JAKARTA – Ratusan penyelam berupaya mengevakuasi jenazah korban dan serpihan pesawat Sriwijaya Air SJ-182. Saat melakukan misi tersebut, ada kisah yang diungkapkan pada penyelam.
Di antara ratusan penyelam itu terdapat Hendrata Yudha. Dia tergabung dalam Indonesia Divers Rescue Team (IDRT), organisasi komunitas penyelam yang anggotanya berasal dari berbagai profesi.
Berbicara di atas kapal Basarnas “KN Wishnu” yang sedang membuang sauh di Pulau Lancang, salah satu Kepulauan Seribu, Hendrata mengatakan mereka yang tergabung dalam IDRT dipersatukan oleh rasa kemanusiaan untuk membantu korban kecelakaan pesawat.
“Awalnya bekerja sendiri-sendiri, menawarkan diri untuk menyelam dan mengevakuasi korban. Kami dipersatukan terutama ketika menyelam untuk mencari korban kecelakan pesawat Air Asia 8501 tahun 2014,” paparnya.
Ketika itu, lanjutnya, pesawat dari Surabaya tujuan Singapura tersebut jatuh di Laut Jawa dan menewaskan seluruh penumpang dan awak yang berjumlah 162 orang.
“Selepas operasi itu, kami sama-sama janji untuk ikut membantu lagi jika ada kecelakaan seperti itu di masa depan. Rasa kemanusiaan untuk mencari setiap korban kecelakaan pesawat dan memberi closure pada keluarga mereka membuat kami beberapa kali turun lapangan bersama-sama,” tambah Hendrata.
Sebaris Doa Selalu Diucapkan ketika Mengangkat Jenazah
“Mengingat misi utama itu, setiap penyelam di IDRT – yang memang memusatkan perhatian untuk mencari dan evakuasi jenazah korban – senantiasa “bekerja dengan hati,” tegasnya, seperti dikutip dari VOA Indonesia, dikutip Rabu (19/1/2021).
Hendrata menggarisbawahi bagaimana ia selalu melantunkan sebaris doa sebelum mengangkat jenazah korban dari bawah air.
“Ketika menemukan jenazah korban, ada yang masih utuh atau tidak, kami harus mengambilnya dengan hati-hati, memasukkannya ke kantong mayat, bawa ke permukaan, naikkan ke perahu karet hingga ke kapal Basarnas; semuanya kami perlakukan dengan sangat hormat,” katanya.
“Setiap kali menemukan jenazah, kami selalu berdoa terlebih dahulu. Kami juga melakukan sholat jenazah. Kami selalu memuliakan jenazah. Pola penanganan yang hati-hati ini juga ikut membantu keluarga yang tentunya sangat sedih dengan kehilangan anggota keluarga mereka,” paparnya.
Menahan Diri Tidak Main Medsos
Salah satu kode perilaku atau code of conduct yang juga kerap diingatkan pada seluruh penyelam dalam operasi SAR adalah menahan diri untuk tidak menggunakan media sosial.
“Suka tidak suka medsos harus ditinggalkan dulu. Kita harus pakai hati untuk tidak sedikit-sedikit cekrek (foto-foto -red) dan posting di medsos. Kita harus selalu ingat apapun yang kita posting akan dibaca atau dilihat ribuan orang. Jangan sampai ada kesan operasi SAR ini operasi main-main. Operasi SAR adalah operasi serius, operasi kemanusiaan, yang dijalankan dengan sangat hati-hati, mengikuti code of conduct, dan bahwa ini bertujuan membantu sesama manusia,” ujar mantan wartawan itu.
Dalam operasi hari Sabtu (16/1) Hendrata Yudha kembali menyelam bersama dua temannya, Surya Alamsyah dan Bayu Wardoyo, menelusuri laut di kedalaman 18 meter. Daerah selebar empat meter yang mereka sisiri kali ini dipenuhi potongan bagian pesawat dalam sebaran luas, “bahkan ada beberapa bagian logam yang bentuknya seperti kertas diremas” tutur Hendrata.
“Kami menemukan banyak jenazah korban. Diperlukan kehati-hatian untuk mengangkatnya,” ujarnya.
“Di permukaan laut, ketinggian ombak mencapai sekitar satu meter, “namun di bawah laut tanpa arus. Jarak pandang juga relatif baik yaitu sekitar tiga meter. Penyelaman pada sortie pertama dengan fokus evakuasi korban ini, mengangkat sekitar tiga kantong jenazah. Kondisi dasar 18 meter dan berlumpur, satu persatu diambil perlahan agar tidak membuat lumpurnya naik. Ini akan membuat jarak pandang di bawah air makin terbatas,” jelas Bayu Wardoyo, salah seorang penyelam lainnya.