Latarbelakang sejarah dengan elemen hubungan sipil dan militer telah mempengaruhi model penanggulangan bencana di Indonesia. Kehadiran TNI dan Polri sebagai responder utama dan manajemen bencana ditetapkan dalam Undang-Undang. Suatu koordinasi dan komunikasi yang baik antara Pemda, Polri dan TNI dengan mengikutsertakan masyarakat menjadi tantangan yang harus disinergikan.
Selama ini sistem manajemen bencana di Indonesia masih kurang jelas membuat kategori bencana sehingga menimbulkan kebingungan koordinasi. Apalagi kapasitas Pemda tidak seluruhnya baik dalam merespon secara lokal.
Tingkat kesiapan bencana dan perencanaan bencana di setiap pemerintah daerah adalah berbeda-beda. Masih perlu adanya kepastian bahwa sipil untuk dapat menyeimbanginya kekuatan-kekuatan di antara kepolisian dan militer.
Jakarta, 12 Maret 2021. Indonesia berada di lempengan bumi antara Samudra Hindia dan Samudra Pasifik. Karena itu riskan dengan munculnya bencana alam termasuk fenomena siklon La Nina. Indonesia tercatat satu dari 25 negara di dunia yang paling beresiko terjadinya bencana besar dan kecil. Data BNPB menyebutkan selama satu tahun terakhir Indonesia dilanda 3,523 kali bencana. Sederetan bencana nasional yang terjadi akhir-akhir ini, antara lain banjir Kalsel dan gempa bumi di Sulbar. Kerugian bencana tidak saja meliputi ekonomi, namun juga kemanusiaan karena banyaknya korban yang tewas.
Kepala Staf Presiden RI Moeldoko menyatakan bahwa bencana-bencana alam tidak bisa dengan mudah dikendalikan. Namun Pemerintah berusaha terus menyiapkan perangkat untuk mengantisipasinya. Soft instrumen atau ketersiapan suprastrukturnya tersedia, Ada Basarnas, BNPN dan lembaga lainnya. Direncanakan mereka akan diperkuat sampai ke daerah-daerah. Instrumen SOP juga telah dibuat dan dilatih dari waktu ke waktu sebagai bagian upaya penanggulangan secara konprensif. Lewat BNPB, Pemerintah berupaya melakukan manajemen risiko bencana yang meliputi aspek pencegahan, mitigasi dan kesiapsiagaan. Segi manajemen kedaruratan melingkupi tanggap darurat bencana, sedangkan manajemen pemulihan termasuk rehabilitas dan rekonstruksi.
Upaya penanggulangan bencana yang melibatkan Polri tampaknya masih dianggap perlu ditingkatkan. Wakil Ketua Komisi III DPR Ahmad Sahroni pada Januari 2021 meminta Polri berkonsentrasi penuh dalam membantu penanganan bencana alam di berbagai daerah. “Masih diperlukan penambahan tenaga, personil dan kecepatan bergerak agar penegakan keamanan dari Polri dapat dipastikan.” ujarnya.
Peran Polri
Menurut catatan hingga akhir 2020, pihak Polri sebenarnya sudah berupaya memenuhi tugas yang berkaitan dengan penanggulangan bencana alam secara maksimal. Polri telah mengerahkan semua kekuatan guna mengatasi dan memberi bantuan ditengah-tengah situasi menantang akibat kondisi cuaca ekstrim dan pandemi Covid-19. Di antara keterlibatan itu antara lain bantuan terhadap gempa bumi Lombok NTB (2019), peristiwa Tsunami di Palu Donggala Sulteng dan musibah jatuhnya pesawat Lion Air JT 610 di perairan Karawang Jabar.
Pihak TNI juga berkoordinasi dengn BNPB memberi dukungan kelancaran pelaksanaan kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi pasca bencana di Lombok. Polri ikut melakukan evakuasi korban, pendistribusian logistik, perbaikan instalasi air bersih, pembangunan MCK (Mandi Cuci kakus) serta pembersihan reruntuhan puing bangunan. Pihak Polri, berkoordinasi dengan BNPB melakukan penegakan keamanan dan ketertiban dalam pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi pasca bencana, sesuai Inpres No 5/2018 tentang percepatan rehabilitasi dan rekonstruksi di Lombok, NTB.
Polri pun terlibat aktif dalam bencana-bencana yang skalanya lebih kecil. Misalnya membantu evakuasi dan penanganan pascabencana di berbagai lokasi. Aksi pengamanan dilakukan di lokasi-lokasi pengungsian untuk pemenuhan penegakan hukum di dalam masyarakat, terutama untuk penyelamatan harta benda dan penegakan keamanan tempat penampungan dan proses penyaluran bantuan. Satuan Brimob Polda Sumatra Utara pada Desember 2020 dilaporkan mengevakuasi korban banjir Medan dengan bekerjasama dengan Pusat kedokteran dan kesehatan Polri. Mereka menerjunkan 4000 personal yang sudah dilatih DVI (Disaster victim investigastion). Selain perlindungan terhadap korban bencana banjir di lokasi penampungan dan pengungsian, Polri juga membantu pengaturan arus lalu lintas, membantu Posko Bencana di lokasi pelayanan dan penyaluran bantuan sembako.
Pada 2020, Polri menerjunkan lebih dari 2.500 personal Satuan Tugas Operasional kepolisian terpusat (Satgas Opspus) Aman Nusa II 2019 guna penanggulangan bencana dan konflik sosial sebagai langkah antisipasi bencana. Menurut Komandan Korp Brimob Brigadir Jenderal Abdul Rakchman Baso, tugas Satgas Opspus ini dibantu personal di masing-masing Polda di daerah dengan berkoordinasi dengan BNPB, Badan Nasional Pencarian dan pertolongan (BNPP) Badan meterorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) serta pihak TNI. Tugas-tugas siaga bencana, antisipasi kesiagaan dan simulasi penanggulangan bencana juga dilakukan Polres Sumenep pada Januari 2020.
Menurut Kapolres Sumenep AKBP Deddy Supriadi, aparat desa, TNI Dinas kesehatan kabupaten dan BPBD semua dilibatkan agar dapat membantu menyadarkan masyarakat agar siap siaga bencana. Sementara itu, personel Polri di Aceh Timur melakukan patroli hingga ke seluruh pelosok desa agar memberi kesan bahwa Polri hadir di sana. Demikian jelas Kapolres Aceh Timur AKBP Eko Widiantoro dalam apel kesiapsiagaan pencegahan dan penanggulangan bencana alam 2020.
Angin baru sejak 2021
Karena belum terbentuk, pada 2018 Polri pernah membahas standar operasional prosedur (SOP), sinergitas dan koordinasi bencana alam. Polri melakukan analisa dan evaluasi soal penanganan bencana alam, dengan berkoordinasi dengan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan membuat Pokja (kelompok kerja) penanganan bencana. Jelas Wakil operasi kepolisian Terpusat (Wakaopspus) Aman Nusa II Irjen Pol Sudjarno. Sebagai pihak yang bertugas memberi perlindungan dan pertolongan kepada yang terkena musibah, Ia menyimpulkan bahwa pembenahan sumber dana manusia di internal Polri masih perlu agar bisa siap ketika terjadi bencana.
Tampaknya harapan peningkatan penanganan bencana alam tersebut mendapat
angin segar. Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo, ketika menjalani uji kepatutan dan kelayakan (fit and proper test) calon Kapolri di DPR 20 Januari 2021 lalu, sudah merencanakan melakukan peningkatan anggaran kontinegensi, dan fasilitas sesuai kebutuhan daerah rawan bencana. Program ini merupakan bagian program keamanan sebagai prioritas nasional. Sedangkan tiga kegiatan lainnya adalah persiapan infrastruktur dan sumber daya manusia.
Mengoptimalisasi mitigasi bencana
Kini persoalannya adalah bagaimana dapat mengoptimalisasi mitigasi bencana lewat peningkatan kerjasama dan koordinasi dengan semua pihak? Presiden Joko Widodo pada Maret 2021 di Jakarta sudah menyinggung bahwa penanganan bencana harus dilakukan bersama. Kebijakan mitigasi mengurangi risiko bencana harus terintegrasi dari hulu ke hilir, menghubungkan Pemerintah Pusat dan daerah. “Tidak boleh ada ego sektoral, tidak ada ego daerah, Semua terintegrasi.” Kata Jokowi. Cara aparat kepolisian di Indonesia dalam menangani bencana alam tidak selalu sama dibanding negara lain. Karenanya penting melihat bagaimana mitigasi bencana bisa dioptimalisasikan dengan belajar dari negara lain.
Di Selandia baru misalnya, polisi hanya berfokus pada tugas mendukung operasi pencarian dan penyelamatan bencana dengan dibantu oleh Urban Search and Rescue (USAR). Fungsi utama menjaga penegakan hukum dan membantu proses identifikasi korban (DVI). Di negara bagian NSW Australia, polisi hanya terbatas untuk membantu pada proses penegakan hukum di masyarakat. Pemerintahnya sudah memiliki badan khusus yang menangani masalah bencana. Dikenal dengan badan bernama EMPLAN (NSW State Emergency Management Plan) yang menentukan mengenai bagaimana penanganan dan siapa melakukan apa. Selan Emergency service, polisi dilibatkan untuk membantu keselamatan dari komnitas. Misalnya kebakaran utan, banjir atau Tsunami.
Pihak kepolisian dalam tugasnya harus bekerjasama dengan dinas ambulan, dinas kebakaran dan Dinas Gawat Darurat (NSW State Emergency Service). Juga diterapkan apa yang disebut Volunteers in Policing (VIP) untuk membantu tugas administrasi yang tugasnya tidak berkompetisi dengan peran kepolisian. Para voluntir ini terdiri dari berbagai ahli yang bertugas membantu dukungan terhadap korban, dan menjadi penghubung masyarakat. Tugas dan tanggung jawab kepolisian di Belanda memiliki kesamaan dengan di Australia. Yang bertanggung jawab adalah pemerintah, dinas kebakaran, dinas kesehatan kota dan polisi. Tentara bisa saja ditugaskan. Khusus untuk polisi tugasnya hanya menjamin bahwa dinas kebakaran dan ambulan bisa melaksanakan kerjanya dengan baik. Polisi bisa membantu mengidentidikasi lewat tim identitikasi untuk melakukan penyelidikan. Proses evakuasi lebih banyak dilakukan oleh tentara lewat persetujuan Departemen Pertahanan.
Jelaslah, Polri bertugas sama pada tingkat dasar bertindak yakni sebagai aparat penegak hukum dalam penangan bencana di Indonesia, seperti umumnya di tempat-tempat lainnya seperti diungkapkan ahli kepolisian Vernon Herron (2015). Selama masa bencana, personal Polri tidak hanya meneruskan cara agar masyarakat aman dari penjarahan dan perusakan properti juga untuk mengevakuasi masyarakatnya dan membantu teknik penyelamatan kehidupan. Namun ada banyak pula perbedaan dan nuansa-nuasanya. Menurut penilaian dunia internasional atas respon Indonesia dalam menangani masalah bencana, tugas yang diberikan kepada TNI untuk terlibat langsung dalam merespon bencana maupun dalam proses pemulihan dan rehabilitasi lebih kuat daripada Polri. Hal ini diungkapan dalam ‘Civil-military-police coordination in disaster management: Perspectives from SouthEast Asia Countries’ di mana membahas juga tentang Indonesia.
Hal ini karena latarbelakang sejarah Indonesia yang tidak sama dengan negara tempat lain, mengingat adanya hubungan antara militer-sipil yang khas. Latarbelakang sejarah Indonesia dengan elemen hubungan sipil dan militer telah mempengaruhi model penanggulangan bencana di Indonesia. Kehadiran TNI dan Polri sebagai responder utama dan manajemen bencana sudah ditetapkan di dalam Undang-Undang. Tidak seperti di negara lain misalnya, pihak kepolisian di Indonesia memiliki kaitan dengan tanggungjawab kluster logistik yang tidak dijumpai di negera lainnya. Suatu koordinasi dan komunikasi yang baik antara Pemda, Polri dan TNI dengan mengikutsertakan masyarakat menjadi tantangan yang harus selalu disinergikan dan ditingkatkan khususnya di Indonesia.
Selama ini sistem manajemen bencana di Indonesia masih kurang jelas membuat kategori bencana sehingga menimbulkan kebingungan koordinasinya. Apalagi kapasitas Pemda tidak seluruhnya baik dalam merespon secara lokal. Kunci utama di Indonesia adalah soal sinergitas dan efektivitas koordinasi dalam merespon bencana di antara aktor-aktor yang terlibat di dalamnya. Dilaporkan pula bahwa tingkat kesiapan bencana dan perencanaan Bencana di setiap pemerintah daerah adalah berbeda-beda. Pendeknya, masih perlu adanya kepastian bahwa sipil untuk dapat menyeimbanginya kekuatan-kekuatan di antara kepolisian dan militer.
Tantangan Bencana Alam Era baru
Terlepas dari tantangan yang khas itu, baik di Indonesia maupun dunia sebenarnya sedang menghadapi tantangan bersama sehubungan dengan bencana alam global. Bencana alam kini tidak saja disebabkan secara natural oleh alam, tapi lebih banyak diakibakan oleh faktor manusianya. Ini adalah dampak dari urbanisasi yang tinggi, ketidakadilan, masalah pangan dan perubahan iklim akibat industrialisasi dan perusakan lingkungan hidup di dunia. Pemerintah Australia telah mulai mengantisipasi cara-cara untuk mencari solusi. Misalnya pemerintah negara Queenslands telah membentuk website khusus dengan apps untuk penanganan masalah bencana dengan memanfaatkan teknologi dan media sosial. Masyarakatnya diminta untuk siap menghadapi bencana alam secara dini, sekaligus memberikan edukasi dengan bermitra dengan semua stakeholder dan selalu update dengan situasi di luar negeri.
Tantangan yang dihadapi kepolisian dalam menghadapi bencana akan semakin kompleks seperti mitra-mitranya di luar negeri dan sudah saatnya mempertimbangkan keterlibatan aktor-aktornya termasuk organisasi-organisasi sistem bantuan kemanusiaan internasional agar masalah bencana alam di Indonesia juga dilihat sebagai tantangan jangka panjang dan merupakan masalah global yang harus diatasi bersama-sama oleh masyarakat internasional. (Isk- dari berbagai sumber)