Polri dicaci dan dimaki adalah konsumsi biasa keseharian di masyarakat kita. Namun keterbukaan yang mau berbenah, dinilai dan dievaluasi oleh berbagai kalangan, mulai DPR, lembaga riset, pengamat dan masyarakat umum adalah nilai lebih sekaligus harapan baik Polri di masa depan. Toh untuk tegaknya kamtibmas, Polri tetap menjadi tumpuan masyarakat dan bangsa Indonesia.
Jakarta – (07/06/2021). Pungutan liar serta suap di tubuh kepolisian Indonesia sering dilontarkan oleh Kepala Polri ke 23 periode 13 Juli 2016 – 22 Oktober 2019, Jenderal Tito Karnavian. Melalui wicara via video dengan para Kepala Polda seluruh Indonesia, alumni Akademi Kepolisian tahun 1987 itu meminta bawahannya buat membentuk tim khusus memberantas pungutan liar di internal Polri. Sasarannya, ia menyebutkan, tempat-tempat pelayanan yang terindikasi menjadi sarang pungutan liar, seperti tempat pembuatan SIM, STNK, dan BPKP. Ketika Tito meminta jajarannya membentuk Tim Operasi Pungli, ia mendapati Satuan Pelayanan Administrasi Surat Izin Mengemudi (Satpas SIM) di wilayah Bekasi, Jawa Barat, dan Tangerang kerap melakukan aksi pungutan liar. “Sudah saya tindak itu, sudah ada penindakan. SIM yang di Bekasi, yang di Tangerang, ada empat kami gali,” kata Tito di Markas Polda Metro Jaya.
Apa yang dikatakan Tito mengindikasikan bahwa praktik pemerasan telah mengakar di tempat pelayanan SIM termasuk di Kantor Sistem Administrasi Manunggal Satu Atap (Samsat). Sebuah tim media online pernah menurunkan laporan mengenai pungutan liar di Satuan Pelayanan Administrasi SIM dalam bentuk asuransi kecelakaan milik Yayasan Bhakti Bhayangkara. Yayasan itu milik Polri dan terlibat dalam tempat pembuatan SIM tanpa melalui tender terbuka. Dari hasil reportase di Samsat Daan Mogot, pola pungutan liar seolah resmi itu mewajibkan setiap pembuat SIM untuk membayar uang asuransi Rp30 ribu. Para petugas di Samsat sama sekali tidak mengedukasi tetapi mengarahkan pembuat SIM membeli asuransi itu. Modusnya, asuransi itu seolah menjadi bagian resmi dari alur pembuatan SIM, padahal asuransi tersebut bersifat tidak wajib. Meski harganya Rp30 ribu, tetapi jika kita kalkulasikan dengan pembuat SIM setiap hari yang mencapai ribuan, nilainya bisa mencapai miliaran rupiah.
Pungli dan suap telah lama melekat di baju Polri. Ini juga yang kemudian menempatkan institusi Polri paling memiliki citra buruk sebagai lembaga negara. Data laporan Ombudsman pada 2016 menyebutkan Polri adalah lembaga negara dengan angka tertinggi sebagai sarang pungli dan praktik suap. Praktik itu, menurut Ombudsman, dicirikan dengan mengulur-ulur pengungkapan kasus dan maladministrasi yang jumlahnya mencapai 51 persen.
Citra Buruk
Citra buruk Polri sudah menjadi rahasia umum. Namun Kapolri saat itu tidak tinggal diam. Dalam hal mengukur kinerja yang mengedepankan profesionalitas, Korps Bhayangkara ini pada 2015 menggandeng Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Universitas Indonesia dan Kemitraan dengan melakukan penelitian.
Hasilnya, dari riset Indeks Tata Kelola Kepolisian di sembilan satuan kerja di 31 Polda, rata-rata dari mereka memiliki banyak kekurangan. Penelitian itu dilakukan pada Satuan Kerja (Satker); Pembinaan Masyarakat (Binmas), Lalu Lintas (Lantas), Intelijen Keamanan (Intelkam), Polisi Perairan (Polair), Reserse Kriminal Umum (Reskrimum), Reserse Kriminal Khusus (Reskrimsus), Reserse Narkoba (ResNarkoba), Samapta Bhayangkara (Sabhara), dan Sumber Daya Manusia (SDM).
Hasilnya, ukuran-ukuran yang mencirikan tata kelola kepolisian yang baik mendapat penilaian yang buruk. Misalnya, prinsip akuntabilitas, prinsip kompetensi, prinsip efektivitas, dan prinsip keadilan. Sementara, hanya prinsip responsif, prinsip transparansi, dan prinsip perilaku di tubuh kepolisian yang punya nilai baik. Inda Presanti Loekman, manajer riset, mengatakan meski rendah penilaian masyarakat terhadap pelayanan kepolisian, tetapi institusi Bhayangkara ini patut diapresiasi lantaran “mau membuka diri untuk mengevaluasi lembaganya.” Ia menegaskan, sudah saatnya Polri menjalankan tugas dengan transparan. “Polisi sekali commitment larinya kencang tapi butuh waktu panjang. Mumpung pimpinan Polri ada kemauan melakukan perubahan,” katanya.
Kantor Polisi Menjadi Sarang Pungli
Selain mengukur Indeks Tata Kelola pada tingkatan Polda, kerjasama itu mengukur integritas lembaga Polri dalam melayani masyarakat di 70 Kabupaten/Kota pada tingkatan Polresta dan Polres. Penelitian itu mengukur potensi suap dan pemerasan setiap Polres maupun Polresta dari pelbagai satuan pelayanan.
Hasilnya, 35 Polres masuk dalam kategori “rawan sekali terjadi penyuapan.” Mereka adalah Polresta Medan, Polresta Balerang, Polresta Pekan Baru, Polresta Sorong Kota, dan Polresta Bandar Lampung. Sementara, 30 lainnya masuk kategori rawan, di antaranya, Polresta Depok, Polres Bandung, Polrestabes Semarang, dan Polrestabes Surabaya. Dari 70 Polresta dan Polres itu, hanya 5 Polres yang masuk kategori “aman dari penyuapan,” yakni Polres Konawe, Polres Garut, Polres Kotawaringin Timur, Polres Lombok Timur, dan Polres Sorong. Sementara, dalam hal praktik pemerasan, hasilnya sebanyak 50 Polres dan Polresta masuk dalam kategori “rawan terjadinya pemerasan” dan 9 Polres dan Polresta masuk dalam kategori “rawan sekali terjadinya praktik pemerasan.” Sembilan Polres ini dari Kupang, Medan, Balerang, Sorong Kota, Pekanbaru, Lampung Tengah, Banda Aceh, Deli Serdang, dan Bandar Lampung. Hanya enam Polres yang mendapat predikat cenderung aman dari praktik pemeresan (Polres sambas, Polres Garut, Polres Sorong, Polres Konawe, dan Polres Lombok Timur. Praktik pungutan liar, pemerasan, dan penyuapan di tubuh Polri dalam melayani kasus-kasus pidana di tengah masyarakat sebenarnya sudah lama diketahui publik.
Masih Laten
Dari penelitian itu, rupanya praktik tersebut masih laten. Temuan itu menunjukkan bahwa pekerjaan rumah Polri masih seabrek buat membenahi institusinya. Angin segar Kembali dihembuskan oleh Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo. Ia misalnya, dengan tegas akan mewujudkan polisi yang PRESISI. “Merupakan abreviasi dari PREdiktif, responSIbilitas, dan transparanSI berkeadilan yang kami perkenalkan sebagai konsep Polri yang Presisi. Konsep inilah yang akan mewarnai Polri ke depan,” kata Listyo Sigit Prabowo dalam paparannya saat fit and proper test dengan Komisi III DPR RI. Komjen Sigit menjelaskan, dalam kepemimpinan Polri Presisi, akan ditekankan pentingnya kemampuan pendekatan pemolisian prediktif (predictive policing). Nantinya, pendekatan tersebut akan disertai responsibiltas dan transparansi berkeadilan. Pemolisian prediktif tidak hanya diterapkan pada tataran strategis. Pemolisian prediktif juga akan diterapkan dalam mengambil langkah tindakan yang bersifat taktis dan teknis di lapangan. Sementara itu, responsibilitas dimaknai sebagai rasa tanggung jawab. Rasa tanggung jawab ini diwujudkan dalam ucapan, sikap, perilaku, dan pelaksanaan tugas kepolisian nantinya.
Sedangkan transparansi berkeadilan, kata dia, merupakan realisasi dari prinsip, cara berpikir, dan sistem yang terbuka, proaktif, responsif, humanis, dan mudah untuk diawasi. Sehingga, pelaksanaan tugas-tugas kepolisian akan dapat menjamin keamanan dan rasa keadilan masyarakat. Listyo berkeras untuk mewujudkan 7 janji dengan Visi Presisi
Tak Boleh Ada Lagi Hukum Tajam di Bawah Tapi Tumpul di Atas.
Sigit berjanji akan membawa Polri makin profesional dalam berbagai bidang, termasuk penegakan hukum. Dia mengawalinya dengan bersilaturahmi kepada tokoh agama dan tokoh masyarakat, sesepuh, para pimpinan partai, hingga ke para mantan Kapolri.Menurut Sigit, silaturahmi itu sangat penting. Lewat agenda tersebut dia ingin mengetahui secara langsung seperti apa potret Polri di masyarakat dan apa harapan masyarakat ke depan terhadap Polri.
“Tentunya banyak hal yang kami dapat, ada saran, ada masukan, ada kritik, dan harapan tentang Polri ke depan bagaimana untuk tetap dapat mewujudkan rasa keadilan menjadi organisasi yang transparan dan tentunya potret-potret lain tentang kondisi saat ini yang harus diperbaiki,” kata Sigit. “Sebagai contoh ke depan tidak boleh lagi ada hukum hanya tajam ke bawah tapi tumpul ke atas. Tidak boleh lagi ada kasus nenek minah yang mencuri kakao kemudian diproses hukum karena hanya untuk mewujudkan kepastian hukum. Tidak boleh lagi ada seorang ibu yang melaporkan anaknya kemudian ibu tersebut diproses dan sekarang berlangsung prosesnya dan akan masuk ke persidangan,” sambungnya. Sigit mengatakan, ke depan tidak boleh lagi ada kasus-kasus seperti yang dia contohkan di atas atau kasus lain yang mengusik rasa keadilan di masyarakat.
Maka dari itu, lanjut Komjen Sigit, dalam kepemimpinannya, hal-hal tersebut akan jadi fokus utama untuk perbaikan. Dia berharap langkah itu mampu mengubah wajah Polri menjadi Polri yang memenuhi harapan masyarakat.
Hotline Layanan Polri Semudah Pesan Pizza
Di bawah kepemimpinannya, Jenderal Sigit baru saja mengaktifkan nomor tunggal nasional sebagai hotline kepolisian. Masyarakat yang nantinya melakukan panggilan ke nomor akses 110 akan langsung terhubung ke agen yang akan memberikan layanan berupa informasi, pelaporan (kecelakaan, bencana, kerusuhan, dll) dan pengaduan (penghinaan, ancaman, tindak kekerasan dll). Masyarakat bisa menggunakan layanan Contact Center 110 secara gratis.Dia ingin masyarakat bisa mendapatkan layanan Polri dengan mudah.
“Sebagai upaya mempermudah akses masyarakat dan mempercepat respon Polri ketika dibutuhkan masyarakat, maka akan kita lakukan penataan kembali layanan darurat atau hotline kepolisian dengan pemberlakuan nomor tunggal secara nasional dalam rangka merespons cepat aduan masyarakat,” kata Sigit. Dengan adanya hotline itu, masyarakat bisa menghubungi polisi semudah memesan makanan. “Diharapkan ke depan masyarakat bisa mendapatkan pelayanan Polri semudah memesan pizza,” ucapnya.
Hadirkan Virtual Police-Kedepankan Hukum Progresif
Jenderal Sigit menyebut telah melakukan sejumlah perubahan terhadap institusi Polri. Awalnya Sigit mengungkap ada 4 kebijakan utama yang akan dikejar demi mewujudkan Polri yang Presisi. Di setiap kebijakan itu nantinya akan ada aksi konkret yang akan dilakukan oleh Komjen Sigit beserta institusi Polri. “Road map program transformasi menuju Polri yang Presisi (Prediktif, Responsibilitas dan Transparansi Berkeadilan) pada kepemimpinan Polri ke depan mencakup empat kebijakan utama yakni (A) Transformasi Organisasi; (B) Transformasi Operasional; (C) Transformasi Pelayanan Publik; dan (D) Transformasi Pengawasan,” kata Sigit.
Berdasarkan 4 kebijakan utama tersebut, Sigit menyampaikan sejumlah program inovasi yang akan dilakukan Polri ke depannya. Berikut program-program transfromasi Polri yang telah dan akan dilakukan oleh Jenderal Sigit.
Transformasi Organisasi.
Sigit menjelaskan Transformasi Organisasi merupakan salah satu kebijakan utama sebagai bentuk adaptasi transformatif Polri secara internal dengan mempertimbangkan situasi dan kondisi masyarakat yang sangat dinamis.
Salah satu program Komjen Sigit yakni penataan kelembagaan dengan melakukan pemenuhan 1 Polsek untuk 1 kecamatan dengan hanya melakukan harkamtibmas. Program lainnya pada transformasi ini yakni melakukan perubahan teknologi kepolisian modern di era Police 4.0. Sigit menyebut akan membuat kebijakan untuk mewajibkan pemasangan CCTV dimanapun.
Transformasi Operasional
Jenderal Sigit menyebut kebijakan transformasi operasional bisa sangat mempengaruhi berkembangnya tantangan dan harapan yang dihadapi Polri di tengah situasi dunia maya tanpa batas. Karena itu, Sigit menyampaikan sejumlah program salah satunya yakni mengoptimalkan kampanye siber dan membentuk polisi dunia maya.
Selain itu, Sigit juga akan meningkatkan kinerja penegakan hukum di institusi Polri. Dia berjanji akan mengedepankan hukum progresif atau restorative justice dalam menegakkan hukum.
Transformasi Pelayanan Publik
Jenderal Sigit menyebut kebijakan transformasi pelayanan publik bertujuan mewujudkan perubahan kultur di lingkungan Polri. Salah satu program Sigit yang akan diterapkan yakni pelayanan secara online dan drive thru.
“Membentuk layanan drive thru untuk pembuatan surat kehilangan, SKCK, perpanjangan SIM, Samsat, dll. Pelaksanaan pelayanan SIM yang memudahkan masyarakat kapanpun dan dimanapun,” sebutnya.
Transformasi Pengawasan
Kebijakan Sigit yang lainnya yakin transformasi pengawasan. Sigit menjelaskan pengawasan merupakan salah satu elemen penting dalam pengelolaan organisasi guna mencegah terjadinya penyimpangan.
“Pengawasan di institusi Polri dilakukan secara internal berganda melalui pengawasan pimpinan dan pengawasan oleh fungsi pengawas di setiap unit organisasi Polri mulai dari unit terbesar di Mabes Polri hingga terkecil di Polsek berbagai daerah,” sebut Sigit.
Salah satu program yang dilakukan Sigit yakni pengawasan oleh masyarakat. Dia berjanji akan menyediakan sistem pengawasan yang akan mudah diakses oleh masyarakat untuk mencari keadilan. Sigit mengatakan dalam kepemimpinannya ke depan tak boleh lagi ada kasus seperti Nenek Minah. Dia menegaskan akan melakukan perbaikan, salah satunya terkait penegakan hukum yang tidak tebang pilih.
“Sebagai contoh ke depan tidak boleh lagi ada hukum hanya tajam ke bawah tapi tumpul ke atas. Tidak boleh lagi ada kasus Nenek Minah yang mencuri kakao kemudian diproses hukum karena hanya untuk mewujudkan kepastian hukum,” kata Sigit. Dalam kasus tersebut, Nenek Minah (55) diganjar 1 bulan 15 hari penjara gegara memetik 3 buah kakao di perkebunan milik PT Rumpun Sari Antan (RSA). Dalam persidangan majelis hakim terlihat ragu menjatuhkan hukuman. Bahan sang ketua majelis hakim Muslih Bamban Luqmono SH terlihat menangis saat membacakan vonis. Akhirnya dalam kasus itu, Nenek Minah divonis hakim 1 bulan 15 hari dengan masa percobaan selama 3 bulan. Keluarga pun menyambut gembira vonis itu. Komjen Sigit juga menyinggung soal anak yang mempolisikan ibu kandungnya. Dia memastikan kasus tersebut tak boleh terulang.
Polsek Tak Dibebani Penegakan Hukum, Fokus Melayani
Ke depan, tugas kepolisian sektor atau Polsek di tingkat kecamatan tidak lagi dibebankan tugas penegakan hukum. Tugas Polsek ke depannya yakni mengurusi pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat (harkamtibmas).
“Menjadikan Polsek sebagai basis resolusi dengan memprioritaskan kegiatan harkamtibnas, sehingga ke depan di beberapa Polsek-Polsek tertentu, tidak lagi kita bebankan dengan tugas penyidikan, sehingga di Polsek-Polsek tersebut nantinya hanya dibebani tugas preemtif dan preventif dan juga penyelesaian-penyelesaian masalah dengan restorative justice,” ujar Jenderal Sigit.
Sigit mengatakan, tugas penegakan hukum di beberapa wilayah akan ditarik di tingkat kepolisian resor (Polres) atau di tingkat kabupaten/kota. ”Dengan demikian, Polsek ke depannya bisa lebih dekat dengan masyarakat,” ucap Sigit.
Persepsi Polisi Arogan-Pungli Jadi Perhatian Serius
Jenderal Sigit berjanji untuk memperbaiki kinerja Polri yang dinilai negatif oleh masyarakat. “Kritik berupa persepsi dan isu yang berkembang di lingkungan sosial dan menyoroti kinerja Polri harus menjadi perhatian serius,” kata Sigit.
Sigit mencontohkan, pelayanan yang dinilai berbelit-belit hingga arogansi anggota Polri harus dihilangkan. Sigit menyebutkan, persepsi dan isu negatif terhadap Polri menjadi perhatian serius ke depan. Untuk itu, Sigit yakin di bawah kepemimpinannya, Polri akan mengedepankan penegakan hukum yang mengedepankan rasa keadilan masyarakat dan memenuhi harapan masyarakat. Sigit bertekad merubah potret Polri di masyarakat. penegakan hukum harus dilaksanakan dengan humanis dan memenuhi rasa keadilan.
Intensifkan e-Tilang, Polantas Fokus Atur Lalin
Jenderal Sigit juga terus mengurangi interaksi dalam proses penilangan untuk menghindari praktek penyimpangan uang pada proses tilang. Sebaliknya ia mulai mengintensifkan penerapan tilang elektronik atau menggunakan kamera electronic traffic law enforcement (e-TLE). “Khusus di bidang lalu lintas, penindakan pelanggaran lalu lintas secara bertahap akan mengedepankan mekanisme penegakan hukum berbasis elektronik atau biasa disebut e-TLE,” kata Sigit.
Menurut dia, hal itu untuk mengurangi praktek penyimpangan selama penindakan tilang oleh anggota di lapangan. Sementara itu jika tilang berbasis elektronik, kini pelanggar lalu lintas akan dikirimkan surat dari kepolisian dan diminta mengikuti prosedurnya secara elektronik. Oleh karena itu, anggota Polantas bisa fokus mengatur lalu lintas tanpa perlu melakukan tilang. Sigit berharap hal ini akan meningkatkan perilaku anggota Satuan Lalu Lintas ke depan.
Realisasi Janji
Di bawah kepemimpinan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo, kini Polri terus berbenah. Masih banyak ”PR” Polri dalam membenahi citra buruknya. Namun dalam waktu kurang dari 6 bulan ini, kabar gembira dan harapan itu sudah mulai memperlihatkan hasil yang membaik. Namun demikian, persoalan masalah yang dihadapi pasti akan terus berkembang, sejalan dengan dinamika masyarakat. Boleh mengkritik polisi bahkan mencacinya, namun upaya terus-menerus dari segenap pimpinan dan anggota Korps Bhayangkara ini perlu terus didukung dan diapresiasi sehingga harapan terwujudnya Polisi yang bersih, jujur dan adil menjadi kenyataan di tengah masyarakat.
Tak ada gading yang tak retak. Begitupun, tak ada rotan akar pun jadi. Begitulah Polri, seburuk apa pun citra Polri, masyarakat tetap membutuhkan kehadiran Polri untuk memelihara Kamtibmas. Maka lebih adil saja dalam mengevaluasi atau mengritik Polri. Benar katakan benar Salah katakan salah, karena wajah Polri adalah cerminan wajah masyarakat yang sesungguhnya. (Saf).