Site icon Info Seputar Muslim

Penyimpangan dan Penyogokan Penerimaan Anggota baru Polri: Masih adakah tahun ini?

Masih maraknya kasus-kasus penyimpangan dan penyogokan rekrutmen anggota Polri  hingga tahun lalu, agar dijadikan catatan penting bagi Polri bagi perbaikan sistem manajemen dan edukasi mengenai masalah ini kepada masyarakat. Kasus-kasus yang terkuak dan diberitakan di media seperti di atas, hanyalah sebagian dari kasus yang ada, dan tampaknya masih banyak akan terjadi bila tidak dilakukan strategi-strategi pencegahan dan sosialisasinya. Masyarakat selama ini selalu mengemukakan keluhannya soal transparansi dan keterbukaan pihak Polri atas kemungkinan-kemungkinan orang  luar bekerjasama dengan orang dala, menjadi bagian masalah ini. Juga masih marak kasus-kasus penipuan oleh mereka menggunakan kesempatan perekrutan anggota baru Polri sebagai sasaran empuk menyasar korbannya.

Jakarta, 25 Maret 2021. Musim penerimaan anggota Polri sudah dimulai kembali tahun 2021 ini, baik penerimaan untuk Tamtama, Bintara SIPSS maupun Taruna Akpol. Salah satu tujuan penerimaan anggota baru kepolisian adalah regenerasi, yakni proses penggantian anggota Polri yang memasuki pensiun. Mereka yang sudah mendaftarkan diri, wajib menjalani serangkaian tes sebelum dapat menjadi calon siswa di Polri untuk semua jenjang karir. Tiap daerah  juga memiliki kuota jumlah yang berbeda-beda dan rinciannya ditentukan Markas Besar (Mabes) Polri. Pihak Polri seperti tahun-tahun sebelumnya, sudah dengan jelas menginformasikan cara-cara pendaftaran bagi semua jenis-jenis penerimaan untuk warganegara RI yang memenuhi syarat dan berminat. Informasi lengkapnya juga telah tersedia di Website Polri www.Penerimaanpolri.go.id.

Sosialisasi kepada masyarakat

            Serangkaian sosialisasi, termasuk yang dilakukan lewat media sosial sudah banyak dilakukan, seperti tampak dari laporan-laporan Polda-Polda di daerah yang lewat bagian Humasnya misalnya melakukan acara mendatangi sekolah-sekolah untuk menjaring minat dan animo masyarakat terutama di daerah yang jauh dari pusat. Acara sosialisasi juga penting dilaksanakan untuk selalu menekankan kepada khalayak bahwa tidak ada biaya yang dipungut alias gratis. Semua informasi yang terkait seleksi sudah di sana. Masyarakat juga dihimbau sebisanya tidak memandatkan pendafatran kepada orang lain, karena lewat cara ini  hanya kan membuat oknum-oknum tertentu mencoba mencari sasaran penipuan dengan iming-iming dan janji kelulusan dengan syarat finansial dalam jumlah meskipun tidak mengikuti prosedur resmi.

            Dalam berita-berita website kepolisian seperti pada TribrataNews, mengenai isu-isu tersebut sudah banyak disebarluaskan. Dijelaskan bahwa Panitia penerimaan tidak akan bisa menjanjikan orang untuk kelulusan, karena itu semua tergantung pada diri mereka sendiri, yang harus mempersiapkan diri secara fisik, akademik, kesehatan maupun mental dalam menghadapi ujian mereka. Polri hanya ingin mendapatkan calon-calon siswa terbaik yang cerdas, bermental baja dan mampu memperolehnya atas upaya dan prestasi mereka sendiri dan bukan karena orang lain. Penerimaan ini juga menerapkan sistem manajemen rekrutmen yang sudah jelas dan bersih (clear and clean). Karenanya, sanksi akan diterapkan bagi siapa saja yang tidak menaati aturan karena  hanya akan berakibat memalukan institusi Polri di seluruh Indonesia.

            Soal aparat yang bersih  dalam perekrutan juga tidak sedikit ditekankan. Kepala Kepolisian Daerah Nusa Tenggara Timur (Kapolda NTT) Inspektur Jenderal Polisi Raja Erizman, pada penerimaan tahun 2018, mengatakan akan menindak tegas anggotanya yang terlibat dalam penyimpangan penerimaan calon siswa Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri). “Kalau ada casis (calon siswa) yang terlibat memiliki sponsor masuk dalam tes ini, maka mereka akan langsung didiskualifikasi. Artinya, tidak melanjutkan lagi ke fase berikutnya,” Katanya.vKepala Biro Sumber Daya Manusia (Karo SDM) Polda Sumbar Kombes Pol Defrian Donimando, S.Ik. MH juga menyatakan bahwa tidak ada yang bisa menjamin kelulusan selain kemampuan dari peserta itu sendiri saat seleksi penerimaan anggota Polri (di Sumbar).

Sedikitnya kuota penerimaan, rawan penyogokan

            Namun demikian, keinginan tiap calon siswa agar bisa lulus dalam setiap tahap tes telah membuka peluang bagi mereka untuk melakukan hal yang bertentangan dengan aturan. Di Medan pada tahun 2014 misalnya, pernah dilaporkan adanya kasus di mana beberapa calon siswa Polri ketahuan menggunakan contekan sehingga akhirnya didiskualifikasi untuk tahapan selanjutnya. Kasubbid Pengelola Informasi dan Dokumentasi Polda Sumut AKBP MP Nainggolan menyatakan bahwa berdasarkan pemeriksaan Propam, bocoran jawaban tes calon Bintara Polri pada kasus itu ternyata disediakan oleh seorang oknum personel Polri berpakaian sipil. (6 Mei 2014).

            Dugaan penyimpangan proses penerimaan taruna Akademi Kepolisian (Akpol) di Jawa Barat (Jabar) juga pernah terjadi dan sempat membuat ricuh. Polri menduga ada indikasi dan kemungkinan ‘permainan’ dalam proses seleksi Akpol di Jabar tersebut. Ini diketahui sesudah  beredarnya video di mana sejumlah orangtua calon tampak melayangkan protes terkait kebijakan yang dikeluarkan oleh Kapolda Jabar pada saat itu. Pihak kepolisian sudah sering dilaporkan menindak tegas penyimpangan-penyimpangn dalam penerimaan casis Polri. Meskipun demikian, seperti yang terjadi setiap tahun pada umumnya, seiring dengan datangnya musim penerimaan calon anggota Polri, muncul dan mengemuka pula  isu-isu penyimpangan, suap atau penyogokan. Apakah ini akan menjadi kasus yang sama pada tahun ini?

Catatan kasus-kasus sebelumnya

            Hingga awal tahun 2021 ini saja, kasus-kasus yang menyangkut pelanggaran dalam penerimaan calon anggota Polri masih terus terjadi di berbagai Polda di Indonesia sebagaimana laporan berita media massa dan sosial media  denganbertajuk penyelewengan dalam rekrutmen penerimaan anggota baru Polri. Betapa tidak, kesempatan meraup uang hasil penipuan akibat pemberian harapan muluk kepada masyarakat yang ingin bergabung dengan Polri adalah begitu besar, bahkan bisa menjadi bisnis yang menggiurkan seperti kasus-kasus korupsi yang terjadi selama beberapa dekade terakhir ini. Dilaporkan bahwa calon-calon yang mendaftar selalu mencapai ribuan sedangkan kuota yang tersedia tidak banyak bahkan amat sedikit.

            Di Polda NTT misalnya pada tahun penerimaan 2018, tercatat ada 3500 pendaftar  meski hanya sedikit yang akan diterima. Aksi-aksi penipuan untuk janji melicinkan jalan agar termasuk dalam daftar nama-nama yang lulus masih terus terjadi. Belum lama ini seorang calo penerimaan anggota Polri bernama Yulken Simamora, yang bertempat tinggal di Pekanbaru telah ditangkap oleh Polda Jambi pada awal tahun ini (17/1). Dirreskrimum Polda Jambi, Kombes Pol Kaswandi Irwan di Jambi (16/1) menuturkan bahwa ada dua calon anggota Polri yang tertipu oleh sang pelaku, dan kasusnya kemudian ditangani oleh Polda Riau. Sang pelaku diketahui kabur sesudah menerima uang yang jumlahnya menggiurkan, yakni sebesar Rp 900 juta dari dua korbannya. Identitas pelaku kemudian diketahui oleh tim Resmob Ditreskrimum Polda Jambi dan Tim Jatanras Ditreskrimum Polda Riau sebelum kemudian berhasil dibekuk.

            Selain menyangkut calo atau orang dalam, hasil observasi mendalam atas berita-berita media sosial juga memperlihatkan adanya berbagai jenis penyimpangan atau modus-modus. Tidak saja ia masih melibatkan beberapa oknum kepolisian itu sendiri, tidak sedikit yang juga melibatkan masyarakat, yakni mereka yang mengaku-ngaku memiliki akses orang dalam walaupun tidak selalu dapat dibuktikan, atau hanya orang yang menggunakan isu rekrutmen kepolisian sebagai modus melakukan penipuan sesuai musimnya. Yang menarik adalah bahwa  sekarang juga tidak jarang dilakukan lewat media sosial. Karenanya, dengan adanya polisi siber, kasus-kasus yang khususnya menyangkut penipuan rekrutmen ini haruslah diwaspadai.

            Seorang PNS di kabupaten Rejang Lebong, Bengkulu juga telah diberitakan tahun lalu ditangkap karena terlibat kasus percaloan penerimaan anggota Polri tahun 2020. Modusnya, pelaku berjanji akan dapat meloloskan seseorang  bila uang pelicin disediakan. Uang sebesar Rp 120 juta kemudian diberikan pada korbannya namun ternyata janji meloloskan calon yang menyogok itu tidak terbukti. Sebagaimana penipuan lainnya, pelaku dijerat pasal 378 KUH Pidana atau pasal 372 KUHPidana, kata Kapolres Kepahiang AKBP Suparman S.IK. Contoh lain terjadi di Sulbar. Seorang narapidana dengan initial MR dari Sulsel, telah berhasil menipu seorang casis lewat media sosial dan merugikan calon anggota polisi  itu sebesar Rp. 40 juta rupiah. Korbannya berhasil dikelabui setelah pelaku menggunakan medsos dari dalam lapas menggunakan profil fotonya yang berseragam polisi Sulbar. Pelaku juga sudah langsung ditangkap oleh Subdit Lima Cyber Crime Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Krimsus) Polda Sulbar, dan ditetapkan sebagai pelaku penipuan via media sosial.

            Kasus penipuan penerimaan anggota Polri lain juga pernah terjadi di Polres Tegal. Calon diiming-imingi dengan dalih pelakunya memiliki saudara berpangkat pamen dan ia memasang tarif 150 juta untuk melancarkan upayanya. Kasus-kasus ini jelas memperlihatkan variasi dari kasus dan masih maraknya kasus-kasus dengan modus operandi  utama bahwa seseorang anggota Polisi, keluarga seorang pamen, atau memiliki akses dengan panitia penerimaan Polri. Tidak semua yang menjadi korban penipuan akan melaporkan karena alasan malu atau karena tidak berani karena melakukan sesuatu yang tidak berdasarkan prosedur resmi. Mereka umumnya baru mengetahuinya belakangan bahwa mereka adalah korban. Tidak sedikit yang belum sempat mengalami kerugian finansial. Meskipun di pihak lain, beberapa kasus baru mengemuka sesudah memberi uang sogokan lebih dari satu kali.

            Adalah sangat menggembirakan pihak Polri sudah cukup sigap menyelidiki dan menangkap pelaku-pelakunya. Ada banyak kemajuan dalam penanganan ini dan masih bisa disempurnakan lagi.  Meskipun umumnya pelaku dikenai pasal 378 KUHP atau pasal 372 KUHP tentang penipuan dan/atau penggelapan dengan ancaman hukuman empat tahun penjara, tampaknya masih banyak yang belum jera berkomitmen melakukan kejahatan ini.

Masih Akan Banyakkah Kasus-Kasusnya Tahun ini?

            Namun, selain kasus yang diproses segera, ternyata tidak sedikit kasus-kasus yang tidak kunjung selesai walaupun sudah terjadi dalam waktu yang cukup lama.  Institute for Defense, Securities, and Peace Studies (IDSPS) pernah melaporkan bahwa di tubuh Polri memang masih ada celah yang memungkinkan polisi nakal bermain-main dengan wewenang dan kekuasaan mereka. Disebutkan, misalnya di Biro Personel Polri, penyimpangan yang rentan terjadi  di sini antara lain soal penempatan personel di tingkat polres, pilih kasih dalam pengusulan pendidikan, penyelewengan pada proses seleksi masuk Bintara dan Perwira, pengeluaran tambahan yang dikutip dari murid (Sekolah Calon Perwira) Secapa, penyimpangan penangguhan penahanan ataupun diskriminasi dalam pelayanan kesehatan di RS Soekanto.

            Kasus yang terjadi di Polda Sumatra Selatan dari tahun 2016 yang melibatkan oknum anggota Polri masih belum tuntas hingga tahun ini.  Kasus ini melibatkan orang dalam yang nakal bermain dengan wewenang dan kekuasaan, utamanya telah menyeret seorang perwira polisi berpangkat AKBP yang sudah ditetapkan sebagai tersangka. Menurut berita di media, kasusnya ‘hanya’ dapat diketahui karena ada yang ‘bernyanyi’ dan berkata jujur melaporkan adanya penerimaan uang pelicin oleh petinggi di Polda Sumsel dan tuduhan adanya keterlibatan istri Kapolda-nya.

            Dalam sebuah berita berjudul ‘Kasus Suap gratifikasi penerimaan polisi seret nama-nama Perwira hingga Petinggi Polda’  (Tribun Lampung, 16.3.21) disebutkan bahwa kasus menghebohkan dari tahun 2016 hingga sekarang belum selesai dan masih ditangani Kasi Tindak Pidana Khusus Kejari Palembang, Dede M Yasin, melalui Kasubsi Penuntutan Kejari Palembang Hendy. Kasus ini bermula ketika sebanyak 30 nama casis (calon siswa) angkatan 2016 akan dibantu kelulusannya dengan uang pelicin. Tersangkanya, purnawirawan Kombes AKBP SY kemudian diputus bersalah dan divonis 5 tahun penjara dan denda Rp 200 juta karena terbukti menerima suap sebesar Rp.6,5 miliar dalam proses penerimaan bintara Polri angkatan 2016 tersebut. AKBP SY sebelumnya menjabat Kasubbid Kespol Biddokkes Polda Sumsel sekaligus sekretaris Rikkes penerimaan brigardir. “Hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya,” ujar Jaksa Penuntut Umum saat membacakan dakwaan pada sidang di Pengadilan Tipikor Palembang.

            Hadir dalam persidangan, kedua terdakwa yakni Kombes Pol (Purn) Drg. Soesilo Pradoto M.Kes yang sebelumnya menjabat sebagai Kepala Bidang Dokter Kesehatan (Kabid Dokkes) Polda Sumsel. Kombes Pol (Purn) drg. Soesilo Pradoto terungkap telah memerintahkan AKBP SY menjadi koordinator penerimaan Polri dengan menetapkan biaya sebesar Rp.250 juta bagi Casis yang mau lolos dalam tes kesehatan dan psikologi. “Jadi modusnya adalah drg. SP memerintahkan, kalau ada (casis) yang minta tolong lolos tes kesehatan dan psikologi, jalurnya melalui AKBP SY,” ujar Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Palembang Asmadi. Kedua orang tersebut terancam dijerat melanggar dengan pasal 12 huruf A dan atau Pasal 5 ayat (2) huruf a dan atau pasal 11 dan atau pasal 5 ayat (1) huruf a dan atau pasal 13 undang undang nomer 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi. Mereka juga terancam maksimal 20 tahun penjara dengan denda Rp.1 Milyar.

Catatan  ke Depan Bagi Polri

      Masih maraknya kasus-kasus penyimpangan dan penyogokan rekrutmen anggota Polri  hingga tahun lalu, agar dijadikan catatan penting bagi Polri bagi perbaikan sistem manajemen dan edukasi mengenai masalah ini kepada masyarakat. Kasus-kasus yang terkuak dan diberitakan di media seperti di atas, hanyalah sebagian dari kasus yang ada, dan tampaknya masih banyak akan terjadi bila tidak dilakukan strategi-strategi pencegahan dan sosialisasinya.  

      Masyarakat selama ini selalu mengemukakan keluhannya soal transparansi dan keterbukaan pihak Polri atas kemungkinan-kemungkinan orang  luar bekerjasama dengan orang dala, menjadi bagian masalah ini. Juga masih marak kasus-kasus penipuan oleh mereka menggunakan kesempatan perekrutan anggota baru Polri sebagai sasaran empuk menyasar korbannya. Hasil investigasi dan upaya-upaya solusi yang diambil Polri juga  harus disampaikan secara transparan kepada masyarakat, informasinya tidak hanya bisa didapatkan dari pemberitaan media saja tapi juga dari pihak Polri.

Penting bagi masyarakat untuk mengenali jenis-jenis modus operandi yang selama ini ada, termasuk lewat medium media sosial untuk menarik korbannya.  Biasanya mereka akan dijanjikan cara mudah untuk lolos dengan imbalan yang harus diserahkan atau ditransfer ke rekening pelaku. Bila hal ini dilakukan lewat sosial media, maka perlu diinformasikan kepada masyarakat untuk berani melaporkannya kepada pihak Polri.  (Isk- dari berbagai sumber)

Exit mobile version