Tim Polisi Virtual Polresta Surakarta menangkap warga Slawi, AM yang menulis komentar dinilai bermuatan hoaks terkait Walikota Solo, Gibran Rakabuming Raka. Polisi menciduk tersangka untuk berikan edukasi bijak bermedsos. Setelah meminta maaf, AM dilepas lagi.
Jakarta, 17 Maret 2021 – Melalui akun instagramnya, AM berkomentar di unggahan akun @garudarevolution tentang Gibran yang meminta semifinal dan final Piala Menpora digelar di Solo. “Tau apa dia tentang sepak bola, taunya dikasih jabatan saja,” demikian tulis AM di akun pribadinya @arkham_87 pada Sabtu (13/3/2021) pukul 18.00 WIB. Polisi baru melepaskan pria yang masih menempuh pendidikan di Yogyakarta itu setelah menghapus komentarnya dan meminta maaf. Permintaan maaf dibuat secara terbuka melalui akun resmi Instagram Polresta Surakarta, @PolrestaSurakarta.AM meminta maaf karena telah menyinggung Gibran dan warga Kota Solo melalui video yang diunggah akun resmi Instagram @polrestasurakarta. “Saya menyesal dan tidak akan mengulanginya lagi. Apabila saya mengulanginya,” demikian ucap AM di video tersebut.
Sementara itu, Kapolresta Kota Solo, Kombes Pol Ade Safri Simanjuntak mengatakan komentar AM dianggap mengandung unsur hoaks karena menyebut Gibran mendapat jabatan dari bapaknya, Presiden Joko Widodo. Menurutnya, komentar tersebut tidak benar karena Gibran menjabat Wali Kota Solo karena memenangkan Pilkada Kota Solo tahun 2020.”Komentar tersebut sangat mencederai KPU, Bawaslu, TNI, Polri, dan seluruh masyarakat Kota Solo yang telah menyelenggarakan Pilkada langsung sesuai UUD 1945,” katanya.
Ade mengatakan tim polisi virtual telah berkonsultasi dengan ahli bahasa, ahli pidana, dan ahli ITE sebelum menangkap AM. Tak hanya itu, polisi virtual juga telah menghubungi AM melalui Direct Message (DM) di Instagramnya. “Langkah-langkah persuasif tetap kita kedepankan,” katanya. Ade mengaku AM ditangkap hanya untuk meminta klasifikasi.
Menurutnya, AM mengakui komentar tersebut ditujukan kepada Walikota Solo, Gibran Rakabuming Raka. Polresta, lanjutnya meminta AM untuk menghapus komentarnya dan meminta maaf kepada Gibran dan warga Solo secara terbuka.”Yang bersangkutan telah menghapus komentar tersebut dan meminta maaf. Maka pendekatan restorative justice kita kedepankan dalam penanganannya,” katanya.
Teguran Polisi Virtual
Namun penangkapan ini adalah yang pertama mendapat sorotan luas karena melibatkan Gibran, putra Presiden Joko Widodo. Polisi mengatakan penangkapan ini tak dilakukan semata-mata karena sosok Gibran, tapi demi menciptakan apa yang mereka sebut sebagai ruang digital yang sehat. Gibran sendiri mengaku tidak pernah melaporkan pemuda itu.
Sedangkan Kapolresta Solo mengatakan pada hari Selasa (16/3/2021), bahwa pemuda itu tidak ditahan dan hanya dipanggil untuk dimintai keterangan dan diedukasi bermedsos yang baik dan benar. Ia menambahkan yang bersangkutan telah meminta maaf dan mengakui kesalahannya. Sehingga, AM tidak diproses hukum UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
“Pendekatan restorative justice kami utamakan dalam penanganan ini. Artinya, AM tidak diproses hukum. Diharapkan dapat menjadi pembelajaran bagi pengguna medsos lainnya agar bijak dalam bermedsos,” papar dia.Ia juga membantah bahwa polisi bersikap anti kritik.”Bedakan antara kritik, tendesi tertentu dan seterusnya. Kita bedakan karena yang bersangkutan itu mengatakan jabatan itu pemberian. Polisi, katanya, sudah melakukan hal serupa kepada pihak-pihak yang dituding menyebarkan hoaks dan pesan kebencian dalam tiga kasus lainnya.
Walikota Solo Tak Pernah Melaporkan Penghinanya
Gibran sendiri mengaku dia tak pernah melaporkan pemuda itu.”Saya dari dulu kan sudah sering di-bully, dihina, saya kan nggak pernah melaporkan satu pun sekali pun. “Kan orangnya juga nggak dikenai pidana apa-apa, ya diedukasi saja. Semuanya dimaafkan saja, tapi ya tolong hati-hati kalau di sosial media,” ujarnya.
Terkait kritikan soal dia tak memahami sepak bola, Gibran mengatakan ia ingin agar kegiatan Menpora dilakukan di Solo demi membangkitkan ekonomi warga.”Kalau kecintaan kita sama bola ya gede sekali,” ujarnya seraya membanggakan fasilitas sepak bola di wilayahnya. Ia menambahkan tak sakit hati dengan kritikan di media sosial itu.”Sekali lagi, saya itu nggak pernah sakit hati, baper atau melaporkan, saya nggak pernah loh melaporkan sekali pun. Semuanya dimaafkan. Yg mem-bully saya sekeluarga, bapak, ibu, semuanya dimaafkan,” katanya.
Tak Sesuai Hukum
Peristiwa ini dikritik oleh Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Asfinawati, yang menyebutkan tindakan kepolisian tak sesuai hukum. Ia khawatir hal ini akan membuat banyak orang lebih mudah dikriminalisasi. “Ini akan jadi justifikasi kalau orang dikriminalisasi ‘kan sudah diperingatkan, kamu aja yang nggak mau minta maaf’. Padahal yang menafsirkan harus minta maaf itu polisi.
“Artinya polisi mengambil ranah pengadilan. Di sini tidak ada proses hukum, yang mencakup gelar perkara, pemeriksaan, juga pembuktian. Kan proses polisi virtual nggak ada begitu, sepihak langsung di DM (direct message) polisi virtual,” ujarnya. Di sisi lain, Kapolresta Surakarta mengatakan apa yang dilakukan polisi virtual adalah demi mewujudkan keadilan restoratif, atau yang biasa dilakukan di luar pengadilan, demi menciptakan apa yang disebutnya sebagai ruang digital yang sehat dan bersih.
Polisi virtual sendiri dibentuk oleh Polri demi menekan kasus-kasuskriminalisasi akibat pelanggaran Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Namun, menurut Asfinawati, ketua YLBHI, peristiwa penangkapan itu menunjukkan bahwa alih-alih mengurangi kriminalisasi, keberadaan polisi virtual malah bisa membuat ruang kebebasan berekspresi masyarakat semakin sempit.
Masyarakat Jadi Takut Berpendapat
Menurut catatan Perkumpulan Pembela kebebasan berekspresi Asia Tenggara, SAFEnet, setidaknya 125 pemilik akun sudah ditegur oleh polisi virtual, sejak tim itu beroperasi akhir Februari lalu. Direktur Eksekutif SAFE Net, Damar Juniarto, melihat apa yang dilakukan polisi virtual memasuki ruang pembicaraan publik terlalu jauh dan menyebabkan sejumlah masyarakat takut berpendapat di media sosial.
Ia menyebut negara bertindak seperti apa yang disebutnya sebagai ‘Orwellian State’ yang terus-menerus memantau apa yang dilakukan warganya. Bila ada yang keliru, langsung dikoreksi. “Ini justru malah menimbulkan ketakutan baru, di mana polisi bisa hadir sewaktu-waktu di ruang privat (digital) warga. Tanpa kehadiran polisi langsung saja, warga sudah jeri dengan ancaman UU ITE, apalagi dengan cara yang seperti ini,” ujarnya.
Pendekatan Restorative Justice
Sedangkan menurut analisis penulis, komentar AM cenderung hoaks karena dalam penetapan Wali Kota Solo telah melalui mekanisme tahapan pemilihan kepala daerah atau Pilkada. Sebelum meminta klarifikasi dari AM, kepolisian sudah berkoordinasi dengan para ahli antara lain ahli bahasa, ahli hukum, dan ahli ITE. Langkah kepolisian merupakan implementasi Program Prioritas Kapolri dan Instruksi Kapolri yang tertuang dalam Surat Edaran bernomor SE/2/11/2021 untuk memastikan penegakan hukum yang berkeadilan dengan cara mengedepankan edukasi dan langkah persuasif di dalam menangani perkara berkaitan dengan UU ITE.
Penerapan restorative justice dalam menangani perkara UU ITE ini memegang teguh prinsip bahwa hukum pidana merupakan upaya terakhir dalam penegakan hukum dalam penyelesaian perkara. Sementara itu, AM mengakui komentar di akun sebanyak 650.000 pengikut ia tulis pada Sabtu (13/2/2021). Ia pun meminta maaf kepada warga Solo dan Wali Kota Solo. (EKS/berbagai sumber)