Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri berencana untuk memberikan badge award atau hadiah berupa lencana kepada masyarakat yang aktif dalam melaporkan dugaan tindak pidana yang terjadi di media sosial. Sayangnya, ide tersebut menuai kritikan dari sejumlah piha karena dapat memancing perpecahan masyarakat.
Jakarta, 21 Maret 2021. Direktur Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri Brigadir Jenderal Slamet Uliandi pun menjelaskan jika lencana tersebut bukan untuk membuat masyarakat saling melapor. “Diberikan kepada masyarakat yang dapat memberikan informasi yang terverifikasi, khususnya untuk kasus yang tidak terungkap,” kata Slamet kepada wartawan di Mabes Polri, Jakarta, Kamis (18/3/2021). “Tapi kalo kasus hanya saling lapor yang tentunya kami bisa ungkap, bukan sesuatu hal yang luar biasa.” Slamet pun menjelaskan jika informasi mengenai suatu kejahatan itu nantinya bisa diadukan ke platform-platform resmi milik siber polri. Seperti lewat direct message (DM) ke akun instagram resmi Polri @ccicpolri.
Beberapa informasi yang dimaksud oleh Slamet ialah berkaitan dengan kasus-kasus pembobolan internet, penipuan teknologi keuangan, ataupun informasi terkait akun-akun anonim pelaku criminal di jagat maya. Nantinya, informasi tersebut akan diverifikasi lebih lanjut dan dilakukan penyelidikan oleh aparat kepolisian. Apabila kasus tersebut dapat terungkap, maka Polri akan memberikan penghargaan itu. “Kami cek pelakunya ini, kami sidik memenuhi unsur dan dipidanakan, setelah putus (pengadilan), baru kami kasih digital badge-nya. itu bentuk penghargaan kami kepada pemberi informasi,” jelasnya.
Meski demikian, ia mengatakan jika pihaknya belum menentukan lebih lanjut mengenai mekanisme penilaian terhadap informasi-informasi yang dimaksudkannya itu. Pasalnya, pihak kepolisian masih masih menyusun sejumlah indikator penilaian. Sebelumnya, Kabag Penum Divisi Humas Polri Kombes Ahmad Ramadhan menegaskan badge award yang dicanangkan Dittipidsiber merupakan penghargaan. Pasalnya, masyarakat bisa membantu Polri dengan melaporkan kejahatan-kejahatan yang ada di internet.
Tadi saya sampaikan, pertama apakah dia memberikan informasi, di internet atau di dunia maya, atau memberikan informasi tentang kejahatan yang ada di internet, tapi langsung diberikan kepada Polri,” kata Ramadhan di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Rabu (17/3/2021).”Jadi ada dua yang diberikan, misalnya. Dia menyampaikan lewat internet, kedua dia langsung ke Polri. Jadi ini penghargaan, saya ulangi, penghargaan dari Direktorat Siber kepada masyarakat yang membantu Polri dalam memberikan informasi kepada Polri, khususnya Direktorat Siber,” sambungnya.
Tuai Banyak Kritik
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid pun mengkritisi rencana Tim Siber Bareskrim Polri memberikan badge award ini. Kasus penangkapan AM, warga Slawi terkait unggahan soal Walikota Solo Gibran Rakabuming (putra Presiden Jokowi), sudah menunjukkan kian menyempitnya ruang kebebasan berpendapat dan berekspresi di Indonesia. “Pemberian badge award berpotensi membuat warga semakin takut mengungkapkan pendapat, terutama jika pendapatnya kritis terhadap pejabat. Apalagi Revisi UU ITE belum masuk prioritas anggota Dewan. Warga yang mengungkapkan pendapatnya di media sosial akan terus berada di bawah ancaman pidana selama pasal-pasal karet di UU ITE belum direvisi,” kata Usman.
Dia juga menilai, badge award dapat memicu ketegangan dan konflik sosial. Kejadian penangkapan yang menimpa AM pun bisa berulang. Usman menegaskan, masyarakat seharusnya tidak perlu takut ancaman pidana atau paksaan meminta maaf, karena mengungkapkan pendapatnya secara damai. Pada sisi lain, Presiden Jokowi harus membuktikan pernyataannya yang akan memberi rasa keadilan kepada masyarakat, terutama dalam menyampaikan pendapat, kritik atau ekspresi lain yang sah.
Amnesty International mencatat sepanjang 2021 setidaknya ada 15 kasus dugaan pelanggaran hak atas kebebasan berekspresi dengan menggunakan UU ITE dengan 18 korban. Sementara pada 2020, ada 119 kasus dengan 141 korban, termasuk 18 aktivis dan empat jurnalis. Sementara itu, Peneliti Kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISeSS), Bambang Rukminto, setuju dalam kasus AM dan Gibran, tindakan polisi cenderung berlebihan. “Dalam kasus Gibran ini, kemarin saya membaca pernyataan Kapolres yang sudah meminta pendapat dari ahli bahasa dan lain-lain, hal seperti itu seharusnya dilakukan di pengadilan, bukan oleh kepolisian. Bagaimana obyektivitas ahli bahasa dalam konteks itu, sehingga bisa diterima masyarakat,” kata Bambang.
Ada beberapa hal yang harus menjadi perhatian terkait aktivitas polisi virtual, kata Bambang. Polisi, ujarnya, sudah memiliki Direktorat Kejahatan Siber, yang kinerjanya bisa difokuskan dan dikembangkan lagi. Selain itu, mengingat tugas pokok dan fungsi kepolisian terkait keamanan, ketertiban dan penegakan hukum, ada kejahatan virtual yang kurang diperhatikan. “Kejahatan di dunia virtual itu kan sudah banyak, tampak nyata dan merugikan masyarakat. Ini yang seharusnya lebih ditekankan, daripada mengimplementasikan UU ITE sementara UU itu sendiri masih menjadi polemik,” tambahnya.
Kejahatan dunia virtual yang disebut Bambang, antara lain adalah penipuan, investasi keuangan menggunakan skema ponzi, dan penggunaan sejumlah aplikasi yang membuat masyarakat dirugikan secara ekonomi. Pelakunya menyasar korban melalui internet, dan kerugian sudah jelas dalam banyak kasus namun upaya pemberantasan belum terlihat. Bambang juga mengingatkan, komentar AM terhadap Gibran tidak memberikan efek apapun dan tidak ada yang dirugikan. Masyarakat telah paham bahwa Gibran memenangkan pilkada dengan demokratis dan legal.
Polisi harus menetapkan batasan yang jelas, antara hoaks, ujaran kebencian, sarkasme, satir, atau kritik, sejauh mana dilarang dan mana yang bisa ditoleransi. Penafsiran terhadap UU ITE tidak bisa dilakukan sendiri oleh polisi. Selain itu, tindakan yang diambil dalam kasus Gibran, kata Bambang, akan melahirkan tuntutan serupa pada kasus lain, menyangkut aktor-aktor politik maupun masyarakat biasa.“Polisi sekarang dituntut konsisten. Jangan sampai ketika kasus ini menimpa Gibran dilakukan tindakan. Bagaimana dengan kasus lain,” ujarnya.
Polisi virtual dalam kasus Gibran telah membuat delik aduan menjadi delik hukum. Sementara banyak kasus delik hukum tidak disentuh. Banyak yang menilai bahwa keberadaan penghargaan semacam itu pada saat UU ITE dan Polisi Virtual belum sepenuhnya tuntas justru bisa memperburuk situasi dan polarisasi konflik pada masyarakat. Terlebih lagi, revisi UU ITE belum masuk di meja prioritas (prolegnas) para wakil rakyat. Adanya lencana itu akan membuat publik terus berada di bawah ancaman pidana selama pasal karet belum direvisi.
Hindari Polemik dan Upaya Kontraproduktif
Usai mendapat kritik bertubi-tubi dari berbagai elemen masyarakat, alangkah bijaknya apabila pemerintah dan DPR menuntut agar aparatur negara untuk menghindari upaya kontraproduktif. Wacana pemberian badge awards juga dapat memicu ketegangan serta konflik sosial. Akan muncul kekhawatiran kasus penangkapan warganet asal Slawi akibat mengkritik sosok birokrat bisa terulang. Meskipun pemerintah telah berulang kali mengaku ingin melindungi publik, belum terlihat langkah nyata dari negara untuk membuktikan komitmennya tersebut.
Akan lahir banyak kemungkinan aduan akibat unsur ketidaksukaan saja. Badge award membuat masyarakat semakin terpicu serta berani melaporkan konten yang mereka nilai tidak sejalan dengan spektrum politiknya. Dalam konteks politik, pemberian badge award dapat memperburuk polarisasi konflik masyarakat dalam media sosial. Seluruh akun media sosial bukan hanya diawasi oleh polisi, melainkan juga oleh sesama warga negara. Tren lopar-lapor akan terus meningkat. Usai dimbau langsung oleh Presiden Joko Widodo agar Kapolri lebih selektif dalam menerima aduan terkait UU ITE, kenapa mereka justru semakin gencar berperan sebagai ‘hakim’ yang menentukan fakta dari unggahan masyarakat di medsos?
Hal yang sama juga pernah diutarakan oleh Kapolri Listyo Sigit Prabowo agar perkara pencemaran nama baik harus dilaporkan sendiri oleh individu yang merasa jadi korban. Daripada mengamankan warga negara yang tak berdosa, kenapa Polisi Virtual tidak memfokuskan untuk menangani kejahatan siber yang marak terjadi di media sosial? Taruhlah penipuan online berkedok akun layanan konsumen. Ketimbang memberikan badge award kepada pelapor yang bisa menimbulkan konflik baru, kenapa Polisi Virtual tidak memberikan penghargaan kepada orang-orang yang melaporkan tindak penipuan daring yang jelas-jelas sudah merugikan masyarakat luas? (EKS/berbagai sumber)