Bibit dan akar sejarah lahirnya UU penistaan agama di Indonesia tidak saja sudah lama tapi juga telah digunakan sebagai alat politis di luar kepentingan hukum itu sendiri. Pada awal dekade 1960-an, kalangan konservatif muslim di Indonesia menganjurkan Sukarno agar mengambil tindakan terhadap ajaran mistisisme atau kepercayaan-kepercayaan lokal seperti Sunda Wiwitan dan kebatinan lain yang dianggap menodai Islam. Karena tuntutan mereka berhubungan dengan upaya Sukarno mempertahankan kekuasaanya, maka ia menyetujui gagasan mereka. Seperti diketahui Sukarno saat itu sedang membentuk kabinet gotong-royong dan situasi dalam keadaan darurat. Sejarah juga mencatat bahwa pada era sebelum 1965 ini, banyak muncul pertarungan ideologis yang kuat di kalangan masyarakat terutama antara warga PKI dengan NU. Sejak pemilu pertama 1955, kekuatan PKI yang menguat di Jawa Timur membuat suasana memanas. Dilaporkan ada penyerbuan atas masjid Agung Surabaya oleh pemuda rakyat yang berada di bawah PKI.
Ketetapan sementara dari Sukarno kemudian malah dikuatkan Suharto menjadi UU guna memperkuat posisinya. Karenanya, Indonesia sesudah 1969 ditandai dengan menguatnya suatu wacana baru yakni penistaan agama yang berjalan hingga kini.
Jakarta, 22 April 2021. Seorang Youtuber berrnama asli Sindy Paul Soerjomoeljono dianggap publik Indonesia dan penegak hukum terbukti melakukan penistaan agama. Konten unggahannya yang menghebohkan itu amat populer dan sudah di-view lebih dari 150.000 kali. Dugaan penistaannya masih bisa disaksikan pada channel Youtube “Jozeph Paul Zhang” yang berjudul “Puasa Lalim Islam” di mana ia mengaku sebagai Nabi yang ke-26. Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM melaporkan bahwa Jozeph tidak lagi tinggal di Indonesia sejak 2018. Kini keberadaannya diketahui di Bremen Jerman.
Jozeph kini sudah disangkakan Pasal 28 Ayat (2) UU ITE dan Pasal 156a KUHP karena dianggap melakukan penyebaran informasi bermuatan kebencian berdasarkan SARA sebagaimana termaktub dalam Pasal 28 ayat (2) Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Demikian kata Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karopenmas) Polri, Brigadir Jenderal Rusdi Hartono (20/4).
Pihak berwajib di Indonesia sudah berusaha agar kontennya tidak dapat ditonton lagi sekaligus melakukan pengejaran dengan bantuan KBRI di Jerman. Bareskrim Polri juga sudah menerbitkan daftar DPO bagi dirinya, berkoordinasi dengan Kementerian Luar negeri, Direktorat Jenderal Imigrasi dan Interpol. Melihat kasus ini, berbagai komentarpun bermunculan. Pakar keamanan siber, Ketua lembaga riset keamanan siber Indonesia CISSReC, Pratama Persadha menganggap ini moment tepat bagi Polri menggenjot kiprah polisi virtualnya sekaligus melakukan evaluasi sesuai dengan penegakan atas pasal 28 UU ITE terkait penodaan agama tentang ujaran kebencian. (9/4/2021).
Kasus ini menurutnya berpotensi menyulut keributan di dunia maya dan menciptakan permusuhan dan perdebatan antar agama selama bulan Ramadhan. Pihak kepolisian harus bertindak cepat melaporkan muatan penghinaan tersebut ke pihak Youtube. Ketua Bidang Advokasi YLBHI, Muhammad Isnur mempunya penilaian yang berbeda. Ia justru menganggap aparat hukum di Indonesia telah ‘buta konteks’ terkait aksi Jozeph Paul Zhang lewat langkah-langkah yang sudah ditempiuh. Harusnya ini tidak dianggap serius apalagi sampai dipidana. “Ini orang sedang celoteh saja, ngapain dianggap serius sampai ke arah pidana. Harusnya ini orang ya dianggap ngaco aja.” “Jadi pertanyaan kita ke polisi, kenapa jadi ramai sekali? Apakah ada kepentingan di belakangnya terkait bikin ramai isu ini? Jadi pertanyaan kita juga,” tambahnya.
Kepentingan Politis di Belakangnya?
Kemunculan kasus ini menambah deretan panjang mereka yang dianggap para ‘penista agama’ sejak konsep dan definisi ‘penistaan agama’ hadir di Indonesia. Pelabelan ‘penista agama’ juga jelas subyektif, karena datang dari pihak yang menginterpretasikan perbuatan seseorang atau lembaga terbukti menista atau tidak, atau dari otoritasnya atau pihak yang memperkaranya. Dalam sejarah yang bisa dirunut beberapa dekade sebelumnya, pelabelan penista agama di Indonesia dilakukan otoritas negara dan penegak hukum berdasarkan Undang-Undang yang dibuat karena desakan agama mayoritas. Tidak semua pelaku yang dituduh melakukan penistaan agama sebenarnya menyadari atau memiliki intens melakukan aksinya meski pada akhirnya tetap tidak bisa lepas dari jeratan hukum dan Undang-Undang penistaan agama yang diberlakukan kepada tertuduh.
Bibit dan akar sejarah lahirnya UU penistaan agama di Indonesia tidak saja sudah lama tapi juga telah digunakan sebagai alat politis di luar kepentingan hukum itu sendiri. Sungguh ironis meski Indonesia berslogan ideal Bhinneka Tunggal Ika (berbeda-beda tapi satu) namun hanya suara kalangan mayoritas penduduknya yang selalu dimenangkan dibanding suara minoritasnya. Ini juga tampak dari kelahiran undang-undang penistaan agama di mana tujuannya adalah meminggirkan kelompok minoritas.
Ditarik mundur sejak masa kolonial, delik penistaan agama sudah dikenal di Indonesia sejak munculnya Het Crimineel Wetboek Voor het pada 1809. Pasal 156 KUHP yang menjadi cikal bakal Undang-undang penodaan agama awalnya diterapkan Belanda untuk menghabisi gerakan kebangsaan dan kemerdekaan Indonesia. Namun sejak kemerdekaan, ia justru digunakan negara untuk melawan kelompok minoritas yang berpotensi merugikan negosiasi penguasa negara dengan kelompok mayoritasnya.
Pasal 156 dalam KUHP yang muncul sesudah proklamasi kemerdekaan, diambil dari pasal 124A dan 153A British Indian Penal Code dalam sistem hukum Belanda. yakni berisi larangan mengeluarkan pernyataan permusuhan, benci atau merendahkan. Pada awal dekade 1960-an, kalangan konservatif muslim di Indonesia menganjurkan Sukarno agar mengambil tindakan terhadap ajaran mistisime atau kepercayaan-kepercayaan lokal seperti Sunda Wiwitan dan kebatinan lain yang dianggap menodai Islam.
Menurut pengajar Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta Samsul Maarif pembentukan Departemen Agama enam bulan setelah Indonesia merdeka ditujukan demi kepentingan kelompok agama,dalam hal ini santri. Tuntutan adanya Departemen Agama itu diajukan kelompok Islam yang kecewa ditolaknya Piagam Jakarta. Akibatnya, aliran-aliran kepercayaan yang tidak memiliki elemen nabi atau sosok yang ditokohkan, kitab suci, konsep ketuhanan dan komunitas internasional-nya mulai tidak diakui dan malah dicap menodai agama resmi.’ Karena tuntutan mereka berhubungan dengan upaya Sukarno mempertahankan kekuasaanya, maka ia menyetujui gagasan mereka. Seperti diketahui Sukarno saat itu sedang membentuk kabinet gotong-royong dan situasi dalam keadaan darurat.
Dikeluarkannya peraturan ini merupakan manuver politiknya untuk menempatkan dirinya di atas 3 kekuatan besar yang sedang mengincar kekuasaan politik yaitu PKI, militer dan Islam. Sukarno setuju bahwa hampir di seluruh Indonesia sudah timbul aliran-aliran dan organisasi-organisasi kebatinan atau kepercayaan masyarakat yang bertentangan dengan ajaran-ajaran dan hukum Agama. Dalam konteks itu, Ketetapan No.1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama dikeluarkan Pemerintahan Sukarno pada 27 Januari 1965 guna mengakomodir organisasi-organisasi Islam yang ingin melarang aliran kepercayaan.
Meski demikian, lampiran ketetapan itu sebenarnya juga menerangkan latarbelakang dikeluarkannya yakni keadaan darurat terkait situasi nasional di mana para pemeluk aliran-aliran dilihat telah berulah melanggar hukum, memecah persatuan nasional, dan menodai agama. Sejarah juga mencatat bahwa pada era sebelum 1965 ini, banyak muncul pertarungan ideologis yang kuat di kalangan masyarakat terutama antara warga PKI dengan NU.
Sejak pemilu pertama 1955, kekuatan PKI yang menguat di Jawa Timur membuat suasana memanas. Dilaporkan ada penyerbuan atas masjid Agung Surabaya oleh pemuda rakyat yang berada di bawah PKI. Dilaporkan juga adanya upaya mendiskreditkan agama dengan cara membakar kitab suci dan kitab-kitab lain selama periode ini. Sebagian masyarakat abangan juga dituduh melakukan penghinaan terhadap Islam lewat pementasan budaya rakyat mereka dalam bentuk kesenian reog, ludruk dan ketoprak karena lakon-lakon yang dipilih tidak agamis. Ternyata ketetapan sementara dari Sukarno kemudian malah dikuatkan Suharto menjadi UU guna memperkuat posisinya. Karenanya, Indonesia sesudah 1969 ditandai dengan menguatnya suatu wacana baru yakni penistaan agama yang berjalan hingga kini.
Dalam UU No.9 tahun 1969 termaktub penetapan presiden dan peraturan presiden yang disahkan sesudah diajukan ke DPR. Klausa anti penistaan agama juga dimasukkan ke dalam penal code Indonesia. Seperti ditunjukkan pada masa-masa kemudian, UU penistaan agama memang menjadi alat ampuh dan motif menghancurkan lawan-lawan politik dari pihak penguasa. Wacana baku itu juga masih dianggap penting sampai sekarang.
Tokoh Papua Chirst Wamea dalam status media sosialnya baru-baru ini mengatakan maraknya kasus penistaan agama, penghilangan frasa agama, penghilangan tokoh NU dalam sejarah Indonesia adalah berkaitan dengan munculnya kebangkitan komunisme di Indonesia. Penistaan agama tampaknya menjadi soal elemen politis, yaitu pertarungan ideologi antara Islam dan militer yang menjadi landasan dukungan bagi Suharto Orde Baru. Sesudah 1965-1966 Suharto melarang komunisme, namun di pihak lain, ia mengekalkan Undang-Undang Penistaan agama yang awalnya dimaksudkan hanya sementara tersebut. Dengan alasan demi menjaga ketertiban umum, ia malahan menggunakan pasal 165 dan 165a sebagai tameng menghindari lawan politiknya yang dianggap melakukan penghinaan terhadapnya dan Pemerintahannya.”
Pada beberapa kesempatan Suharto mengerahkan kekuatan terhadap para aktivis muslim sampai akhir masa kekuasaanya pada 1998. Pada September 1984, militer menembaki demonstran di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta karena para aktivis telah memprotes 4 rekannya yang ditahan karena terlibat pertengkaran dengan tentara yang masuk Masjid tanpa lepas sepatu. Pada Februari 1989, sesudah militan muda Darul Islam menyerang dan membunuh dua tentara, militer juga membalas dengan serangan ke sebuah kampung di Talangsari, Sumatera Selatan. Kelompok Darul Islam di Talangsari yang cenderung eksklusif dianggap telah menistakan agama karena mempraktikkan ritual yang berseberangan dengan ajaran Islam. Lusinan aktivisnya kemudian dibunuh, dan 94 dari mereka ditahan.
Sebenarnya ada cukup banyak banyak kasus penistaan agama yang muncul selama Orde Baru. Beberapa kasus besar antara lain kasus HB Yasin (1969), kasus Arswendo Atmowiloto, kasus Lia Eden dan masih banyak lagi seterusnya, dan dikenakan dengan KUHP pasal 156 (a) yang berbunyi: Melarang setiap orang yang dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang bersifat permusuhan, penyalahgunaan, atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia atau dengan maksud supaya orang tidak menganut agama apapun. Pelanggaran Pasal 156 (a) dipidana penjara selama-lamanya lima tahun.
Penistaan agama sesudah era Reformasi
Selama masa pemerintahan Suharto, tercatat hanya ada 10 orang yang dituntut dengan Undang-Undang itu. Namun sebaliknya, selama 15 tahun terakhir lebih dari 106 orang sudah dituntut dan dinyatakan bersalah lewat pasal penistaan agama. Banyaknya orang yang dituduh dan ditahan karena pasal penistaan agama sesudah Reformasi 1998 adalah seiring dengan kemunculan identitas politik Islam dalam ruang demokrasi Indonesia sejak era reformasi yang selalu berusaha menghidupkan unsur Islam dalam politik Indonesia. Karena keprihatinan akan perkembangan yang terjadi, pada 20 Oktober 2009, ada usaha mengajukan pengujian UU Penodaan Agama ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Alasan bahwa Undang-Undang itu terikat dalam situasi darurat masa Sukarno dan bersifat sementara, sehingga tidak relevan lagi dan harus dicabut karena berpotensi menciptakan pemerintahan terpusat, otoriter dan sentralistik seperti era Sukarno. Usaha yang dimotori beberapa aktivis hak asasi manusia dan tokoh-tokoh publik seperti Arswendo Atmowiloto, Sardy, Franz Magnis Suseno, Luthfi Assyaukanie, J.E. Sahetapy, Soetandyo hingga tokoh NU Hasyim Muzadi itu menemui jalan buntu. Pengadilan memutuskan pada 2013 bahwa hukum penistaan agama harus tetap dijalankan.
Rumadi Ahmad, Ketua Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Nahdlatul Ulama (Lakpesdam NU) menilai motif politis selalu ada di belakang penerapan Undang-Undang ini. Berdasarkan pengamatannya, berbagai tuduhan penistaan agama sejak awal Orde Baru hingga sekarang lahir karena adanya tekanan massa dan semua bersifat subjektif. Definisi penodaan agama selama ini tidak jelas dan pasal karet dikenakan kepada siapa saja, meskipun yang bersangkutan tidak punya intensi atau niat melakukan penodaan agama. Lebih jauh lagi, Pasal 156a dianggap memiliki kerangka pasal-pasal yang menjurus pembelaan negara pada Tuhan. Padahal seharusnya ada batas-batas di mana negara tak boleh intervensi soal kehidupan beragama sebab agama berada di ranah private.
Peraturan ini juga melindungi Tuhan yang dipercayai oleh 6 agama mayoritas saja yaitu Budha, Islam, Kristen, Katolik, Hindu, dan Khong Cu (Confusius) sesuai pasal 29 ayat 2 UUD 1945. Agama atau kepercayaan minoritas lain, yang lebih rentan diserang, justru tidak mendapat perlindungan. Direktur Riset Setara Institute Ismail Hasani menilai, penafsiran atas pasal 156a tersebut bercabang. Pasalnya justru tidak melindungi minoritas, tapi untuk menghajar mereka.Agama sempalan malah dibakar. Undang-Undang ini dianggap berbenturan dengan Konvenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik yang diratifikasi melalui UU No.12 tahun 2005. Isi pasal 18 UU itu terkait melindungi kebebasan berpikir, berhati nurani, dan beragama. Sebaliknya, dalam Rancangan KUHP (RKUHP), pemerintah justru memecah pasal 156 dan 156a menjadi 6 pasal. Peraturan tersebut diselipkan di BAB VII RKUHP, terkait tindak pidana terhadap agama dan kehidupan beragama, terdiri dari pasal 348 hingga 353.
Masa lalu dan Hadirnya Media Sosial
Harus dicatat di sini bahwa represi terhadap minoritas selama ini di Indonesia, terutama atas kebebasan mereka mengemukakan pendapat telah makin mendapatkan tempat yang lebih luas berkat reformasi, demokratisasi dan munculnya kanal-kanal komunikasi dalam media sosial secara global. Bila melihat kebanyakan kasus penodaan agama dahulu selalu diiringi oleh desakan masa di masa lalu, era di mana tuduhan dilontarkan atas aksi yang hanya terjadi di dunia maya.lewat kasus youtuber ini, telah dimulai. Dulu, setiap kasus penistaan agama selalu diawali demonstrasi, pengerahan massa, sejumlah orang, tindakan aparat hukum, penetapan tersangka, pengadilan dan hukuman, seperti nyata tampak pada munculnya kasus penistaan agama oleh Ahok. Tampaknya hal ini akan berubah, di mana orang yang menuliskan di media sosial mulai dapat dengan gencar dituduh dan dikejar hingga ke luar negeri.
Direktur Eksekutif Human Rights Working Group (HRWG) Muhammad Hafiz menganggap diksi “penghinaan” terhadap agama sebenarnya susah diukur karena subyektif. Subjektivitas itu bisa berbahaya dalam konteks hukum pidana, karena mudah disalahgunakan di luar kepentingan hukum. Upaya memberikan edukasi dan sosialisasi dalam berinternet oleh polisi siber dan polisi virtual sepertinya masih jauh dari apa yang diharapkan untuk dapat mencegah terjadinya ujaran-ujaran penodaan agama seperti kasus terakhir ini.
Tantangannya jelas besar. Sebab dalam berbagai platform media sosial selalu pernyataan-pernyataan bahwa masyarakat semakin cerdas dan makin merasa perlu melihat akuntabilitas dan transparansi penerapan hukum oleh polisi, termasuk penodaan agama. Juga ada harapan-harapan dari netizen agar penegak hukum tidak reaktif dan menerapkan asas keseimbangan dan keadilan dalam menangani tuduhan-tuduhan terhdap penistaan agama. Mereka mengharapkan tindakan mereka tidak hanya untuk membela kepentingan warga agama mayoritas tetapi lupa menangani persoalan yang sama bagi agama-agama atau kepercayaan yang bukan mayoritas. Seperti pengamat dalam negeri, banyak pengamat luar negeri yang juga heran dengan ironi keagamaan yang sedang berlaku di Indonesia.
Menurut antropolog University of Newcastle Lina Williams, agama itu sejatinya mengajarkan keramahan. Namun di Indonesia agama justru memiliki kecenderungan mengutamakan kemarahan dan bukan sebaliknya. “Saya juga mempertanyakan mengapa makin banyak saja kelompok sumbu pendek, bahkan tidak sedikit yang berasal kalangan milenial berpendidikan di Indonesia? Seharusnya mereka justru menjadi pihak yang mampu mengubah situasinya menjadi lebih baik.”
Pengamat Indonesia dari University of Sydney yang juga pengikut aliran kepercayaan Pangestu Pradipto Niwandono mempertanyakan gejala ekspresi kemarahan yang berlebihan seputar komoditas isu-isu agama yang dibawa ke ranah maya di Indonesia. Di Amerika atau Australia sudah lama ada debat saling kritik, saling hujat di dunia maya yang tidak dibawa ke luar karena sulit untuk membuat seseorang menjadi tersangka hanya karena membuat ujaran yang menyinggung kepercayaan seseorang. “Di Indonesia kok malah bisa ditahan, kenapa tidak dibarengi dengan debat juga? Apakah yang mereka lakukan tidak bertentangan dengan asas kebebasan berekspresi Bagaimana jika youtuber ini sudah bukan warganegara Indonesia lagi dan kebebasan berekspresinya dilindungi oleh negara baru yang dia adopsi sekarang?” demikian argumennya.”
Yang jelas Isu agama di Indonesia cenderung masih mudah memantik emosi sosial masyarakatnya. Penegak hukum di Indonesia tampak bereaksi amat berlebihan karena kasusnya menjadi perhatian publik sehingga secara politis perlu menanganinya walaupun penerapan pasal penodaan agama di media sosial ini sebenarnya sulit dan lebih bermotif di luar kehendak hukum itu sendiri. Akhirnya, perlu disadari bahwa banyak pengguna siber, apakah youtuber atau social influencer yang memang sengaja menciptakan sensasi untuk menaikkan view dan rating mereka dengan sengaja. Apakah usaha ini telah menyebabkan keresahan masyarakat yang terukur, adalah soal lain yang harus mendapat perhatian dalam merespon tuduhan-tuduhan penodaan agama di masa depan. (Isk – dari berbagai sumber)