justru merasa ciut. Premanisme masih terus dapat dikenali sampai tahun 2021 ini, ia masih mudah ditemui dari wilayah kecil yang melibatkan pedagang kaki lima, sampai kepada kelompok yang menengah di toko-toko, bisnis dan berbagai aktivitas ‘basah’ di tempat-tempat hiburan, bisnis hingga pelabuhan-pelabuhan seperti Tanjung Priok yang kasusnya baru saja direspon pihak Polri.
Tindakan kepolisian
Banyak kasus preman yang menarik perhatian publik dan diulas media massa selama ini. Membaca kasus-kasus premanisme dalam 5 tahun terakhir membawa kita kepada satu kesimpulan bahwa upaya memberantas premanisme hampir mustahil karena satu kasus direpresi tapi selalu ada kesempatan untuk kasus lain tumbuh dan kembang lagi. Aksi mereka memang kadang keterlaluan, karena selain melakukan pemerasan juga melakukan penganiayan fisik bahkan seringkali pembunuhan. Demi menciptakan rasa aman warga dan merespon laporan-laporan atas aksi preman yang makin meresahkan warga, kepolisian mencoba bertindak cepat dan tegas.
Lewat media juga ada ditemui jejak komitmen kepolisian dalam upaya melawan aksi-aksi premanisme selama ini. Media melaporkan mengenai gencarnya upaya-upaya razia preman di banyak kota tidak saja di ibukota Jakarta. Penangkapan-penangkapan orang yang terduga pelaku hingga jumahnya belasan sampai dengan puluhan sudah sering dilakukan. Peran serta laporan masyarakat digunakan seluas-luasnya sebagai bukti adanya pemaksaan verbal maupun kekerasan yang berujung permintaan ‘uang perlindugan’ atau uang keamanan. Para tertuduh preman biasanya diperiksa identitasnya, digeledah dan kadang senjata tajam atau narkoba disita dari tangan mereka sebelum pembinaan diberikan. Polri pernah merasa bangga memperoleh penghargaan Museum Rekor Indonesia (MURI) karena keberhasilan menangkap 1.105 preman antara Juni 2018 dan Mei 2019.
Mantan Kapolri Jenderal Idham Azis pernah menegaskan bahwa negara tidak boleh kalah melawan preman (Detik, 22 Juni 2020). Mantan Kapolri Tito Karnavian juga menunjukkan ketegasannya mengenai hal ini dengan mengeluarkan pernyataan tegas kebijakan anti premanisme dan komitmen Polri dalam pemberantasannya. Kesungguhan Tito antara lain diperlihatkan ketika mencopot seorang Kapolres yang dianggapnya gagal memberantas persekusi seorang anggota organisasi preman. Kini komitmen tersebut digaungkan kembali oleh Polri di bawah Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo yang belum lama ini menegaskan akan memberikan teguran kepada Kapolda dan Kapolres yang belum melakukan penindakan premanisme.
“Seluruh polda dan polres jajaran harus menindak tegas aksi premanisme yang meresahkan. Hal itu demi menjamin keselamatan dan memberi rasa tenang kepada masyarakat,” kata Sigit melalui keterangan tertulis (11/6/2021). Usai Presiden Joko Widodo (Jokowi) melaporkan keluhan para sopir truk di Tanjung Priok, Komisioner Kompolnas, Poengky Indarti juga meminta Polri untuk meningkatkan patroli dan penegakan hukum terkait pungutan liar (pungli) hingga premanisme. Ia meminta pihak kepolisian tidak menunggu adanya laporan dari masyarakat dan meminta agar Polri meningkatkan penerangan hingga CCTV di lokasi yang rawan adanya tindak pidana pungli hingga pemalakan. Menurutnya pihak kepolisian bisa bekerja sama dengan Pemda. Kepala Divisi Humas Polri, Irjen Pol Argo Yuwono (11/6/2021), menyampaikan bahwa saat ini Polri memang fokus terhadap praktek pemberantasan premanisme di Masyarakat. Jajaran Polri di seluruh Indonesia akan melakukan operasi premanisme yang menjadi gugas pokok Polri. Polda-polda di seluruh daerah diharapkan bisa berperan memberantas Premanisme karena tidak menutup kemungkinan hampir di seluruh daerah di Indonesia juga ada praktek premanisme.
Pihaknya akan melakukan tindakan preventif dengan menggandeng Babinsa dan Babinkabtimas. Polres dan Polsek juga akan digerakkan untuk memberikan edukasi. Jika edukasi tak bisa dilakukan, tetap akan ada penindakan kepada yang melakukan praktek premanisme. “Tidak hanya Pelabuhan saja tapi di tempat lain yang memang terjadi pemerasan ataupun pungli seperti itu akan kita lakukan penindakan,” tambah Argo.
Menghilangkan premanisme?
Apakah sifat ketegasan kepolisian yang kembali digaungkan seperti di atas sesudah kasus premanisme di Tanjung Priok mencuat merupakan janji positif penuh harapan guna menghilangkan masalah premanisme di Indonesia? Seperti di banyak negara lain, preman dan premanisme sebenarnya mustahil untuk dihilangkan. Kenyataan yang ada adalah kemampuan dalam mengurangi kasus-kasus sekecil-kecilnya dan memperlihatkan signifikasi hasil dalam memajukan penegakan hukum melawan premanisme. Observasi terhadap aksi premanisme di Indonesia dalam waktu 5 tahun terakhir menunjukkan ia tidak pernah berhenti. Pandangan yang paling realistis adalah bagaimana mengontrol dan meminimalisasi ekses perilaku preman yang dilihat sebagai penyakit sosial yang harus dihadapi bersama. Preman eksis dan akan selalu eksis selama relasi dengan kekuasaan masih ada.
Preman sudah sering digunakan menakut-nakuti warga agar mau menjual lahannya kepada mafia tanah; preman menekan masyarakat untuk mengurungkan niat mereka melakukan protes pendirian pabrik yang mencemari lingkungan; preman parkir ada dimana-mana; preman pelabuhan udara dan pelabuhan laut sudah menjadi penyakit kronis sebagai mesin yang memaksa masyarakat memberi imbalan atas nama ‘jasa keamanan’; pebisnis kelas menengah bahkan tinggi memanfaatkan preman untuk perkembangan usahanya. Tindakan mereka selalu menimbulkan ketakutan dan trauma di masyarakat. Mereka berani melakukan intimidasi, sementara aparat kepolisian hanya akan memproses bila ada pelaporan atau kadang dianggap tutup mata dan telinga dan melakukan pembiaran. Kasus-kasus premanisme yang menjadi borok sosial itu seringkali baru mencuat ketika mereka sengaja mempertontonkan aksi sadis dan dipertontonkan seperti layaknya film-film mafia, dengan insiden yang brutal.
Tidak jarang aksi brutal dalam kelompok-kelompok preman diakhiri dengan pembunuhan. Apalagi ada rivalitas di antara mereka dan konflik di antara mereka dengan korban masyarakat di tengah-tengahnya yang tidak bersalah. Lambannya proses hukum untuk pelaporan pada kasus-kasus biasa saja sudah membuat masyarakat antipati dengan kinera personel kepolisian. Bayangkan bila ini berhubungan dengan persoalan preman yang lebih riskan terhadap pribadi-pribadi, keluarga dan lingkungan masyarakat atau personel polisi yang menangani. Seringkali pelaporan itu sendiri mengalami kesulitan dalam hal penyertaan bukti-bukti. Belum lagi tindakan preman yang main hakim sendiri terhadap pelapor atau pihak-pihak yang menurut jaringan mereka ditengarai menjadi musuh-musuh mereka.
Mereka bukan saja elit politik atau pebisnis tapi juga masyarakat biasa bahkan personel polisi dan penegak hukum. Dalam berbagai aksi salah paham antar preman, perebutan lahan rezeki antar preman, pengrusakan rumah, penganiayaan dan seterusnya, selalu rakyat kecil yang paling menderita sebagai akibatnya.
Mencari solusi komprehensif
Pendekatan represif insidental dari pihak kepolisian bukan satu-satunya jalan karena sesudah satu preman dihabisi, akan selalu muncul preman-preman baru. Sudah waktunya upaya integratif dan holistik diterapkan dan tentu saja harus datang dari komitmen dan ‘political will’ pemegang kekuasaan dan pemegang supremasi dan penegakan hukum di Indonesia. Satu hal yang harus dilihat dari premanisme adalah hubungannya dengan kemiskinan dan pengangguran. Preman dan premanisme bagi sebagian orang adalah profesi, baik terpaksa maupun tidak, karena kehidupan telah memaksa mereka tidak memiliki pilihan lain dalam hidup kecuali menjadi obyek eksploitasi para mafia preman yang berpengaruh.
Persoalan lain adalah kurangnya jumlah aparat hukum yang mampu menandingi preman dan mampu melindungi masyarakat. Kita tidak bisa menutup mata bahwa tidak jarang ada banyak oknum pejabat dan penegak hukum yang bermain mata dengan preman guna memperkaya diri maupun pencarian pengaruh politik. Preman digunakan sebagai perpajangan tangan mereka, yakni oknum politisi, polisi nakal dan elit yang merusak semangat demokrasi di Indonesia. Walaupun bukan fakta yang tertulis, masyarakat dan media selalu dapat mencium restu legitimasi preman sehingga upaya penegakan hukumnya hanya dianggap sebagai sirkus atau akal-akalan mereka untuk meredam keprihatinan rakyat ketimbang komitmen murni yang memiliki substansi jujur dalam penanganannya.
Sepertinya, pola masa kolonial masih terus hidup dan berkembang. Menurut sejarawan Heri Triyatmoko, Universitas Sebelas Maret, dunia premanisme dan preman yang ”dipelihara” tokoh penting adalah bukan fenomena yang baru, melainkan sudah ada sejak era kolonial. Dulu, polisi pemerintah Hindia Belanda menggunakan bantuan para jago, preman, blater, berandal, weri atau tukang pukul untuk menciptakan suasana kondusif dan menyelesaikan masalah kejahatan. Di banyak negara lain mengambil pendekatan mengantisipasi premanisme sejak perekrutan anggota polisi. Mereka menekankan bahwa tanpa perekrutan yang baik dan pembentukan karakter yang bagus sulit menciptakan polisi yang memiliki komitmen dan integritas dalam melawan korupsi dan premanisme yang kompleks.Selanjutnya penerapan sistem insentif yang baik dan brilian juga diperkenalkan, agar mendorong aparat kepolisian mau lebih aktif dan bersemangat melawan premanisme, yakni dengan pengenalan promosi kenaikan pangkat yang sesuai.
Pandangan dan harapan perbaikan penanganan premanisme ini sejalan dengan suara-suara yang terus kita dengar dari masyarakat. Menyikapi perkembangan lebih lanjut kasus premanisme di Indonesia, seorang netizen di platform twitter masih pesimis kemampuan kepolisian memberantas program tahunan Polri dalam melawan premanisme. ‘Kalau bisa yang di atas main jusa sampai Polsek. Kadang Polsek kan yang bresentuhan langsung dengan masalahnya. Pihak pemberi pelayanan sering takut dengan balasan dari preman. Atau malahan kongkalikong sama mereka. Berikan pelatihan mental yang kuat sehingga mereka tidak akan takut dalam melawan premanisme.’ Kita berharap positif bahwa gebrakan baru untuk melawan premanisme sedang digulirkan oleh Kapolri baru dan jajarannya. Yang jelas, suara-suara masyarakat perlu menjadi masukan dan usaha ini harus didukung pula oleh faktor-faktor seperti komitmen yang luas, tegas, konsisten, terstruktur, berkesinambungan dan terukur serta transparan tetap dijunjung tinggi. (Isk – dari berbagai sumber)